ATVI Gelar Bedah Buku Tentang Perspektif Komunikasi, Media Digital dan Dinamika Budaya

Jumat, 19 Mei 2023 – 08:18 WIB
Editor buku Suradi, M.Si (kedua kiri) pada acara peluncuran dan bedah buku tentang Perspektif Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika Budaya di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Kemendikbud, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (17/5/2023). Foto: Dok. ATVI

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Dr. Melitina Tecoalu, S.E., M.M mengatakan  dosen perguruan tinggi, khususnya para dosen ATVI harus memiliki aktivitas dan kebiasaan menulis yang terus-menerus, baik menulis untuk jurnal ilmiah maupun buku teks dan buku bacaan bagi mahasiswa dan masyarakat umum.

Aktivitas dan kreativitas menulis itu harus bagaikan passion atau Renjana dalam kosa Bahasa Indonesia yang diambil dari Bahasa Sansekerta yang dapat diartikan sebagai keinginan kuat untuk tiada henti melakukan sesuatu yang menyenangkan, dalam hal ini aktivitas menulis.

BACA JUGA: Ganjar Milenial NTB Gelar Deklarasi Dukungan dan Bedah Buku di Mataram

Direktur Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Dr. Melitina Tecoalu, S.E., M.M. Foto: Dok. ATVI

BACA JUGA: MIPI Gelar Bedah Buku Dinamika Pemerintahan di Papua, Bahtiar Mengapresiasi Muhammad Musaad

Menulis dan memublikasikannya dalam bentuk jurnal, apalagi buku, bagi para dosen, lanjut Melitina, merupakan bagian dari proses Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Jadi kata Renjana ini harus jadi passion para dosen melakukan kegiatan menulis yang terus-menerus.

BACA JUGA: Aspikom Jabodetabek Gelar Bedah Buku Terbaru Karya Profesor dari Unpad

“Buku yang dibedah ini, jadi legacy bagi para dosen ATVI karena dapat dibaca siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Ini akan abadi,” papar Melitina Tecoalu ketika memberikan sambutan pada acara peluncuran dan bedah buku “Perspektif Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika Budaya” di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Kemendikbud, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (17/5/2023).

Peluncuran dan bedah buku ini diselenggarakan atas kerja sama Akademi Televisi Indonesia (ATVI) dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Kemendikbud.

Acara ini dimoderatori oleh Dr Dewi Puspita dari Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra dan selingan hiburan berupa musikalisasi puisi oleh Komunitas Van Der Wijck.

Sekretaris Hafidz Muksin mengatakan buku “Perspektif Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika Budaya” ini dari sisi konten dan karakteristik cukup beragam baik menyangkut cara membuat konten digital, bagaimana membuat live streaming yang bagus, bisnis di era digital, jurnalisme warga, hingga soal alih wahana.

Dengan demikian kata Hafidz, buku ini memberi nuansa dan wacana yang sangat lengkap bagi kita semua. Ini bermanfaat bagi komunitas bahasa dan sastra yang ada di Badan Bahasa ini dan tak kalah penting bagi generasi milenial.

Apalagi di Badan Bahasa punya Duta Bahasa yang tersebar di semua provinsi. Mereka talenta terbaik yang secara khusus kita beri dukungan dan fasilitasi untuk membuat konten-konten media kreatif yang bertemakan bahasa dan sastra, baik untuk penguatan literasi, kelestarian bahasa dan intenasionalisasi Bahasa Indonesia.

“Teknologi itu berkembang cepat, menguasai teknologi informasi itu sangat penting, juga meng-update-nya. Karena itu, buku ini memberi banyak petunjuk dan contoh bagaimana kita menguasai dan memanfaatkan teknologi dengan baik dan positif,” ujar Hafidz.

Editor buku ini, Suradi, M.Si menjelaskan latar belakang dan proses kreatif lahirnya buku “Perspektif Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika Budaya” ini sebagai bagian dari proses kegiatan menulis para dosen ATVI.

Beragamnya tema yang diangkat dalam buku ini memang dimaksudkan memberikan kesempatan bagi para dosen untuk menuangkan pemikiran dan keahliannya yang selama ini diberikan kepada mahasiswa dalam perkuliahan.

“Dukungan kolega dosen, pimpinan ATVI, dan pimpinan penerbit Prenada Media, membuat proses penulisan dan penerbitan buku berjalan lancar. Juga kolaborasi dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sangat apik, sehingga peluncuran dan bedah buku dalam rangka Dies Natalis ke-25 ATVI sangat menarik,” ungkap Suradi yang juga dosen ATVI.

Paradoks Era Digital

Ahli komunikasi yang juga dosen ATVI, Drs. Eduard Depari, MA mengungkapkan keresahannya menyikapi perkembangan masyarakat di era digital yang makin menuntut kecepatan dan kebaruan.

Dia mengatakan kita melihat di tengah masyarakat, polarisasi berkembang, apalagi saat kontestasi politik baik Pilpres maupun Pilkada dan pemilihan anggota legislatif pusat dan daerah.

“Membedah buku “Perspektif Komunikasi, Media Digital, dan Dinamika Budaya”  karya para dosen ATVI ini, kita seolah dihadapkan pada paradok. Di satu sisi akses untuk beragam informasi sangat terbuka luas, tetapi saat bersamaan, semangat dan kebiasaan membaca masyarakat sangat lemah. Ini diperparah dengan intervensi media televisi yang menawarkan beragam acara dan dapat dilihat di berbagai platform via HP,” ujar Eduard.

Eduard yang mantan Direktur ATVI ini juga mengungkapkan polarisasi di masyarakat makin tajam karena peran media sosial yang tidak terkendali, terutama media sosial di tangan yang mampu membeli dan mengonsumsi, tetapi tidak mampu mengendalikan pesannya.

Dia menekankan pentingnya literasi membaca atau reading literacy yaitu bagaimana kemampuan mengendalikan informasi. Lemahnya kebiasaan membaca akan menumpulkan kemampuan berpikir kritis. Karena ketidakmampuan berpikir kritis itu mengakibatkan ketidakmampuan membedakan fakta, opini, hoaks dan informasi yang menyesatkan.

Mengutip sebuah buku yang mengulas media sosial, Eduard mengatakan media sosial itu menghubunkan kita atau memisahkan kita? Apakah produktif atau sebaliknya membuang waktu kita.

Sebab penggunaaan waktu yang lama dan tak terkendali untuk kepentingan media sosial, membuat waktu kita untuk rekreasi keluarga dan kepentingan sosial yang bermanfaat, seperti membaca buku, bergaul, menjadi berkurang.

”Jadi, media sosial itu digunakan antitesa media komunikasi massa. Sehingga kata media sosial itu menyimpang dari makna sebenarnya. Kalau media komunikasi massa sifatnya vertikal sedangkan media sosial horizontal. Bila media komunikasi massa itu sifatnya dominan, top down sedangkan media sosial, interaktif, orang bisa terlibat dalam pengambilan keputusan,” kata Eduard.

Eduard dalam paparan akhirnya menilai tepat pengambilan judul dengan kata perspektif komunikasi, dan media digital, tepat, lalu perspektifnya di mana? Perspektif komunikasi media digital Kita dapat lihat karakter media digital.

Dia meungkinkan banyak hal terjadi dan pada saat bersamaan bisa diakses dan digunakan bersama.

“Sayangnya akses informasi itu tidak digunakan secara bermanfaat, informasi apa yang dibaca,” kata Eduard.

Dinamika Budaya

Dosen Jurusan Desain ITB Prof Yasraf Amir Piliang selaku pembahas dalam bedah buku ini melihat aspek budaya dalam konteks perkembangan media digital.

Dia menyebutkan buku yang dibedah ini mengulas banyak dimensi media digital, keresahan buku ini adalah proses digitalisasi.

“Pendekatan multidisiplin dan metodenya melihat peluang-peluang bagi proses kreatif, tetapi tujuan pengayaan keilmuan bidang komunikasi media digital,” katanya.

Yasraf melihat banyak sisi soal era digital saat ini. Misalnya, bagaimana perbedaan antara media mainstream lama dengan media digital yang lebih praktis.

Bahkan dengan perkembangan terakhir yang mencerminkan multikomunikasi, siapa pun bisa membuat konten dan menilai konten lain melalui media digital.

Dimensi budaya yang nyata terasa saat ini, lanjut Yasraf, misalnya sebelumnya kita menganggap bahwa kehidupan itu bagaikan waktu kronologis yang dilukiskan dari babakan masa lalu, masa kini dan masa depan.

Namun, saat ini kita sebut sebagai waktu chronoscopic, tidak lagi kronologis. Jadi, sifat chronoscopic, yaitu kita bisa berkomunikasi (atau hidup) di satu tempat yang sama (di layar TV/Komputer) meski tempatnya berjauhan, bahkan lintas negara. Perubahan budaya berkomunikasi saat ini juga mengubah sikap dan persepsi kita tentang dimensi kehudupan.

Yang menarik juga diungkapkan Yasraf, bagaimana perubahan cara berkomunikasi yang menyangkat tulisan dalam WA atau Twitter. Di WA atau Twitter, hampir semua dilakukan dengan mempersingkat kata,

“Jangan-jangan lama-kelamaan orang ingin membuat skripsi, tesis ataupun disertasi dengan singkat saja,” kata Yasraf bergurau.

Begitu juga dimensi lain dari pola komunikasi melalui pesan di media sosial yang justru bukan lagi mementingkan konten yang komunikatif dan baik, tetapi bagaimana konten pesan itu segera dibalas.

“Jadi, yang penting itu membalas apa saja, bukan memperhatikan pesan yang sebetulnya sangat pokok,” ujar Yasraf.

Pembahas Dr. Ahmad Khoironi A, S.Hum., M.A, Anggota KKLP Pembahu (Pembinaan Bahasa Hukum) dari Badan Pembinaan Bahasa dan Sastra.

Dia membedah buku ini dengan tema Dunia Komunikasi dari Sudut Pandang Linguistik, Pemilihan Bahasa dan Budaya.

Dia membagi tiga kerangka komunikasi yaitu komunikasi dan Bahasa dalam kajian linguistik, sistematika penulisan artikel sosial-humaniora, dan pembinaan Bahasa dalam ranah tulis.

Khoiri mengakui tidak mudah untuk menuangkan gagasan/ide atau suatu hal dalam bentuk tulisan yang mudah dibaca dandimengerti banyak orang.

“Jadi, mendedah pikiran kita dalam sebuah buku yang komunikatif itu sulit. Karena itu, saya apresiasi karya buku ini sebagai legacy dari para dosen ATVI,” katanya.

Khoironi mengulas Komunikasi dan Bahasa. Komunikasi itu katanya yaitu proses komunikasi yang menjelaskan siapa, mengapa, kepada siapa melalui saluran apa, sedangkan Bahasa yaitu sistem komunikasi antaranggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.

“Komunikasi dapat berjalan efektif jika topik relevan, lawan tutur satu frekuensi dan cara bertutur baik,” kata Khoironi.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler