Dalam sidang kabinet Pemerintahan RI pada 27 Januari 1999 di Jakarta, Presiden BJ Habibie mengacungkan sepucuk surat di depan para menterinya. Itulah surat dari Perdana Menteri Australia John Howard yang membuat Pak Habibie tersinggung.
"Saya marah membaca surat dia," ujar Pak Habibie dalam wawancara dengan ABC News pada November 2008.
BACA JUGA: Kondisi Warga di Australia Tahun 2019: Memiliki Pekerjaan Tapi Kesepian
Pada bulan Desember 1998, PM Howard mengirimkan surat ke Pak Habibie mengenai Timor Timur (Timtim), dan menyarankan agar Indonesia mengikuti cara Perancis dalam menangani bekas koloninya di Kaledonia Baru.
"Dalam suratnya itu, dia menyarankan agar saya menyelesaikan Timtim seperti Perancis menyelesaikan koloninya di Pasifik. Dia sarankan seperti itu," kata Pak Habibie, yang diwawancarai ABC untuk program The Howard Years.
BACA JUGA: Pria India Menyamar Jadi Kakek Berusia 81 Tahun Untuk ke AS
"Artinya, kita harus mempersiapkan waktu untuk 10 tahun atau apalah, dan setelah itu memberi mereka kemerdekaan," katanya.
"Jadi begitu saya baca itu surat, saya tersinggung," ujar Pak Habibie.
BACA JUGA: Australia Tidak Akan Ikut Campuri Proses Hukum Veronica Koman
Presiden RI ke-3 ini ingin menyelesaikan persoalan Timtim yang selama ini telah menjadi ganjalan bagi Indonesia di mata dunia internasional.
Hanya sebulan setelah dilantik menggantikan Presiden Suharto, Pak Habibie mengumumkan pada Juni 1998 bahwa Indonesia siap memberikan status otonomi khusus kepada Timtim. Pendapat Anda mengenai berita ABC
Dalam sidang kabinet yang menentukan itu, Pak Habibie menegaskan Indonesia akan langsung memberikan pilihan antara otonomi khusus dan kemerdekaan bagi Timtim.
Bahkan pemimpin Fretilin Xanana Gusmao, Uskup Katolik Timtim Carlos Belo dan perwakilan Fretilin di PBB Jose Ramos Horta hingga saat itu berpandangan perlunya periode 5 hingga 10 tahun otonomi khusus baru Timtim bisa merdeka.
Namum dalam penuturannya kepada ABC, Pak Habibie menyebut bahwa surat PM Howard itulah yang mendorong dia mempercepat keputusan menggelar referendum pada awal Agustus 1999.
Mantan Dubes Australia untuk RI Richard Woolcott menilai tindakan John Howard menyurati Pak Habibie itu "kurang bijaksana", mengingat posisi Pak Habibie sebagai "presiden tansisional" dan mengingat "temperamennya".
Menurut Dubes Woolcott, surat Howard itu justru "mendapatkan reaksi seperti yang telah terjadi", yaitu ketersinggungan Pak Habibie.
PM Howard sendiri mengakui, dirinya kaget dan tak pernah menyangka bahwa Pak Habibie akan "bergerak sangat cepat".
"Arah yang dia tempuh sudah sejalan dengan arah yang dikehendaki oleh isi surat itu," ujar Howard kepada ABC.
"Hanya saja dia bergerak lebih jauh lagi. Dia melaju 20 mil bukan lima mil," katanya mengenai langkah Pak Habibie menawarkan referendum.
Kepada ABC, Pak Habibie juga menyatakan, adalah suatu penghinaan ketika PM Howard menyarankan untuk menurunkan pasukan penjaga perdamaian ke Timtim sebelum referendum.Australia Tadinya Ingin Timtim tetap NKRI Photo: John Howard selalu menyebut kemerdekaan Timor Leste sebagai salah satu pencapaian yang membanggakan baginya sebagai perdana menteri Australia. (Reuters: Lirio Da Fonseca)
Kisah lepasnya propinsi RI ke-27 itu sudah diketahui luas, namun anggapan bahwa Australia berperan besar dalam kemerdekaan Timtim itu mulai terbantahkan pada akhir Agustus 2019.
Saat itu, sebuah dokumen intelijen Amerika Serikat yang baru saja dideklasifikasi mengungkap bahwa justru AS menekan Jenderal Wiranto untuk menghentikan kekerasan pasca referendum dan memungkinkan masuknya pasukan penjaga perdamaian Interfet.
Dokumen ini mengklaim bahwa AS, bukan Australia, yang memaksa Indonesia menerima Interfet setelah 78,5 persen rakyat di sana memilih opsi merdeka.
Dokumen tersebut mengindikasikan bahwa Australia sama sekali tidak mendukung atau merencanakan misi penjaga perdamaian sampai menit-menit terakhir.
Bertahun-tahun setelah referendum, PM Howard selalu menyatakan "pembebasan" Timor Leste adalah salah satu pencapaian paling membanggakan sebagai perdana menteri.
Profesor Clinton Fernandes dari University of NSW pada tahun 1999 bekerja sebagai analis intelijen untuk Timor Timur di Australian Theatre Joint Intelligence Centre (ASTJIC) Sydney.
Menurut dia, sikap Australia saat itu bisa ditafsirkan sebagai "memberikan perlindungan diplomatik untuk kegiatan militer Indonesia".
"Howard dan (Menlu Alexander) Downer berusaha keras untuk melindungi TNI," kata Prof Fernandes.
"Kabel diplomatik AS ini mengkonfirmasi bahwa kebijakan Pemerintahan Howard adalah menjaga Timtim tetap jadi bagian Indonesia. Dan pada akhirnya terpaksa mengubah sikap," katanya.
Kabel diplomatik tertanggal 9 September 1999 dari Kedutaan AS di Canberra menceritakan pertemuan pribadi selama 40 menit antara Laksamana Dennis Blair, saat itu Komandan Pasukan Amerika di Pasifik, dengan Jenderal Wiranto.
Catatan dua lembar dari Laksamana Blair menunjukkan tekanan kepada Jenderal Wiranto untuk "menarik diri dari ambang bencana".
"Meskipun ada jaminan bahwa TNI dapat menjaga keamanan di Timor Timur, meski TNI mengirim sejumlah besar pasukan baru ke sana dan mengambil langkah luar biasa dengan memberlakukan darurat militer, Timor Timur berada dalam anarki," tulis Laksamana Blair.
Beberapa hari setelah Laksamana Blair menemui Jenderal Wiranto, Indonesia pun mengizinkan pasukan Interfet masuk ke Timtim.
Dalam pertemuan Presiden Habibie dan PM Howard di Nusa Dua, Bali, pada 27 April 1999, Pak Habibie menjawab pertanyaan wartawan:
"Satu-satunya keprihatian terbesar saya adalah untuk rakyat Timtim yang tidak berdosa".
Apa pendapat anda mengenai berita ini, silahkan klik survei singkat berikut
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masjid di Brisbane Dirusak Dengan Lambang Swastika Nazi