jpnn.com - Diskursus mengenai dikotomi antara politik dan birokrasi telah menjadi kajian klasik di bidang ilmu politik dan pemerintahan. Sebagian pakar administrasi negara berkeyakinan bahwa birokrasi harus netral dari anasir politik.
Menurut Max Weber, birokrasi harus melayani semua pihak dan tidak dikendalikan oleh motif politik sehingga pada akhirnya tidak dapat berlaku profesional.
BACA JUGA: ASN Dilarang Keluar Kota, Setiap 8 Jam Harus Share Live Location
Mendalami problematika tentang netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam perebutan kekuasaan pilkada, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menorehkan buku yang bertajuk “Aparatur Sipil Negara dalam Perebutan Kekuasaan di Pilkada”.
Buku ini menarik karena membedah perkara netralitas ASN, yang sudah menjadi masalah klasik selama ini setiap gelaran pilkada.
BACA JUGA: Benny Sabdo: Mahar Politik Melahirkan Bandit Demokrasi
Ide awal buku ini berangkat dari kegiatan pribadi untuk mengumpulkan tiga perihal, yakni tren pelanggaran netralitas, peraturan apa saja yang dijadikan dasar dalam penegakan netralitas serta bagaimana penerapan pasal 71 ayat (1) UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (Siregar, 2020:xxi).
Secara ringkas unsur Pasal 71 ayat (1) UU 10 Tahun 2016 adalah sebagai berikut: Pertama, pejabat negara/pejabat daerah/pejabat ASN/anggota TNI-Polri/kepala desa/lurah.
BACA JUGA: Pernikahan Atta-Aurel Jadi Momen Simulasi Paslon Jokowi-Prabowo 2024
Kedua, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan. Ketiga, yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Dalam konteks pilkada yang memiliki potensi besar terhadap pelanggaran ini, yakni pasangan calon dari pertahana. Problematika netralitas ASN kerap kali juga menjadi salah satu dalil dalam mengajukan gugatan perkara pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Mari kita bedah tentang pengertian dari frasa “menguntungkan atau merugikan”. Pada dasarnya berkaitan erat dengan perbuatan hukum seseorang yang sedang memegang jabatan publik dalam melakukan tindakan yang melawan hukum.
Tindakan tersebut dapat membawa dampak yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu dalam sebuah proses kontestasi pilkada. Dalam konteks pilkada, tindakan hukum semacam ini dinilai melanggar prinsip netralitas pelayanan publik.
Dalam konteks hukum keterpenuhan unsur menguntungkan dan/atau merugikan ini seringkali menjadi bahan perdebatan. Apakah merupakan delik formil atau delik materiil.
Dalam artian, apakah pembuktian keterpenuhan unsur ini harus berdasarkan fakta adanya pihak yang mendapatkan keuntungan atau dirugikan (delik materiil). Ataukah pembuktiannya lebih didasarkan pada perbuatan hukumnya (delik formil).
Perdebatan serupa muncul dalam ketentuan tentang unsur merugikan keuangan negara dalam UU 31 Tahun 1999 juncto UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam konteks ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PUU-III/2006 menegaskan bahwa unsur merugikan negara merupakan delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan ada tidaknya kerugian negara, tetapi cukup membuktikan telah adanya perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, perlu ditegaskan sifat frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 ayat (1), apakah sebagai delik formil ataukah delik materiil.
Hal ini perlu ditegaskan dalam bagian penjelasan pasal UU 10 Tahun 2016 dalam rangka pembuktian dugaan pelanggarannya. Jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PUU-III/2006 serta mempertimbangkan tingkat kesulitan dalam pembuktian serta limitasi waktu dalam hukum acara pemilihan, maka pemaknaan frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” semestinya dapat dimaknai sebagai delik formil dalam arti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Peraturan perundang-undangan mengatur secara jelas mengenai larangan ASN dan batasan netralitas yang memiliki konsekuensi pelanggaran netralitas. Akan tetapi, selain tindakan-tindakan yang dianggap melanggar pelanggaran netralitas dan berdampak adanya rekomendasi pelanggaran netralitas.
Undang-undang juga mengatur mengenai tindakan ASN yang tidak saja sekadar melanggar prinsip netralitas, melainkan masuk ranah pelanggaran hukum pidana pemilihan. Misalnya, putusan pidana terhadap guru di PN Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan serta kepala dinas dan camat di PN Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Ide pengawasan terhadap netralitas ASN semestinya berangkat dan sejalan dengan gagasan manajemen ASN melalui pendekatan merit system, sehingga konsep pengembangan jenjang karir hanya bertumpu pada SDM yang berkualitas sesuai dengan prestasi kerja. Hal ini dapat membantu ASN memegang teguh prinsip profesionalitas dan netralitasnya.
Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas terhadap pemahaman regulasi dan membangun pengawasan yang sinergis. Pendekatan ini dapat memperkecil ruang gerak keterlibatan ASN dalam pilkada yang berujung pada reformasi birokrasi.
The last but not least, netralitas ASN dapat dimaknai sebagai sikap imparsialitas. Robert Dahl merumuskan imparsialitas sebagai kesetaraan politik, yaitu perlakuan yang tidak memihak dalam melaksanakan wewenang publik berdasarkan undang-undang dan kebijakan tanpa mempertimbangkan hubungan khusus, preferensi pribadi, dan hal-hal lain diluar hukum.
Dengan demikian, imparsialitas menjadi nilai dasar yang harus dijadikan pedoman oleh ASN.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich