Tanggal 14 Oktober menjadi hari ketika warga Australia akan memilih 'Yes' atau 'No' untuk memiliki lembaga 'Voice' atau Suara beranggotakan Penduduk Pribumi Aborigin dan Selat Torres dalam konstitusi mereka.

Proposal tersebut mengajukan agar ada bab tambahan ke dalam konstitusi, yang mengakui Penduduk Asli Australia sebagai 'First People' atau Masyarakat Pertama di Australia, serta membentuk badan penasihat yang disebut 'Vocie' untuk memberikan saran kepada pemerintah mengenai undang-undang dan kebijakan yang akan memengaruhi mereka.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Maskapai Qantas Dituduh Telah Melakukan Tindakan Menyesatkan

Saat ini sudah ada kampanye dari kedua belah pihak 'Yes' dan 'No' dan akan terus berlangsung selama enam pekan ke depan untuk mencari dukungan warga.Mereka yang memilih 'Yes'

Bagi mereka yang mendukung 'Yes', hanya ada dua alasan sederhana, yakni rasa hormat dan pengakuan.

BACA JUGA: Kecerdasan Buatan Mendefinisikan Perempuan yang Cantik, tetapi Malah Memicu Masalah

Kubu 'Yes' menginginkan pengakuan terhadap masyarakat Pribumi Australia dalam Konstitusi, karena menurut mereka Australia tidak bisa lagi menjadi satu-satunya negara kolonial yang tidak mengakui masyarakat pribumi dan adat dalam dokumennya..

Para pendukungnya mengatakan kondisi dan pengambilan kebijakan terkait masyarakat Pribumi Aborigin saat ini tidak dapat dilanjutkan. Untuk mengubah kondisi ini, masyarakat Pribumi Aborigin dan Selat Torres harus bisa memberikan pendapat mengenai hal-hal yang akan memengaruhi kehidupan mereka.

BACA JUGA: Dulu Seteru, Kini Sekutu: Drama Politik Indonesia Menjelang Pemilu

Untuk pembuatan kebijakan yang lebih baik dan konsisten, mereka mengatakan pemerintah harus berkonsultasi dengan badan perwakilan mengenai undang-undang dan kebijakan yang memengaruhi mereka.

Pengakuan dan penghormatan ini bisa dilakukan dengan membentuk sebuah badan 'Voice', yang berarti sebuah badan permanen yang tidak dapat dihapuskan kecuali jika ada referendum lagi.

Kelompok 'Yes' mengatakan lembaga ini akan menggabungkan simbolisme pengakuan dengan tindakan nyata dalam bentuk badan penasehat.

Kelompok-kelompok yang berbeda sudah bekerja sama agar bisa mendapat dukungan 'Yes' pada referendum. Banyak warga yang terlibat dalam kampanye ini bekerja selama bertahun-tahun untuk mencoba mendapatkan pengakuan masyarakat Pribumi dalam agenda nasional.

Salah satunya adalah Dialog Uluru, kelompok warga yang mengagas 'Uluru Statement from the Heart' yang mengusulkan adanya 'Voice, Treaty, Truth'. Juru bicaranya termasuk Profesor Megan Davis, Aunty Pat Anderson dan Noel Pearson.

Ada juga tim kampanye resmi Yes23 dari pemerintah federal yang dipimpin oleh Perdana Menteri Anthony Albanese, dan seluruh pemerintahan negara bagian.

Kelompok yang mendukung 'Yes' juga sudah mengumpulkan ribuan relawan di seluruh negeri, yang sudah melakukan doorknocking ke rumah-rumah warga, menggelar pertemuan dengan warga, serta acara komunitas lainnya, dengan didukung berbagai organisasi ternama di Australia seperti asosiasi footy AFL, asosiasi rugby NRL, maskapi penerbangan QANTAS , perusahaan telekomunikasi Telstra dan Bank Commonwealth.Mereka yang memilih 'No'

Mereka yang berkampanye 'No' mendapat dukungan dari kelompok lobi konservatif Advance di bawah bendera "Australian for Unity", didukung oleh juru bicara Warren Mundine dan juru bicara oposisi untuk Masyarakat Pribumi Australia, yakni Jacinta Nampijinpa Price.

Pendukung utama 'No' lainnya termasuk pemimpin oposisi, seperti pemimpin Partai Liberal Peter Dutton dan pemimpin Partai Nasional David Littleproud.

Peter mengatakan ia akan mendukung undang-undang yang mengakui penduduk asli Australia, namun mendukung kelompok yang ingin membentuk badan penasehat untuk dimasukkan ke dalam konstitusi.

Hal ini membuat Partai Liberal berselisih dengan mitra koalisi mereka, dan David sejauh ini menolak untuk mengikat partainya pada kebijakan tersebut.

Kampanye 'No' dari Australians for Unity memiliki tiga alasan utama mengapa menentang 'Voice':  kekhawatiran akan menimbulkan perpecahan, akan menghadapi tantangan hukum, dan hal-hal lainnya yang tidak diketahui.

Mereka melihat 'Voice' sebagai sesuatu yang "memecah belah" antara penduduk asli Australia dan masyarakat lain secara luas.

Para pendukung 'No' juga mengatakan mereka tidak ingin konstitusi diubah karena mereka yakin malah menciptakan peluang untuk mengajukan gugatan hukum di pengadilan tinggi.

Beberapa penggiat 'No' juga mengatakan mereka ingin melihat undang-undang yang akan mengatur 'Voice', sebelum melakukan pemungutan suara dalam referendum.

Ada juga 'No' yang sekunder, yang disebut sebagai 'NO yang progresif', diperjuangkan oleh senator Lidia Thorpe danBlack Sovereign Movement yang ia wakili di parlemen.

Kelompok ini tidak mendukung usulan 'Voice', tapi dengan alasan yang berbeda dengan para pendukung 'No' lainnya.

Para pendukung kelompok 'No' yang progresif percaya usulan 'Voice' tidak cukup efektif, karena badan tersebut hanya berfungsi sebagai penasehat dan tidak memiliki kekuasaan independen atau hak veto terhadap parlemen.

Mereka juga tidak ingin masyrakat Pribumi Australia dimasukkan ke dalam dokumen konstitusi, yang dianggap sebagai sebuah dokumen kolonial yang tidak sah oleh sebagian orang.

Kelompok No yang "progresif" juga menyerukan untuk lebih mendahulukan 'Treaty' sebelum 'Voice', karena mereka percaya  ini akan lebih banyak manfaatnya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Pribumi Australia.

Artikel ini diproduksi oleh Erwin Renaldi dari artikelnya dalam bahasa Inggris

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Warga Kanada LGBTIQ Diminta Berhati-hati Pergi ke Amerika Serikat

Berita Terkait