jpnn.com, JAKARTA - Film horor di Indonesia berkembang jauh lebih kompleks dari sebelumnya.
KKN di Desa Penari menjadi film horor terlaris dengan jumlah 9,2 juta penonton, mengukuhkan diri sebagai film banyak ditonton nomor dua di Indonesia setelah Avengers: Endgame.
BACA JUGA: Begini Cara Baru Rasakan Sensasi Ketegangan Konten Horor, Penasaran?
Ini membuktikan bahwa genre horor Indonesia sekarang makin berkualitas dan memberikan lebih dari sekadar rasa takut dan ngeri.
Tidak hanya dari dunia film, konten audio bergenre horor juga mulai menunjukkan peningkatan ketertarikan yang signifikan dari para penikmat horor.
BACA JUGA: Adzan Romer Menodongkan Senjata Api kepada Ferdy Sambo
Platform konten audio lokal Noice mencatat, genre horor menduduki peringkat kedua genre konten terfavorit paling banyak didengar oleh penggunanya.
Beberapa konten kreator tanah air yang fokus menggarap konten horor dan konspirasi dengan format podcast audio maupun visual lewat platform YouTube-pun angkanya makin berkembang. Sebut saja Nessie Judge, Rivaldo, Raditya Dika, dan banyak lainnya.
BACA JUGA: Perampokan dan Pembunuhan Sadis Suami Istri, Satu Pelaku 16 Tahun
Selain dalam format visual, konten horor yang tengah menarik perhatian para penikmat horor kali ini adalah audioseries. Cerita berseri yang dikemas dalam format audio ini umumnya mengadaptasi plot yang ditulis oleh para penulis lokal dengan gimmick cerita yang lebih kaya.
Sweta Kartika misalnya, penulis komik horor bertajuk Journal of Terror yang karyanya telah hadir dalam format novel dan web series, kini bersama Noice mengembangkan audioseries.
Setelah sebelumnya kerap menulis karya bertemakan romance dan aksi, Sweta menjajaki tantangan baru dengan merilis karya bertema horor.
Hadir secara eksklusif di aplikasi Noice, audioseries Journal of Terror: Kelana telah mencatat lebih dari 1.000.000 listening minutes dan telah memasuki season ke-2.
Judul audioseries lain bergenre horor yang tidak kalah menarik antara lain Jagat Segoro Demit, Okultis, dan banyak lainnya.
“Mengadaptasikan karya tulisan bertema horor ke dalam format audio menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Selain menyesuaikan cara bercerita, pertimbangan efek suara serta pembawaan karakter dari para talent juga harus rapi dan presisi. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan kompleks bersama tim Noice, ternyata hasilnya melebihi ekspektasi," ungkap Sweta Kartika, penulis Journal of Terror: Kelana, kepada media, Jumat (14/10).
"Saya senang karena cukup banyak yang antusias dengan Journal of Terror versi audioseries. Sentuhan audio justru memberikan sensasi yang lebih menegangkan karena imajinasi para pendengar ikut berkelana, seolah mereka menyaksikan atau bahkan mengalami langsung petualangan Prana, sang tokoh utama dalam cerita ini,” ujar Kartika.
Audioseries disebut sebagai karya yang terinspirasi dari drama atau sandiwara radio yang populer di era 90-an, Di beberapa negara, drama atau sandiwara radio sempat menjadi salah satu hiburan populer sekitar tahun 1940-1950-an sebelum posisinya tergeser akibat kemunculan televisi.
Pada 1980 hingga 1990-an di Indonesia, banyak stasiun radio yang memutar drama audio, tak hanya di bulan Ramadan. Di antara yang populer tersebut, ada Tutur Tinular dan Saur Sepuh. Kedua karya sandiwara radio ini sangat berkesan bagi pendengar ketika menikmati riuh instrumen pengiring serta narasi pembukanya.
Sensasi Berbeda Lewat Theatre of Mind
Mendengarkan audioseries menyajikan sensasi dan pengalaman berbeda dalam menikmati konten horor karena satu alasan utama: Theatre of mind.
Sosok wanita berambut panjang bergaun merah berdiri di sudut ruangan, kakinya mengambang di udara.
Tak lama setelah itu terdengar suara hihihihi hihihi hihihi diikuti oleh knock knock knock di pintu kamarku.
Bagi penikmat horor, onomatope seperti suara tawa kuntilanak memberikan perasaan takut saat mendengarnya. Pada audioseries, kita akan disuguhkan narasi yang dibacakan narator dengan tegang dan sangat perlahan membawa penonton ke sudut ruangan.
Efek suara tersebut akan memunculkan visualisasi tersendiri di benak tiap pendengar terhadap apa yang mereka dengar. Saat narator menceritakan sosok hantu bergaun merah berdiri dengan kaki mengambang di udara, seseorang bisa membayangkan sosok tersebut dengan tubuh penuh darah, wajah penuh sayatan, bahkan dengan wajah mantan sekalipun. Namun di benak orang lain, penampakannya bisa jadi berbeda.
Tidak hanya tentang suara hantu dan suara yang dihasilkan manusia, tetapi juga interaksi dengan alam. Ketika narator menceritakan ia sedang berjalan di hutan sambil menginjak daun kering dan ranting kayu, efek suara daun kering yang diinjak dan suara ranting patah akan terdengar dan menjadikan semuanya terasa lebih nyata.
Bahkan, suara pentungan petugas ronda dan lolongan anjing di ujung desa juga akan samar-samar sampai ke telinga kita dengan lembut, dan sontak membuat bulu kuduk merinding. Dengan mata terpejam, kita bisa merasakan seolah-olah berada di tempat yang diceritakan dalam plot audioseries.
Berani uji nyali untuk mendengarkan audioseries horor? jangan lupa pejamkan mata dan pakai earphone untuk mendapatkan sensasi ketegangan yang maksimal. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Apa Alasan Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika Gugat Cerai Dedi Mulyadi? Ini
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti