Aturan Visa Kerja Dinilai Melemahkan Daya Saing Pelaut Indonesia

Rabu, 25 Oktober 2023 – 21:48 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). ilustrasi: Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Adanya aturan bagi pekerja migran berupa kewajiban mendaftar dan penyertaan sertifikat pelaut serta kewajiban visa kerja dianggap menambah beban yang berdampak pula pada daya saing pelaut Indonesia dengan kompetitor dari negara-negara lain.

Hal tersebut disampaikan Denny Ardiansyah selaku kuasa hukum dari Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) Imam Syafi’i dan Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia Ahmad Daryoko saat menghadiri persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (25/10).

BACA JUGA: KNP Dukung Ganjar Beri Edukasi Pelestarian Ekosistem Laut Untuk Pelaut Indramayu

Sidang kedua ini beragenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023.

Denny dalam persidangan memaparkan perbaikan permohonan. Antara lain, memperkuat dalil pengujian Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).

BACA JUGA: Semangati Calon Pelaut Muda, PIS Gelar Pertamina Goes to Campus di Makassar

Perbaikan berikutnya, menambahkan uraian tentang legal standing Pemohon III dengan menyertakan AD/ART organisasi, dan legal standing Pemohon II dengan melampirkan identitas diri.

Kemudian, sambung Denny, untuk kerugian konstitusional Pemohon I dan II, pihaknya menyertakan argumentasi bahwa adanya aturan bagi pekerja migran berupa kewajiban mendaftar dan penyertaan sertifikat pelaut serta kewajiban visa kerja, menambah beban yang berdampak pula pada daya saing pelaut Indonesia dengan pelaut dari negara-negara lain.

BACA JUGA: Nelayan Pendukung Ganjar Ajak Pelaut Ogan Ilir untuk Jaga Populasi Ikan Air Tawar

Sementara untuk Pemohon III, sambung Denny, dengan adanya dualisme peraturan mengakibatkan kebingungan bagi perusahaan dalam menentukan perizinan usaha antara menggunakan perizinan sesuai dengan ketentuan yang diterbitkan Kementerian Tenaga kerja atau Kementerian Perhubungan.

Di samping itu, pada permohonan ini juga diinfokan Pemohon III saat ini pun telah berstatus sebagai terdakwa dan ditahan di rutan dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang.

"Pada perbaikan ini juga telah ditambahkan argumentasi tentang komparasi dengan negara lain terkait kedudukan pelaut. Kami menyandingkan dengan aturan dari negara Filipina yang menggunakan UU Komisi Nasional Pelaut yang diterbitkan pada 2017," ujar Denny di Jakarta, Rabu (25/10).

Ia menambahkan, Komnas Pelaut yang mengelola hal-hal menyangkut kebutuhan pelaut sehingga tercipta pelaut profesional, sehingga pengelolaan urusan ini lebih fokus karena dijalankan oleh pengelola dengan latar belakang ilmu yang mumpuni.

Sebagai tambahan informasi, MK pada Rabu (11/10/2023) menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).

Permohonan Nomor 127/PUU-XXI/2023 ini diajukan Imam Syafi’i selaku Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Pemohon II), dan Ahmad Daryoko selaku Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia (Pemohon III).

Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI menyatakan, “Pekerja migran Indonesia meliputi: … c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.” Menurut para Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Imam Syafi’i (Pemohon I) menilai akibat keberlakuan norma tersebut berdampak pada tumbang tindih regulasi dari beberapa tingkatan undang-undang, di antaranya UU 17/2008 tentang Pelayaran, PP 31/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, dan PP 22/2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.

Dengan beralihnya kewenangan kementerian yang menyelenggarakan urusan pelayaran dari Kementerian Perhubungan ke Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sehingga jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan.

Sementara bagi Ahmad Daryoko (Pemohon III) yang merupakan perusahaan yang bergerak dalam aktivitas keagenan awak kapal, dirugikan pula atas ketentuan norma tersebut.

Pemohon III wajib memiliki surat izin perekrutan pekerja migran Indonesia yang diterbitkan oleh Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran sebagaimana ditentukan Pasal 72 huruf c UU PPMI.

Akibat ketentuan ini, Pemohon III dikriminalisasi dengan telah ditetapkannya sebagai tersangka dan saat ini dalam proses penahanan pada rumah tahanan negara oleh Penyidik Ditreskrimum Kepolisian Daerah Jawa Tengah dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang.

Selian itu, norma tersebut juga berpotensi merugikan Pemohon III dalam menjalankan usaha keagenan awak kapal. Sebelumnya Pemohon III bekerja sama dengan agen awak kapal asing, baik dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik atau pun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28| ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (dil/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler