Arroyo Bukan Yudhoyono

Kamis, 01 Desember 2011 – 16:33 WIB

GLORIA Macapagal Arroyo beberapa tahun silam pernah bernasib serupa Susilo Bambang YudhoyonoMenjelang musim Pilpres 2004 keduanya sama-sama mengaku tidak akan "nyapres"

BACA JUGA: Pelajaran Semakin Dekat

Tapi ketika akhirnya ikut Pilpres, keduanya memenangi pertarungan dan jadi presiden di negara masing-masing.

Arroyo dan Yudhoyono juga dikenal sama-sama piawai membangun citra
Tapi Arroyo bukan Yudhoyono

BACA JUGA: Corrupt Sea Games

Sebab gaya tebar pesona Arroyo menyitrakan pemimpin wanita yang kuat
Lihat saja, ketika salah seorang warganya yang jadi TKW di Arab Saudi diancam hukuman mati, ia langsung datang ke sana untuk membebaskan pahlawan devisa negaranya

BACA JUGA: Keajaiban Dunia

Arroyo memang sempat dijuluki "wanita terkuat" di Asia.

Tapi perempuan yang oleh majalah Forbes pernah didaftar dalam tabel "100 wanita paling digdaya" di muka bumi itu, sekarang pucat pasi dan tak punya daya: menjadi pesakitan penegak hukumSelain karena korupsi, KPU Filipina juga akhirnya berani membongkar skandal kecurangan Arroyo dalam Pemilu laluAncaman hukumannya bisa seumur hidupPadahal ia sudah 64 tahun.

Kita belum tahu bagaimana akhir nasib Arroyo, penguasa yang oleh bangsanya dianggap melalaikan amanat rakyatKita hanya tahu, dan layak menaruh hormat, pada semangat rakyat negeri seberang utara itu dalam menegakkan hukum, menerapkan pasal universal: Setiap warga negara sama di hadapan undang-undang.

Kesadaran bangsa Filipina akan perlunya mengadili dan menghukum penguasa yang korup dan abuse of power muncul setelah sebelumnya alpa mengadili diktator Marcos yang dibiarkan ngungsi ke Hawaii.

Konon, kata pepatah, hanya keledai (dan laki-laki) yang bisa terperosok ke lubang yang sama berkali-kaliRakyat Filipina rupanya tidak mau disebut bangsa keledaiApalagi dibilang bangsa kerbauMaka ketika Presiden Joseph Estrada (2001) ketahuan korupsi, segera diadili dan diganjar hukumanSekarang Arroyo, pengganti Estrada, sedang dalam proses hukum.

Bangsa Indonesia memang belum pernah punya pengalaman mengadili dan menghukum penguasa yang korup dan abuse of powerSemangat “mikul dhuwur mendem jero” terlanjur merasuk dalam sanubari rakyatAkibatnya penguasa, apalagi yang meraih kekuasaannya dengan cara-cara tidak halal, mencurangi Pemilu, merasa leluasa untuk menguras harta negara dan berperilaku abuse of power.

Bila rakyat tak mau belajar dari kesalahan dalam memperlakukan rezim yang korup, sebaliknya penguasaMereka lekas belajar dari penguasa negara lain yang diadili rakyatnya seperti Saddam Hussein (Irak), Khadafi (Libya), dan Mubarak (Mesir)Tentu saja untuk menyempurnakan kejahatannya agar tidak bernasib malang seperti rekannya di seberang lautan.

Cara menyelematkan diri penguasa di era demokrasi seperti sekarang ini cukup mudahUang hasil korupsi triliun rupiah sebagian dipakai untuk membeli suaraRakyat yang sedang susah makan niscaya tak akan keberatan menjual suaranya dengan harga dua mangkuk bakso (Rp 50 ribu).

Dengan kekuasaan politik yang tersisa bisa dipakai membuat kebijakan pura-pura populisMemakai anggaran APBN untuk bagi-bagi uang kepada rakyatTetap mengendalikan orang-orang di KPUMemainkan hasil akhir perolehan suaraTidak perlu khawatir karena institusi hukum toh masih dalam kendali.

Maka kalau undang-undang tidak memungkinkan lagi untuk ikut kompetisi dalam Pilpres, toh kita masih bisa melanjutkannya dengan memajukan istri, anak, ipar, atau kroni terpercayaSang penguasa bisa saja kemudian memilih jabatan Menteri Senior, seperti Lee Kuan Yew di SingapuraSehingga rezim pun masih bisa berlanjut.

Kekuasaan amanHasil korupsi aman untuk 8 turunanTak ada kisah pengadilan rezimTinggal Parpol lain dan tokoh-tokohnya yang semula bernafsu jadi penguasa karena terbuai hasil survei, gigit jempol.

Kejahatan di negeri ini memang selalu berakhir : happy ending… [***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Suksesnya Sandiwara Kabinet


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler