Dua pemuda asal Sydney dirikan perusahaan 'start-up' teknologi. Mereka kuliah di universitas bersama-sama dan dalam semalam, mereka juga menjadi milyarder bersama-sama.

Mike Cannon-Brookes dan Scott Farquhar, keduanya berusia 22 tahun, sedang belajar di Universitas New South Wales ketika mereka mendirikan perusahaan teknologi ‘Atlassian’ pada tahun 2002, menggunakan 10.000 dolar (atau setara Rp 100 juta) dari kartu kredit mereka untuk mendanai proyek tersebut.

BACA JUGA: 200 Relawan Gelar Pesta Natal Tahunan Bagi Anak-anak Spesial

Pada kamis (10/12) malam, perusahaan teknologi ini melonjak di bursa Nasdaq, menutup bursa saham dengan nilai pasar 5.8 miliar dolar (atau setara Rp 80 triliun), jauh di atas valuasi pribadi senilai 3,3 miliar dolar (atau setara Rp 45 triliun) pada tahun 2014, sehingga membuat perusahaan ini sebagai perusahaan Australia paling sukses di pasar modal AS.

Hal itu juga melambungkan pasangan pebisnis muda ini ke dalam 20 besar Daftar Orang Terkaya versi BRW.

BACA JUGA: Pertama di Brisbane, Akomodasi yang Ramah Terhadap Kucing

Atlassian mempekerjakan sekitar 1.200 orang, dan melayani klien internasional termasuk Twitter, Verizon, dan badan antariksa AS- NASA, yang menggunakan teknologi Atlassian pada robot luar angkasa mereka, Space Rover.

Perusahaan ini bertanggung jawab atas sejumlah program termasuk HipChat, Jira, Confluence dan Bitbucket.

BACA JUGA: Pelajar Sydney Amar Hadid Ubah Lagu Rap Untuk Penyanderaan Martin Place

Scott Farquhar mengatakan, mereka membawa selusin staf yang telah bekerja di perusahaan selama lebih dari satu dekade ke New York untuk membunyikan bel di bursa Nasdaq.

Di samping kesuksesan mereka, Scott mengatakan, mereka masih fokus pada inovasi dan menciptakan sebuah perusahaan jangka panjang yang memecahkan masalah mendasar.

"Saya kira bagi kami, hal besar berikutnya akan datang kepada kami sebagai hasil dari komitmen untuk inovasi dan kreativitas yang kami sudah bangun di sini," utaranya.

Menurut Reuters, kisah yang dialami kedua pebisnis muda ini sungguh langka, di saat data menunjukkan bahwa tahun 2015 adalah tahun suram bagi penawaran teknologi, dengan banyak perusahaan yang masuk bursa masih diam di tempat atau berada di bawah valuasi pribadi mereka, dan terus melihat harga saham mereka jatuh.

Alasan dari sejumlah investor Amerika berjuang mati-matian untuk mendapatkan saham di Atlassian karena, tak seperti perusahaan teknologi tinggi lainnya, perusahaan ini tak hanya menjual mimpi.

Tak seperti perusahaan teknologi baru lainnya, grup perangkat lunak ini telah menenggak untung selama bertahun-tahun, menggunakan kas mereka sendiri- ketimbang menggantungkan dana investor –untuk mendanai ekspansi globalnya.

Perusahaan ini telah dinilai sebagai sebuah perusahaan yang beroperasi sangat sukses, yang menghasilkan keuntungan.

Tahun keuangan lalu, perusahaan ini memperoleh 6.78 juta dolar (atau setara Rp 700 miliar); jenis keberuntungan untuk membenarkan penilaian pasar yang tinggi, dan juga untung yang tinggi.

Mike dan Scott, masing-masing dari mereka memiliki 37% saham perusahaan, dan masing-masing akan mempertahankan 33% saham setelah dilempar ke publik.

Saham Atlassian mengakhiri hari di Wall Street dengan nilai 27.78 dolar (atau setara Rp 300.000), hampir sepertiga lebih tinggi dari harga IPO sebesar 21 dolar (atau setara Rp 240.000), menurut data Reuters.

Scott menjelaskan, "Saya memandang bahwa inovasi-lah yang akan mengamankan kemakmuran Australia untuk dekade mendatang. Terlepas dari kebijakan masing-masing, mereka benar-benar telah menempatkan saham di bidang inovasi dan itu mengagumkan."

Scott mengatakan, sektor ‘start-up’ teknologi Australia yang sedang berkembang menjadi lingkungan besar, dan itu lebih baik dari satu dekade lalu ketika Atlassian didirikan.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Defisit APBN Australia Mencapai Rp 370 Triliun

Berita Terkait