Arsul Berkukuh Pasal Penghinaan Presiden Diperlukan, meski Sudah Dibatalkan MK, Begini Alasannya

Rabu, 09 Juni 2021 – 16:01 WIB
Dokumentasi - Wakil Ketua MPR Arsul Sani (kanan) tiba di kediaman Presiden Ke-5 RI Megawati, di Jakarta. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengomentari munculnya kembali pasal terkait penghinaan presiden/wakil presiden dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKHUP), meski sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah membatalkan sejumlah pasal terkait penghinaan kepada presiden dalam KUHP.

Arsul menilai, ketentuan pidana terkait penghinaan terhadap presiden atau penyerangan terhadap pemegang kekuasaan, harus tetap ada.

BACA JUGA: Pasal Penghinaan Presiden Muncul lagi, Padahal Sudah Dibatalkan MK, Yasonna Jawab Begini

Ia beralasan, sejumlah negara demokrasi juga tetap mempertahankan pasal terkait penghinaan pada pemegang kekuasaan.

"Saya ingin ajak kita di samping melihat dari sisi pandang internal, perlu melakukan 'benchmarking' terkait 'lese majeste' hukum terkait dengan penyerangan kepada pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara, bagaimana di negara lain," ujar Arsul dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6).

BACA JUGA: Ribuan Personel Dikerahkan, Ketua KPU dan Bawaslu juga Turun

Politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu kemudian menyebut sejumlah negara demokrasi yang tetap mempertahankan "lese majeste" yaitu ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara.

Antara lain, Denmark, mengaturnya dalam Pasal 115 KUHP dengan ancaman pidana 4 tahun.

BACA JUGA: BNPT Segera Bertemu Para Tokoh Papua, Aksi Kekerasan Semoga Cepat Berakhir

Kemudian Islandia, terdapat pada Pasal 101 KUHP dengan ancaman pidana 4 tahun.

Belgia mengaturnya dalam UU dari tahun 1847 yang menyebutkan menghina kepala negara diancam pidana 3 tahun.

"Negara yang menggeser dengan melakukan dekriminalisasi dari pendekatan pidana ke perdata hanya Prancis di tahun 2013."

"Lalu Jerman di 2017 melakukan dekriminalisasi kepada kepala negara lain, namun untuk kepala negara sendiri masih mempertahankan finalisasi 3 bulan sampai 5 tahun," papar-nya.

Karena itu, Arsul kembali menegaskan pentingnya pasal terkait penghinaan presiden-wapres dalam RKUHP perlu dipertahankan.

Namun, tantangan-nya adalah bagaimana agar tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Putusan MK tersebut telah membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menyasar kasus-kasus penghinaan presiden.

Karena itu menurut dia, DPR Periode 2014-2019 telah mengusulkan tiga hal agar aturan tersebut tidak bertentangan dengan Putusan MK.

Yaitu, sifat delik-nya diubah menjadi aduan. Kemudian, diberikan pengecualian pada ayat berikutnya yang bukan merupakan penyerangan seperti dalam rangka kritik dan pembelaan diri.

"Ketiga agar menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum, maka di pidananya harus diturunkan menjadi di bawah 5 tahun, agar Polri tidak bisa langsung menangkap. Itu dalam rangka merespons kekhawatiran masyarakat, perlu ada penjelasan Pasal 218 dan 219 RKUHP," ujarnya.

Dia menilai pasal-pasal terkait penghinaan presiden harus tetap dipertahankan, namun harus dengan formulasi yang baik dan hati-hati dan menutup potensi untuk disalah gunakan seminimal mungkin.(Antara/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler