Ilmuwan dan pakar sains Australia akan melatih para peternak dan dokter hewan dalam mengamati dan menyelidiki penyakit-penyakit hewan, sebagai upaya mencegah pandemi yang mematikan di masa depan. Proyek didanai Pemerintah Australia bertujuan untuk mencegah resiko pandemi berikutnya 40 pakar akan melatih peternak untuk melacak tanda-tanda awal virus yang mewabah Hampir 75 persen penyakit menular yang terjadi berasal dari hewan
BACA JUGA: Di Masa Pandemi Tetap Bersinar, Bank BJB Catatkan Laba Bersih Rp 418 Miliar
Mereka akan melatih peternak dan dokter hewan dari 11 negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Sekitar 40 pakar dari sejumlah Fakultas Kedokteran Hewan di Australia, Selandia Baru dan kawasan Asia Pasifik terlibat dalam proyek tersebut.
BACA JUGA: Belum Sehari, Aplikasi COVID-19 Australia Sudah Diunduh Jutaan Kali
Para peternak akan dilatih metode pemantauan, melacak pola, serta melihat perubahan yang terjadi pada hewan, selain juga menyelidiki bila ada wabah.
Program ini akan menghabiskan dana AU$4,3 juta (lebih dari Rp 43 M), yang akan didanai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT), dengan dipimpin oleh para peneliti dari University of Sydney.
BACA JUGA: Please, Lihatlah Kebijakan Menteri Yasonna soal Asimilasi Napi secara Fair
"Pada dasarnya kita akan melatih mereka menjadi detektif penyakit hewan, sama seperti melatih detektif polisi," kata Associate Professor Navneet Dhand.
Hampir 75 persen penyakit menular yang sekarangan bermunculan, termasuk virus corona, berasal dari hewan, yang kemudian menyebar ke manusia.
Dr Dhand mengatakan maksud dari pelatihan adalah untuk melacak kasus, kemudian melaporkan kepada pihak berwenang sebelum wabah besar terjadi, sehingga bisa menyelamatkan banyak nyawa manusia dan hewan.
"Dokter hewan harusnya bisa mengidentifikasi bila ada penyakit baru yang terjadi, bisa mengambil sampelnya dari hewan-hewan tersebut, mengirim sampel ke laboratorium, menyelidiki penyebaran wabah, mengumpulkan data dari petani, dan melacak penyebaran virus seperti yang dilakukan sekarang dengan COVID1-9," katanya.
Associate Professor Jenny-Ann Toribio, yang juga dari University of Sydney, mengatakan kawasan Asia Pasifik dikenal sebagai tempat yang paling memungkinkan terjadi penyebaran dan munculnya penyakit menular.
"Ini karena adanya kawasan yang penduduknya padat dengan manusia dan hewan, adanya pertanian intensif yang terus mengambil lahan hutan liar, dan juga pergerakan hewan hidup yang melakukan perjalanan panjang," kata Jenny-Ann Toribio. Photo: Jenny-Ann Toribio dan Navneet Dhand dari University of Sydney berusaha mencegah kemungkinan adanya pandemi dari hewan yang menular ke manusia. (ABC News: Ross Byrne)
Dr Toribio mengatakan berbagai departemen di pemerintahan di manapun masih bekerja sendiri-sendiri, karenanya komunikasi antar disiplin ilmu perlu ditingkatkan.
"Proyek ini adalah membangun kapasitas di kalangan mereka yang berinteraksi dengan hewan dan petani, melatih mereka agar dengan cepat bisa melakukan pengetesan, dan bereaksi terhadap wabah, dan bisa memberikan info secepatnya kepada pemerintah," katanya.
Pemerintah Australia berharap untuk memperkuat keamanan dari kemungkinan wabah penyakit hewan dan manusia, dengan dana sebesar AU$ 66 juta dolar yang sudah dianggarkan untuk memperkuat keamanan di bandara dan jasa layanan pos.
Hal itu dilakukan untuk mencegah flu babi Afrika yang terjadi di tahun 2019.
Seorang konsultan kesehatan hewan, Peter Scott mengatakan hukuman lebih berat diperlukan untuk mencegah produk yang tercemar diseludupkan masuk ke Australia lewat bandara.
"Saya merasa masalah yang sangat serius ini tidak disadari oleh banyak orang, yang membawa barang-barang itu dan tidak mengerti dampaknya," katanya.
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Longgarkan Aturan Pergerakan Warga, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?