Aturan Peredaran Makanan Anak Harus Diawasi Lebih Ketat

Selasa, 23 Januari 2018 – 23:05 WIB
Peringatan Hari Gizi Nasional 2018 Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Anak Indonesia Zaman Now yang digelar PP Muslimat NU bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) di Jakarta, Selasa (23/1). Foto: Ist for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Siti Masrifah mengatakan, penerapan peraturan tentang peredaran makanan dan minuman, khususnya untuk anak-anak, harus diawasi lebih ketat.

“Seperti halnya dengan susu kental manis. Di seluruh dunia juga ada. Hanya saja, di Indonesia yang bermasalah adalah konten dalam beriklan dan berpromosi,” kata Siti dalam Peringatan Hari Gizi Nasional 2018 Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Anak Indonesia Zaman Now yang digelar PP Muslimat NU bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) di Jakarta, Selasa (23/1).

BACA JUGA: Kemenkes Serius Perangi Iklan Kesehatan Hoaks

Dia menambahkan, dalam iklan terdapat banyak makanan lain. Namun, ada bagian yang membangun persepsi masyarakat bahwa susu kental manis adalah susu untuk diminum sehari-hari

“Dan kita tahu, masyarakat Indonesia kecenderungannya lebih percaya kepada iklan. Jika tidak diluruskan, ada semacam pembohongan melalui iklan,” jelas Siti.

BACA JUGA: Soal Iklan Susu Kental Manis, KPI Akan Gandeng BPOM

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sudah menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita.

Sementara itu, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen.

BACA JUGA: KPI Banjir Aduan soal SKM, Nila Ajak Masyarakat Kurangi Gula

Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek.

Hal itulah yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk.

Stunting tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah dengan jumlah mencapai 16,9 persen dan terendah ada di Sumatera Utara dengan 7,2 persen.

Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen turun menjadi 28 persen pada tahun 2019.

Untuk pengurangan angka stunting, pemerintah juga telah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani di tahap awal. Hal itu kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya.

Sementara itu, anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Damayanti Rusli mengatakan, stunting disebabkan oleh malanutrisi, yaitu kondisi anak kekurangan gizi atau kelebihan gizi.

Malanutrisi yang terjadi pada masa 1.000 hari pertama kelahiran dapat berdampak permanen terhadap anak.

Anak yang terkena gizi buruk perkembangannya terhambat dan kemampuan kognitifnya berkurang sepuluh persen.

“Gizi buruk pada anak dimulai dari berat badan yang kurang yang terlihat pada masa 1.000 hari pertama kelahiran. Ibu harus peka untuk mendeteksi perubahan berat badan anak. Sebab, jika tidak segera diatasi, dapat mengakibatkan dampak yang permanen pada anak karena mengganggu perkembangan otak. Saat dewasa, anak-anak dengan gizi buruk tidak dapat seproduktif anak-anak lainnya.” Jelas Damayanti.

Pencegahan gizi buruk harus dilakukan sejak dini melalui ASI dan MPASI yang tepat untuk anak.

Karbohidrat, lemak dan protein adalah tiga zat utama yang dibutuhkan anak untuk perkembangan otaknya.

“Ada kalanya ibu tidak bisa memberikan ASI yang cukup kepada anak atau ASI ibu kurang. Maka anak dapat diberikan susu yang sudah diformulasi khusus untuk anak yang dalam standar pembuatannya telah dinyatakan aman untuk anak. Dalam hal ini mendapat izin edar dari BPOM. Susu kental manis sudah mendapat izin edar dari BPOM, tapi produk ini bukan untuk anak. Susu kental manis adalah untuk bahan makanan. Jika diberikan kepada anak anak berbahaya,” imbuhnya.

Damayanti menyinggung ditemukannya balita yang menderita gizi buruk di Kendari.

Dia meminta ke depan produk makanan minuman yang bukan untuk bayi dan anak jangan dipasarkan untuk bayi dan anak.

Tugas dari produsen adalah menjelaskan bagaimana pemakaian yang seharusnya kepada masyarakat.

“Kasus-kasus gizi buruk seperti ini, sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah, namun di kota-kota besar seperti Jakarta juga banyak,” ujar Damayanti.

Sementara itu, pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB Dodik Briawan mengatakan, intervensi gizi perlu dilakukan dalam bentuk edukasi secara berkesinambungan kepada masyarakat, terutama orang tua.

 “Orang tua harus paham betul kebutuhan nutrisi anak, makanan yang baik dan tidak baik, tidak terpengaruh gaya hidup yang serba instan serta iklan-iklan produk makanan anak yang kadang menjanjikan hal yang berlebihan,” kata Dodik. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Intervensi Penanganan Stunting Harus dengan Keroyokan


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler