jpnn.com - Pembatalan izin operasional yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) membuat PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) merugi.
Akibatnya, emiten berkode RAPP tersebut akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
BACA JUGA: Literasi Keuangan Rendah, Investasi Bodong Marak
"Manajemen menyatakan penyesalan dengan adanya keputusan pemerintah tersebut. Namun, kami menghormati dan akan terus melakukan konsultasi," kata Corporate Affairs PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Agung Laksamana di Jakarta, Kamis (19/10).
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengeluarkan surat pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.93/VI BHUT/2013 tentang Persetujuan Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) untuk jangka waktu sepuluh tahun periode 2010-2019 atas nama PT RAPP.
BACA JUGA: 3 Tahun Pemerintahan Jokowi, Investasi Tembus Rp 1.494 T
Menurut Agung, keluarnya surat pembatalan tersebut membuat rencana kerja usaha (RKU) tidak berlaku lagi dan operasional perusahaan harus berhenti.
Dia menambahkan, perusahaan menerima surat peringatan pertama pada 28 September 2017.
BACA JUGA: Masyarakat Menaruh Harapan Baru Ekonomi Batam pada Lukita
Pada 6 Oktober 2017, perusahaan mendapat surat peringatan kedua.
Setelah itu, perusahaan mendapat surat peringatan RKU pada 17 Oktober 2017.
"Kami sudah dan terus berupaya untuk konsultasi dengan kementerian untuk mencari solusi terbaik agar operasional perusahaan normal lagi," kata Agung.
Dia mengakui, pembatalan izin operasional yang dikeluarkan oleh menteri lingkungan hidup dan kehutanan membuat perusahaan merugi karena sudah menanam banyak investasi.
Saat ini, perusahaan sudah berinvestasi sebesar Rp 85 triliun.
Perusahaan juga sedang membangun hilirisasi industri pulp yang menghasilkan kertas dan rayon bahan baku tekstil dengan investasi Rp 15 triliun.
"Sehingga total investasi mencapai Rp 100 triliun," kata Agung.
Dia menambahkan, perusahaan berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa kepada negara USD 1,5 miliar atau Rp 20 triliun per tahun.
Meski begitu, dia meyakini pemerintah akan memberikan solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini.
Pasalnya, banyak dampak negatif jika operasional dihentikan.
Akibat penghentian operasional ini, sekitar 4.600 karyawan hutan tanaman industri (HTI) dan transpor dirumahkan secara bertahap.
Sebanyak 1.300 karyawan pabrik berpotensi dirumahkan dalam beberapa minggu ke depan.
Selain itu, ada pemutusan kontrak kerja sama dengan mitra pemasok yang secara total memiliki lebih dari 10.200 karyawan.
Sementara itu, Direktur Operasional RAPP Ali Sabri mengatakan, dampak dari pembatalan RKU tersebut itu terhitung efektif mulai 18 Oktober 2017 pukul 00.00.
"Secara efektif RKU tidak berlaku lagi, begitu SK pembatalan kami terima. Itu artinya operasional PT RAPP harus berhenti," kata Ali.
Menurut Ali, berhentinya operasional mulai pembibitan, penanaman, pemanenan dan pengangkutan yang berada di lima kabupaten akan berdampak pada berkurangnya pasokan bahan baku.
Lima kabupaten itu adalah Pelalawan, Kuantan Sengingi, Siak, Kampar, dan Kepulauan Meranti.
"Kapasitas produksi kami 2,8 juta ton. Stok kayu tidak lama karena kalau tidak masuk stok kayunya akan berkurang langsung," kata Ali. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Undang Investor Niger Berbisnis di Indonesia
Redaktur & Reporter : Ragil