Yuliana Langowuyo,  warga Jayapura, Papua, akhirnya bisa berbicara setelah berkali-kali dihubungi oleh ABC Indonesia di tengah koneksi telepon yang sangat buruk akhir pekan lalu.

Setidaknya tiga kali hubungan telepon saat wawancara juga terganggu dan terputus saat direktur Fransiscan Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC), sebuah lembaga gereja yang bergerak dalam advokasi masyarakat menceritakan kondisi terakhir di Jayapura. 

BACA JUGA: Mengintip Kesenjangan Luar Biasa Antara Kedua Sisi Perbatasan Israel-Gaza

"Internet masih mati. Kalau saya pulang ke rumah saya di Kabupaten Jayapura, di handphone ini tertulis 'Tiada Layanan', jadi untuk telepon and SMS pun tidak bisa."

"Jadi sekarang kami sedang siasati dengan memakai hape yang paling sederhana, Nokia senter, yang hanya bisa SMS dan telepon. Kalau pakai itu baru bisa dapat sinyal baik," tutur Yuliana setengah tertawa.

BACA JUGA: Kontak Tembak Pasukan TNI-Polri dan KKB, Satu Anak Buah Lekagak Telenggen Tewas

Koneksi internet 'betul-betul mati atau tidak?'

Jaringan internet di Jayapura dan sekitarnya dilaporkan terputus sejak 30 April lalu. 

PT Telkom Indonesia  masih memperbaiki kabel laut Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) ruas Biak-Sarmi yang putus dan mengganggu jaringan internet di Jayapura, Papua.

BACA JUGA: Setelah Ratusan Nyawa Melayang, Hamas dan Israel Akhirnya Capai Gencatan Senjata

Namun, Yuliana juga mengatakan masih ada tempat-tempat tertentu di kota Jayapura di mana orang bisa mengakses internet.

Akibatnya, menurut Yuliana, terjadi kerumunan di beberapa tempat karena banyak orang ingin mengakses internet.

"Jadi saya jadi bertanya-tanya, ini bagaimana sebenarnya, [koneksi internet] betul-betul mati atau tidak?"

“Sebab di beberapa tempat seperti di depan Mapolda, di RS Dian Harapan, banyak orang berkumpul [untuk mendapatkan koneksi internet]. Kalau kita di situ, pesan-pesan WhatsApp masuk, tetapi lewat dari tempat itu ya sudah tidak bisa lagi."

Soal dugaan atas terputusnya jaringan internet ini sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). 

Bersama dengan sejumlah organisasi lainnya, SAFEnet masih berusaha menyelidiki informasi dari jaringan telekomunikasi milik pemerintah dan pernyataan Kementerian Komunikasi dan Informasi.

"Setidaknya ada dua penyebab: karena Pemeliharaan Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) segmen PT Telkom Biak-Sarmi atau karena pergeseran lapisan bumi di dasar laut. Atau karena alasan politik selain penyebab alami dan teknis?" demikian isi pernyataan yang diterima ABC Indonesia dari SAFEnet.

Menurut SAFEnet, peristiwa ini bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk "serangan digital" jika jaringan kabel bawah laut rusak dan penanganan yang berlarut-larut disengaja,  karena berdampak pada masyarakat luas di Jayapura, terutama media yang tidak bisa mengakses informasi seperti biasa.

Menurut Yuliana, kondisi di Kota Jayapura masih kondusif. Tetapi ia tidak tahu persis kondisi di wilayah-wilayah lainnya. Situasi yang memanas di Papua

Awal pekan ini, dua personel TNI, Prada Aryudi dan Praka M Alif Nur, tewas di Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua, Selasa (18/05) setelah mengalami luka tusuk di bagian kepala.

"Iya betul (tewas dua orang). Kami belum tahu pasti (siapa yang melakukannya)," kata Panglima 172 / PWY Brigjen Izak Pangemanan, kepada wartawan hari Selasa kemarin (18/05).

Saat diserang, jelas Izak, kedua personel TNI itu tengah mengamankan pembangunan pagar bandara.

"Mereka mengamankan pembangunan pagar bandara, kemudian didekati 20 orang tak dikenal dan langsung dilakukan penyerangan, mereka dibobol," ujarnya.

Tewasnya kedua anggota TNI ini adalah insiden terbaru setelah Presiden Joko Widodo menyerukan tindakan keras dan 400 tentara tambahan dikerahkan ke Papua. 

Sebelumnya, pasukan gabungan Indonesia telah menangkap salah satu aktivis kemerdekaan Papua, Victor Yeimo atas tuduhan mendalangi kerusuhan sipil.

Lebih dari 30 kelompok masyarakat sipil, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, telah menyerukan pembebasan Victor Yeimo, sementara TNPB-OPM mengatakan beberapa anggotanya terbunuh dan desa-desa diserang oleh militer Indonesia dalam beberapa hari terakhir.

Itu terjadi hanya beberapa minggu setelah Pemerintah Indonesia pada 29 April lalu resmi mengategorikan kelompok bersenjata di Papua, yang bernama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), sebagai "organisasi teroris".

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pelabelan tersebut berdasarkan usulan dari tokoh masyarakat dan pemerintah daerah Papua, serta aparat keamanan.

"Maka apa yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris," ujar Mahfud.

Undang-undang anti-terorisme di Indonesia memberikan otoritas yang lebih kuat, termasuk menahan tersangka selama beberapa minggu tanpa dakwaan resmi. Akankah pasukan yang dilatih oleh Australia terlibat?

Penunjukan anggota TPNPB-OPM sebagai "teroris", sebelumnya dicap sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB oleh Indonesia, telah memungkinkan peningkatan penempatan pasukan elit kontra-terorisme yang dilatih oleh Australia ke Papua.

Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan unit yang disebut Detasemen 88 itu "pasti akan terlibat" dalam menangani kasus "terorisme" terhadap orang Papua.

"Ya, tentunya pasti ada pelibatan," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan di kantornya, Rabu (19/05).

Menurutnya, pelibatan Densus 88 ke Papua tinggal menunggu instruksi.

Dengan demikian, Densus 88 akan bergabung dengan Satgas Nemangkawi, yang saat ini masih terus berjalan dalam pemberantasan KKB.

Detasemen 88 menerima beberapa pelatihan dari Polisi Federal Australia (AFP) melalui fasilitas penegakan hukum gabungan Australia-Indonesia yang berbasis di Jakarta.

Fasilitas tersebut juga memberikan pelatihan kepada pasukan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

"AFP memberikan bantuan pembangunan kapasitas untuk mendukung Polri, termasuk Detasemen 88," kata seorang juru bicara AFP kepada ABC.

"AFP memberikan program pelatihan dengan cara yang mencerminkan dan mendukung dukungan kuat Australia terhadap hak asasi manusia."

Unit ini pernah mendapat kecaman di masa lalu oleh orang Papua, yang mengklaim bahwa mereka adalah "pasukan pembunuh" yang terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum di wilayah tersebut.

Jason MacLeod, pendiri kampanye Make West Papua Safe, mengatakan dia "tidak menentang pelatihan" pasukan Indonesia oleh AFP, tetapi mengatakan Australia perlu berbuat lebih banyak untuk memastikan anggota Detasemen 88 tidak melakukan kejahatan di Papua.

"Kami hanya perlu memperjelas bahwa pendanaan kami tidak berkontribusi memperburuk situasi hak asasi manusia, bahwa pejabat publik Australia, seperti petugas AFP, tidak melatih orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia," kata MacLeod.

AFP mengatakan kepada ABC bahwa pihaknya tidak akan mengomentari penempatan Detasemen 88 karena itu "adalah masalah pihak berwenang Indonesia".

Richard Chauvel, peneliti di Universitas Melbourne dan ahli dalam hubungan Australia-Indonesia, mengatakan masalah pasukan Indonesia yang dilatih Australia yang mungkin ditempatkan ke Papua adalah isu yang "sensitif di kedua sisi".

"Baik para pemimpin Papua pro-kemerdekaan dan kelompok pendukung mereka di Australia dan di tempat lain, telah mencoba berkampanye tentang masalah ini," kata Dr Chauvel.

"Karena pemberitaan yang dihasilkan olehnya bisa menjadi masalah yang berpotensi memalukan bagi Pemerintah Australia." 'Jumlah pasukan di luar kontrol'

Yuliana Langowuyo dan organisasi yang dipimpinnya adalah salah satu yang menolak label teroris pada TPNPB-OPM karena dengan label itu menurutnya akan "semakin menjustifikasi keberadaan pasukan ini di wilayah-wilayah pegunungan, tempat selama ini operasi militer selalu dilakukan."

"Kemarin-kemarin kan kita dengar sudah ada polisi, sudah ada Brimob, sudah ada tentara, Kopassus, dan lain-lain. Tetapi kalau sudah ada label teroris itu kan berarti akan ada pasukan yang baru, yaitu Densus 88."

Yuliana khawatir,  pasukan yang jumlahnya tidak pernah diketahui dengan pasti ini di luar kontrol,.

"Terutama jika mereka ada di kampung-kampung, jika terjadi kekerasan terhadap warga sipil atau lainnya, itu sama sekali lepas dari kontrol dan pengetahuan lembaga-lembaga HAM, termasuk lembaga gereja seperti kami. "

"Dengan bertambahnya aktor baru lagi, dalam hal ini Densus 88, maka akan semakin banyak pasukan di sini, yang tidak bisa kami ketahui keberadaannya, misalnya di wilayah-wilayah terpencil seperti di Puncak, secara spesifik di wilayah konflik seperti Intan Jaya, Puncak, dan Nduga saat ini," ujarnya.

Namun Dr Chauvel tidak percaya label itu sendiri "akan mengubah sifat kekerasan", yang terus meningkat sejak 2018, tetapi dia mengatakan itu akan semakin memperkuat aktivitas militer di provinsi Papua dan Papua Barat.

"Saya akan melihatnya lebih dalam hal melegitimasi operasi militer Indonesia," kata Dr Chauvel.

"Menyebut mereka teroris adalah perluasan dan pengerasan bahasa dari menyebut mereka KKB, atau kelompok kriminal bersenjata."

Pasukan keamanan Indonesia telah bertahun-tahun dirundung oleh tuduhan pelanggaran hak yang meluas terhadap penduduk etnis Melanesia di Papua, termasuk pembunuhan di luar hukum terhadap aktivis dan pengunjuk rasa damai dalam upaya mereka untuk menghancurkan kelompok-kelompok bersenjata kemerdekaan.

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... 19 Nelayan Indonesia yang Diselamatkan Australia Telah Tiba di Bali

Berita Terkait