Australia merasa puas dan senang dengan komitmen Indonesia untuk ikut ambil bagian dalam konferensi internasional Countering Violent Extremism yang digelar di Sydney.

Indonesia mengirimkan Duta Besar ke konferensi ini, dan sempat dipertanyakan mengapa bukan sekelas menteri yang mewakili Indonesia dalam pertemuan tersebut.

BACA JUGA: Pakar Australia Penemu Vaksin Kanker Serviks Raih Penghargaan

Menurut Geroge Brandis, Jaksa Agung Australia, alasannya bukan karena tekanan yang diakibatkan peristiwa eksekusi terpidana kasus Bali Nine.

"Duta Besar Indonesia untuk Australia akan menghadiri pertemuan selama dua hari dan Indonesia juga mengirimkan pejabat senior urusan kontra terorisme," kata Jaksa Agung Brandis.

BACA JUGA: Pendonor Darah Asal Australia Telah Selamatkan Dua Juta Bayi

"Awalnya, menteri Indonesia yang terkait masalah ini akan menghadiri, tapi ada alasan dalam negeri yang mendesak, sehingga membatalkan," tambahnya.

Juru bicara Kedubes Indonesia di Australia menyatakan bahwa pengiriman Duta Besar, dan bukan menteri, bukanlah bentuk mengabaikan Australia pasca kasus Bali Nine.

BACA JUGA: Ukuran Cincin Planet Saturnus Ternyata Lebih Besar dari Perkiraan Astronom

"Kami tidak memberikan pesan seperti itu," ujar juru bicara seperti yang dikutip media setempat.

Abdul-Rehman Malik dan Daisy Khan saat melakukan wawancara dengan program televisi ABC, Lateline. Foto: Lateline.

 

Dalam konferensi itu para pengamat menilai bahwa mereka yang pernah terlibat dalam kelompok ekstrim kemudian bertobat bisa menjadi sekutu yang baik untuk memerangi masalah ekstrimis.

Abdul-Rehman Malik adalah manajer program di  Radical Middle Way, sebuah kelompok yang mencoba merangkul pemuda Muslim.

Malik diundang oleh pemerintah Australia dalam pertemuan Melawan Kekerasan Ekstrimis yang digelar di Sydney, hari Kamis (11/6/2015).

Menurut Malik, penyebutkan kelompok yang menamakan diri sebagai Negara Islam sebagai sebuah pengultusan kematian atau 'death cult' adalah kesalahan.

"Saya rasa menyebut [kelompok Negara Islam] sebagai kultus kematian, seperti yang dikatakan Perdana Menteri Australia, adalah sebuah kekeliruan terbesar dan malah memenuhi propaganda yang mereka lancarkan," katanya di acara televisi Lateline yang disiarkan ABC.

"Mereka yang mempropagandakan kelompok Negara Islam saat tahu kelompoknya disebut mengkultuskan kematian malah merasa bangga, karena apa? Karena kita telah menjunjung mereka," tambahnya.

Sebelumnya PM Tony Abbott juga mengatakan bahwa kelompok yang menamakan diri Negara Islam, atau dikenal juga sebagai Daesh memberikan ancaman secara global.

"Deklarasi sebagai sebuah khilafah, meski masuk akal, tapi ini adalah klaim yang berani untuk memiliki kekuasaan universal," ujar PM Abbott. "Kita tidak bisa bernegosiasi soal ini, kita hanya bisa melawannya."

Malik mengatakan PM Abbott berada dalam haluan yang salah. Menurutnya, ancaman untuk menarik kewarganegaraan bagi mereka yang terlibat kelompok ekstrimis bukan langkah yang tepat. Tetapi yang seharusnya dilakukan adalah bekerja bersama mereka yang pernah terlibat dalam kelompok ekstrimis.

"Ini sudah terjadi, anak-anak yang pergi kesana, ada yang bertahan, ada yang ingin kembali," ujarnya. "Jangan membatalkan kewarganegaraan mereka, justru mereka bisa menjadi sekutu yang terbaik."

Pembicara lain yang diundang dalam pertemuan itu adalah Daisy Khan, Direktur Eksekutif American Society for Muslim Advancement. 

Menurutnya, komunitas Muslim memiliki peranan yang sangat penting untuk masalah ini.

"Ada kondisi yang mendesak bagi komunitas [Muslim] untuk ambil bagian dan mengendalikan kelompok yang menamakan diri Negara Islam dengan pesan dan ideologi yang disebarkannya," ujar Khan. 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerang Raksasa dari Darwin yang Diekspor ke AS Dihargai Rp 100 Ribu/Cm

Berita Terkait