Politisi Budiman Sudjatmiko resmi dipecat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang telah menaunginya selama hampir dua dekade.
Pemecatannya ia terima dalam wujud sepucuk surat pada Kamis pekan lalu (24/08).
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Warga Kanada LGBTIQ Diminta Berhati-hati Pergi ke Amerika Serikat
"[Ditandatangani oleh] Ibu Megawati dan Pak Sekjen, Pak Hasto Kristiyanto, dan [suratnya] diterima oleh putri saya yang kebetulan waktu kecil dikasih nama oleh Ibu Megawati," tutur Budiman kepada Kompas.
Ada tujuh poin pertimbangan PDI-P memecat Budiman, salah satunya karena melakukan "pelanggaran berat".
BACA JUGA: Pilpres 2024 Berpeluang Diikuti Hanya 1 Paslon, Lawan Kotak Kosong?
"Bahwa sesungguhnya sikap, tindakan, dan perbuatan Sdr Budiman Sudjatmiko, MA M.Phill selaku kader PDI-P yang tidak mengindahkan Instruksi Ketua Umum PDI-P untuk mendukung dan memenangkan Ganjar Pranowo sebagai Presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2024 dengan mendukung calon presiden dari partai politik lain merupakan pelanggaran kode etik dan disiplin partai, yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat," bunyi poin kelima dalam pertimbangan pemecatan tersebut.
Pemecatan dilakukan hanya enam hari, setelah Budiman dan calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, mendeklarasikan relawan Prabu (Prabowo-Budiman) Bersatu di Jawa Tengah.
BACA JUGA: Ratusan Petani di Way Kanan Dukung PAN di Pemilu 2024
Ia memang terang-terangan tak mendukung Ganjar Pranowo, capres yang diusung partainya.
"Pak Ganjar baik, bukan buruk ya. Tapi Indonesia butuh kepemimpinan yang strategik untuk hari ini," kata Budiman yang mulai mendekati Prabowo sejak bulan lalu.
Selain menuai reaksi dari partainya, dukungan Budiman kepada Prabowo juga dikecam oleh rekan-rekannya sesama aktivis 98.
"Deklarasi tersebut bukan hanya menunjukkan Budiman mengkhianati kawan-kawan seperjuangannya, tapi juga mengkhianati keluarga korban penculikan," tutur Petrus Heriyanto, anggota Tim Forum Rakyat Demokratik Pro Korban Penculikan, yang juga mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai bentukan Budiman di masa orde baru.
"Lebih dalam lagi, dia telah mengkhianati demokrasi dan nilai-nilai kemanusian," tambah Petrus.
Petrus mengingatkan, hingga kini masih ada 13 aktivis, empat di antaranya kader PRD, yang masih tidak diketahui nasibnya.
Menurut Petrus, Prabowo Subianto seharusnya tidak hanya diberhentikan dari militer pada 1998 karena terlibat penculikan aktivis ini, tetapi juga diproses sampai ke meja hijau.
"Seharusnya menjadi tugas Budiman dan kader PRD lainnya untuk menuntaskan hal ini. Masih ada utang masa lalu yang tetap harus dilunasi. Bukannya malah dikubur dalam-dalam oleh Budiman Sudjatmiko."Berubah haluan
Tapi Budiman bukan satu-satunya yang berubah haluan politik.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang pada Oktober 2022 lalu mengumumkan akan mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai capres PSI 2024 sesuai hasil Rembuk Rakyat, mekanisme yang dibuat partai itu untuk menjaring nama-nama capres, kini memberi sinyal akan mendukung Prabowo Subianto.
Akibatnya, sejumlah kader PSI, sebagian bahkan telah berstatus bakal caleg, memilih hengkang.
Setelah Guntur Romli, Dwi Kundoyo, dan Estugraha mundur dari PSI pada awal Agustus, pekan lalu sejumlah kader lainnya menyusul langkah yang sama, yakni M. Afthon Lubbi, Lis Sektiyawanti, Darma Munir, Tulus Borisman, dan Alfonsus Simbolon.
"Kami patah hati kepada sikap DPP PSI yang mulai bermain mata dengan Prabowo Subianto ... kami dari awal memilih PSI karena PSI melalui rembuk nasional, rembuk rakyat sudah mendukung Ganjar Pranowo," ujar bacaleg DPR RI dapil Jawa Tengah, Afthon Lubbi.
Afthon menambahkan, baginya Prabowo mempunyai rekam jejak pelanggaran HAM yang belum selesai dan ia bersimpati pada keluarga korban pelanggaran HAM "yang hingga kini masih mencari keadilan" serta berharap "pemerintah menghukum pelaku penculikan aktivis 98."
Namun PSI sendiri mengaku belum bisa memastikan pilihannya.
"Jadi kompas kami hari ini dalam menentukan dukungan adalah Pak Jokowi. Kapan akan diumumkan? tunggu aja," kata Grace Natalie, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, usai menerima kunjungan Prabowo, 2 Agustus lalu.Relawan yang berganti pakaian
Politisi, partai politik, bahkan relawan juga bisa berbalik arah.
Salah satu kelompok sukarelawan pendukung Jokowi yang bukan saja habis-habisan di tahun 2014 dan 2019, tapi juga dalam berbagai kesempatan adalah Jokowi Mania atau Joman.
Joman berada di pihak yang berseberangan dengan Prabowo, ketika Joko Widodo dan Prabowo Subianto berhadap-hadapan, sebelum Prabowo diangkat sebagai Menhan.
Namun, menjelang tahun politik 2024, Joman justru menambatkan diri pada Prabowo.
Bulan Februari lalu, Ketua Umum Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer, mendeklarasikan Prabowo Mania 08.
"Jadi bukan relawan, tapi pendukung atau timses Pak Prabowo untuk 2024," ujar Noel yang juga menyebut bahwa Prabowo Mania akan bertransformasi menjadi ormas dan bukan kelompok relawan.
Sebelumnya, Noel menginisiasi Ganjar Pranowo (GP) Mania, tetapi membubarkan diri karena ia menilai Ganjar tidak memiliki gagasan dan keberanian untuk menyampaikannya kepada publik.
Langkah Joman juga diprediksi akan diikuti oleh kelompok relawan lainnya, Pro-Jokowi atau Projo, setelah bertemu dengan barisan relawan Prabowo bulan Juli lalu.
Dalam pertemuan tersebut, Ketum Projo, Budi Arie mengatakan kedua kelompok relawan ini telah memiliki kesamaan dalam agenda perjuangan, cara pandang, dan bagaimana meneruskan kemajuan Indonesia.
Ia menambahkan kesamaan tersebut bisa dijadikan rujukan untuk sosok yang didukung.
"Terus apa lagi? Masa figurnya bisa beda?" ujar Budi Arie.
Tetapi Projo mengaku masih menunggu arahan Jokowi sebelum mengumumkan dukungannya.
"Ya lihat saja nanti Pak Jokowi akan memerintahkan kami seperti apa," ucapnya.Basis ideologi yang lemah
Akademisi dari Northwestern University, Yoes Kenawas menilai pragmatisme politik yang dipertontonkan berbagai pihak yang "menyeberang ke kubu yang tidak terpikirkan sebelumnya" tak terlepas dari sejarah politik Indonesia.
"Ini menurut saya terjadi karena, yang pertama, absennya gerakan sosial yang benar-benar memiliki ideologi yang kuat."
Yoes menjelaskan berbeda dengan partai politik di sejumlah negara di Eropa yang terbentuk karena cleavage dalam masyarakat yang secara organik terkristalisasi menjadi ideologi-ideologi tertentu seperti liberal dan konservatif, hal ini tidak terjadi dalam konteks Indonesia.
"Kita lihat mulai tahun 65, ideologi komunisme dihabiskan, semua yang berhubungan dengan sosialisme dilebur jadi PDI, semua yang berhubungan dengan Islam digabung ke dalam PPP, terus yang dikemukakan adalah floating mass, masyarakat yang berkarya, masyarakat yang apolitis atau yang didepolitisasi, dan efeknya sampai sekarang."
Menurutnya meski Indonesia mengenal ideologi Pancasila, masih belum jelas bagaimana refleksinya dalam kebijakan.
"Ideologi sosialis, misalnya, kan kalau di-translate kebijakan ekonominya sosialis, seperti pajak yang besar, punya program-program yang sifatnya universal coverage ... sementara ideologi konservatif capitalism, mereka akan dorong kebijakan yang pro pasar."
"Kalau ideologi Pancasila ini translation-nya apa sih ke [kebijakan] ekonomi dan lain-lain?"
Ketiadaan ideologi yang kuat beserta turunannya inilah yang menurut Yoes membuat partai politik di Indonesia tidak ekstrem berseberangan. Justru sebaliknya, semuanya "berkumpul di tengah."
"Ada yang tengah ke kanan sedikit, ada yang tengah ke kiri sedikit, dan pada akhirnya semuanya bisa membuat jembatan untuk bertemu."
Menurutnya, di satu sisi, ini adalah hal yang baik, karena berarti polarisasi ekstrem yang ditakutkan banyak orang bisa dihindari.
Namun, di sisi lain, ia menyebut kondisi ini juga sangat memudahkan untuk trading atau hal-hal yang sifatnya kartel di level pemerintahan.
"Makanya jangan heran kalau nanti siapa pun yang berkuasa, mereka akan berupaya meng-input sebanyak-banyaknya partai di parlemen untuk mengegolkan program-programnya, tanpa peduli ideologinya apa."
"Yang tadinya kita pikir pro-HAM, ternyata bisa berkoalisi tuh sama orang yang selama kampanye didemonisasi sebagai pelanggar HAM."
Basis ideologi yang lemah ini pula, menurut Yoes, yang membuat sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik tertentu.
"Party ID-nya rendah banget dan lebih terpaku pada sosok atau figur, dan hari ini figur yang dilihat banget ya, Jokowi."
Menurutnya faktor ini menjelaskan pentingnya dukungan Jokowi, baik untuk partai politik atau untuk capres itu sendiri.
"Karena kalau Jokowi bilang 'oke, besok saya dukung calon A', most likely pendukung solid Jokowi akan pindah mendukung calon tersebut," jelasnya.
"Termasuk juga PSI yang punya kepentingan lolos ke parlemen tahun ini, mereka ingin dilihat sebagai partai loyalis pendukung Jokowi, mengambil ceruk orang-orang pendukung Jokowi tapi belum terafiliasi dengan partai politik," pungkas Yoes.
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kondisi Koalisi Kian Membingungkan, Antara Setengah Hati dan Setengah Mati