Jaksa Agung Australia Senator George Brandis mempertanyakan kredibiltas nakhoda dan ABK asal Indonesia yang melontarkan tuduhan bahwa mereka dibayar oleh petugas bea cukai Australia agar memulangkan 65 imigran kembali ke Indonesia. Alasannya, nakhoda dan ABK tersebut justru kriminal yang terlibat dalam penyelundupan manusia.
Kasus dugaan penyuapan yang dilakukan petugas bea cukai Australia kepada enam orang ABK asal Indonesia sebesar total 31 ribu dolar, memicu perdebatan di Parlemen Australia, baik di DPR-nya (House of Representatives) yang merupakan Majelis Rendah maupun di Senat yang merupakan Majelis Tinggi.
BACA JUGA: Misalkan Burung-burung Kota Melbourne Terbang ke Gorontalo
Dalam rapat dengar pendapat di Senat, Pemimpin Partai Hijau Senator Richard Di Natale mencecar Jaksa Agung Brandis mengenai bukti-bukti yang dimiliki pemerintah untuk tidak mempercayai tuduhan tersebut.
Pemimpin Partai Hijau Senator Richard Di Natale dan Jaksa Agung George Brandis.
BACA JUGA: Warga Queensland Ini Ubah Kotak Pendingin Minuman Jadi Genset Portabel
"Apakah anda bisa memberikan bukti, atau rincian mengenai apa yang terjadi, apakah benar terjadi penyuapan, kapan terjadinya, dan kepada siapa pembayaran itu dilakukan," tanya Senator Di Natale.
BACA JUGA: Ketika Pria Saling Berbagi Duka dalam Komunitas Sesama Pria Kehilangan Anak
Dicecar pertanyaan seperti itu, Jaksa Agung Brandis terpancing emosinya. "Dengan segala hormat, pertanyaan anda mengherankan," katanya.
"Senator Di Natale, apakah anda tahu apa yang dimaksud dengan bukti? Orangnya (yang menyampaikan tuduhan) adalah nakhoda perahu penyelundup manusia!" ujar Senator Brandis.
"Orang yang menyampaikan tuduhan itu justru mendapat penghasilan dari kesulitan hidup orang lain, menerima bayaran uang dalam jumlah besar," katanya.
"Jika anda tidak melihat hal ini sebagai bukti nyata, betapa tuduhan yang dilontarkan orang itu setidaknya ditanggapi secara skeptis, maka anda pasti berasal dari planet lain," ujar Senator Brandis kepada Senator Di Natale.
Senator dari Partai Buruh yang beroposisi juga mengajukan pertanyaan kepada Jaksa Agung Brandis untuk setidaknya membantah atau membenarkan tuduhan penyuapan tersebut. Namun sama seperti sikap PM Tony Abbott dan pejabat pemerintahan Australia lainnya, Senator Brandis mengatakan tidak bisa mengomentari masalah operasional di lapangan.
Tak lama setelah tanya-jawab itu, Asisten Menteri Imigrasi Michaelia Cash menyerahkan sebuah surat kepada Senat yang sebelumnya memerintahkan pemerintah untuk menyiapkan segala dokumen berkaitan dengan dugaan penyuapan ini.
Perintah Senat itu dikeluarkan setelah sebagai hasil lolosnya mosi yang diajukan Partai Hijau.
Surat dari Menteri Imigrasi Peter Dutton itu menyatakan, seluruh dokumen harus ditutup, karena jika dibuka bisa "mengganggu keamanan nasional, pertahanan dan hubungan internasional".
"Dokumen-dokumen itu berkaitan dengan masalah operasional di lapangan, jadi seharusnya tidak dibuka," katanya.
Salah satu alasannya, menurut Menteri Dutton, jika dokumen itu dibuka akan mempengaruhi hubungan dengan negara lain.
Perairan internasional
Sementara itu kepada ABC dua orang imigran mengaku sebenarnya masih berada di perairan internasional saat dicegat oleh patroli Australia.
Salah seorang ABK (ketiga dari kanan) mengaku diberi alat komunikasi radio oleh petugas Bea Cukai Australia. (Foto: Kiriman/istimewa)
Kedua imigran tersebut, yang berbicara campuran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia seadanya, mengatakan perangkat GPS di perahu saat itu menunjukkan bahwa posisinya berada di perairan internasional.
Salah seorang imigran, Abdul Maliq Mollah, satu-satunya warga asal Rohingya di antara 65 penumpang, menanyakan mengapa patroli Australia mencegat dan mengusir mereka.
"Saya ingin tanya, kami masih di perairan internasional, bukan di wilayah Indonesia atau Australia, mengapa mereka menangkap kami," kata Maliq kepada ABC.
Ia mengaku sebenarnya perahu mereka tidak mencoba masuk ke perairan Australia, namun tetap dicegat.
"Kami diperairan internasional, menuju ke Selandia Baru, itu bukan bukan wilayah Indonesia atau Australia. Mengapa petugas Australia menangkap kami," katanya lagi.
Penumpang lainnya Nazmul Hassan (28 tahun) asal Bangladesh, mengaku bahwa petugas bea cukai Australia memperingatkan mereka untuk tidak coba-coba memasuki wilayah Australia atau Selandia Baru melalui perairan Indonesia.
Namun, kata Nazmul, nakhoda asal Indonesia sempat menunjukkan posisi GPS kepada petugas Australia, yang menunjukkan perahu mereka berada di perairan internasional.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebelum Dibunuh, Perempuan Melbourne Ini Sempat Telepon Polisi 38 Kali