Ataturk

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 19 Oktober 2021 – 23:35 WIB
Patung Ataturk di Antalya. Foto: Reuters

jpnn.com - Kalau ada riset mengenai 100 tokoh paling kontroversial di dunia, mungkin Mustafa Kemal Ataturk berada pada urutan 10 Besar, atau malah bisa berada pada urutan paling atas.

Dia tokoh yang banyak dipuja, tetapi juga banyak dicerca. Bagi pengikutnya dia adalah dewa, bagi musuh-musuhnya dia adalah setan.

BACA JUGA: HNW Tak Sepakat Mustafa Kemal Ataturk jadi Nama Jalan di Jakarta

Kontroversi sangat lekat dengan Ataturk. Karena itu wajar kalau sekarang muncul kontroversi di Indonesia karena namanya akan diabadikan sebagai nama jalan di salah satu ruas jalan di Jakarta.

Bagi masyarakat Indonesia Ataturk punya wajah ganda dengan segala kontroversinya. Satu sisi menunjukkan wajahnya sebagai pembawa modernisasi, sisi lainnya menunjukkan wajahnya sebagai pembawa sekularisasi.

BACA JUGA: Kontroversi Jalan Ataturk, Fadli Zon Ungkap Peran Rezim Erdogan

Pemujanya menyebut Ataturk Bapak Modernisasi Turki. Dia pendiri Republik Turki pada 1924 dan sekaligus menjadi presiden pertama.

Kelahiran Republik Turki sekaligus menjadi berakhirnya kekhalifahan Turki Utsmani yang sudah berkuasa selama 600 tahun.

BACA JUGA: Rencana Nama Jalan Ataturk di Jakarta, Wagub Riza Patria Bilang Begini

Ataturk menjadi tokoh yang mengetok paku pada peti mati kekhalifahan Utsmani, dan secara resmi menguburkannya.

Namun, Ataturk bukan satu-satunya penyebab kematian kekhalifahan Utsmani yang banyak mengalami problem kompleks di masa-masa terakhirnya.

Di masa kejayaannya, kekhalifahan Turki Utsmani adalah superpower dunia yang kekuasaannya merentang sampai ke Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, dan sebagian Asia.

Turki Utsmani didirikan oleh Usman Bey di wilayah Turki pada 1299 sebagai sebuah kadipaten kecil di Anatolia.

Setelah 1354, kekuasaan Utsmaniyah mulai melintasi Eropa dan menaklukkan wilayah Balkan, dan menjadikan negara Utsmaniyah menjadi negara lintas benua.

Sultan Mehmed II berhasil menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur yang menjadi pusat kekuatan Kristen dengan menduduki ibu kota Konstantinopel pada 1453.

Di kalangan Islam Sultan Mehmed dianggap sebagai pahlawan besar dan dikenang sebagai Muhammad Al Fatih atau Muhammad Sang Penakluk.

Penaklukkan oleh Muhammad Al Fatih ini bukan sekadar kemenangan politik dan militer, tetapi menjadi sebuah pembuktian nubuwah.

Ratusan tahun sebeluimnya, Nabi Muhammad sudah memberikan nubuwahnya bahwa ia melihat pasukan Islam menancapkan kaki-kakinya di Konstantinopel yang merupakan jantung kekuasaan Barat yang Kristen.

Sepanjang abad ke-16 dan 17, di bawah kekuasaan Sultan Sulaiman Al Qanuni, Kesultanan Utsmani menjadi salah satu negara terkuat di dunia, menjadi imperium multinasional dan multibahasa yang mengendalikan sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat, Kaukasus, Afrika Utara, sampai ke Tanduk Afrika.

Kesultanan Utsmaniyah menjadi pusat interaksi antara dunia Barat dan Timur selama lebih dari enam abad.

Mesir yang menjadi kekuatan Islam di Timur Tengah ditaklukkan oleh Utsmani pada 1517 dan menandai integrasi dua kekuatan Islam yang paling dominan.

Di bawah pemerintahan Sultan Salim I penguasa Utsmaniyah tidak hanya berperan sebagai sultan atau kepala negara Utsmaniyah, tetapi juga sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis.

Dalam perkembangannya kemudian, Barat mengejar ketertinggalannya dengan menemukan renaisans yang menjadi tonggak kebangkitan peradaban Barat.

Pada saat yang bersamaan, kekuasaan Utsmaniyah mulai uzur dan dilanda kejumudan dan dirusak oleh berbagai kasus maladministrasi.

Renaisans melahirkan modernisme Barat yang menjadi kunci kemajuan ilmu pengetahuan, yang kemudian melahirkan teknologi persenjataan perang yang canggih.

Kemudian, Revolusi Prancis pada 1789 melahirkan negara bangsa yang modern di Eropa.

Masuknya Napoleon Bonaparte menguasai Mesir pada 1798 menjadi tonggak kolonisasi Barat terhadap Timur, yang menandai makin surutnya kekuatan Timur dan kian kokohnya kekuatan Barat.

Kekuasan Turki Utsmani pelan-pelan digerogoti dari luar dan mengalami kejumudan dari dalam. Memasuki abad ke-20 Barat makin kuat, dan Perang Dunia I dari 1914 sampai 1918 mengonsolidasi kekuatan politik Eropa.

Sultan Abdul Hamid II menjadi sultan Utsmani terakhir yang berusaha mempertahankan integritas kekuasaannya dari rongrongan internal dan serbuan eksternal.

Abdul Hamid II yang punya integritas tinggi berusaha melakukan reformasi untuk merevitalisasi kesultanan.

Namun, tekanan dari luar dan dalam terlalu kuat. Abdul Hamid II dimakzulkan dan dibuang ke luar negeri.

Kekhalifahan Utsmani resmi dibubarkan pada 3 Maret 1924 dan sebagai gantinya berdiri Republik Turki dengan Mustafa Kemal Ataturk sebagai presiden pertama.

Selama masa-masa terakhir kekhalifahan Turki terjadi pertarungan yang sengit antara kekuatan konservatif, yang mempertahankan kekhalifahan Islam, melawan kekuatan liberal yang memperkenalkan modernisme Barat.

Mustafa Kamal berada pada blok kelompok modern yang berusaha memperkenalkan perubahan radikal untuk mengganti tatanan lama.

Mustafa menganggap bahwa kemunduran Turki terjadi karena pengamalan ajaran Islam tradisional yang konservatif, dan pengaruh budaya Arab yang dianggapnya negatif.

Modernisme yang diperkenalkan Mustafa Kamal Ataturk ke Turki dilakukan dengan melarang simbol-simbol Islam di kehidupan publik.

Ia secara ekstrem melarang pakaian Islam termasuk kerudung untuk wanita. Untuk menghilangkan pengaruh Islam Arab Mustafa melarang azan dengan bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki.

Pribumisasi Islam ala Ataturk ini terdengar gemanya sampai ke Indonesia.

Mustafa Ataturk memisahkan agama dari negara dengan mengganti sistem pemerintahan khalifah menjadi republik. Turki yang sebelumnya islami dirombak menjadi Turki yang sekuler.

Cara-cara yang ditempuh Mustafa Ataturk sangat ekstrem, sehingga menimbulkan rasa kekalahan yang mendalam di kalangan Islam politik.

Pendukung Mustafa Ataturk melihat langkah-langkahnya sebagai modernisasi. Namun, lawan politiknya menganggap kebijakan Mustafa sebagai sekularisasi.

Dua pandangan itu menjadi dua kutub magnet yang tidak bisa dipersatukan.

Modernisasi dianggap sebagai sekularisasi, karena memisahkan agama dari politik. Sedangkan kalangan modern menganggap agama sebagai penghalang.

Menyalahkan Islam sebagai penyebab kemunduran politik Turki adalah penyederhanaan yang menyesatkan. Kekhilafahan Turki Utsmani yang bisa berjaya selama enam abad di tataran global, adalah salah satu bukti bahwa Islam bisa menjadi kekuatan politik yang progresif.

Dunia Islam dianggap gagal mengadopsi modernisme yang menyebabkan kegagalan dalam beradaptasi dan melakukan reformasi menjadi negara yang modern.

Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, dunia Islam sudah melakukan reformasi dan modernisasi sejak abad ke-19, melalui para pemikir yang memperkenalkan pembaruan di sentra-sentra kekuatan Islam di Istanbul, Kairo, sampai Teheran.

Sebuah studi yang dilakukan sejarawan Christopher de Bellaigue dan dituangkan dalam buku 'The Islamic Enlightenment: The Modern Struggle Between Faith and Reason' (2017), mengungkapkan pergulatan panjang yang dilakukan para pemikir Islam untuk merevitalisasi ajaran Islam dan menyesuaikannya dengan modernitas.

De Bellagiue melihat penguasaan Napoleon terhadap Mesir sebagai tonggak penting dalam pertarungan Timur melawan Barat.

Sejak pendudukan itu sampai 200 tahun kemudian, para reformis Islam berusaha melakukan revitalisasi untuk membangkitkan kejayaan Islam.

Namun, kekuatan kolonialisme menjadi penghalang utama reformasi di negara-negara Islam.

Kekuatan kolonialis dan imperialis Barat sengaja mencengkeram negara-negara Islam dan memaksakan modernisasi versi Barat dengan memisahkan agama dari politik.

Jalur modernisasi sekular Barat inilah yang diambil oleh Mustafa Kamal Ataturk di Turki. Lawan politiknya menganggap Mustafa sebagai agen Barat yang disusupkan untuk menghancurkan Islam.

Karakter negatif Mustafa dengan gaya hidup kebarat-baratan yang sekular menjadi rumor yang menyebar luas kalangan Islam.

Di Indonesia, Presiden Sukarno menjadi pengagum Mustafa Ataturk dan ingin menerapkan gagasannya.

Namun, Muhammad Natsir menolak gagasan itu dan mengkritik Mustafa Kamal dan Sukarno yang dianggapnya keliru karena menyamakan modernisme dan sekularisme.

Benturan dua pandangan itu memecah bangsa Indonesia dalam dua kubu pro dan kontra sejak kemerdekaan sampai sekarang.

Rencana menjadikan Mustafa Kamal Ataturk menjadi nama jalan di Jakarta akan mengungkit luka lama dan menyiramnya dengan air garam. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler