jpnn.com, JAKARTA - Muatan kepentingan asing dari pihak anti-tembakau terindikasi menyusup pada aturan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang (UU) Kesehatan.
Hal ini perlu diwaspadai sebab dapat mengancam kedaulatan negara.
Pakar Hukum Internasional sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Prof. Hikmahanto Juwana mengungkapkan indikasi kuat bahwa terdapat kepentingan asing dalam aturan produk tembakau pada RPP Kesehatan dikarenakan isinya serupa dengan harapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
BACA JUGA: Indonesia Bisa Manfaatkan Produk Tembakau Alternatif untuk Menekan Prevalensi Merokok
"Saya mensinyalir LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) luar negeri berada di balik draf RPP Kesehatan. LSM ini sudah lama memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi FCTC,” terangnya kepada wartawan.
FCTC adalah perjanjian internasional yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia sebagai upaya untuk melarang total penggunaan tembakau.
BACA JUGA: Cegah Misinformasi Produk Tembakau Alternatif, AKVINDO Berharap Pemerintah Berpartisipasi
Muatannya terdiri dari beberapa komponen untuk mengendalikan tembakau secara eksesif, mulai dari pelarangan iklan dan promosi produk tembakau, pengenaan pajak yang tinggi untuk produk tembakau, hingga pelarangan konsumsi di tempat umum.
Pada aturan produk tembakau di RPP Kesehatan yang saat ini sedang dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki isi yang serupa.
BACA JUGA: Asosiasi Vape Ingin Aturan soal Tembakau Dipisahkan dalam RPP Kesehatan
Antara lain, larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan rokok eceran, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, hingga aturan kemasan minimal 20 batang per bungkus.
Melihat isi aturan tersebut, Prof. Hikmahanto menyarakan agar pemerintah mempertimbangkan apsek lain, seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, keberlanjutan sektor industri tembakau, serta penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.
Perlu disadari, kata dia, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau bukan angka kecil.
Nilainya mencapai 9 persen sampai 13 persen dari total penerimaan pajak negara.
"Isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan," tegasnya.
Dengan bunyi aturan tersebut, Prof. Hikmahanto menilai industri tembakau nasional bisa sangat terganggu dan akhirnya mati.
Oleh karena itu, ia menyarankan Kemenkes mengkaji ulang serta tidak terburu-buru dalam menyusun RPP Kesehatan, terutama berkaitan dengan produk tembakau.
Senada, anggota Komisi IX DPR RI Mukhamad Misbakhun juga menilai aturan produk tembakau di RPP Kesehatan merupakan pelaksana dari FCTC.
"Saya menegaskan ini sudah tidak benar. Hadirnya draft RPP ini sama saja (Kemenkes) ingin menjadi pelaksana dari FCTC. Kalau diperhatikan semua konsepnya sama. Saya sampai sekarang melarang FCTC diterapkan di Indonesia,” tegasnya.
Ia juga menekankan Indonesia tidak perlu mengadopsi FCTC sebab industri tembakau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan ekonomi negara.
Selain itu, produk tembakau juga merupakan warisan budaya dan leluhur bangsa.
“Industri tembakau merupakan ekosistem besar yang telah menciptakan jutaan lapangan kerja. Negara semestinya mengayomi salah satu kekayaan dan kebhinekaan ini. Masa yang seperti ini mau kita hilangkan,” pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif