Awas, Politisasi Petani dan Dana Desa di Tahun Politik

Minggu, 24 Desember 2017 – 17:52 WIB
Petani jagung di kecamatan Lalan, Muba, Sumsel. Foto: palpres

jpnn.com, JAKARTA - Mulai tahun 2018 hingga 2019, merupakan tahun politik. Pasalnya, terdapat 171 daerah yang melakukan Pilkada Serentak. Hal itu berlanjut dengan pemilihan anggota legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) secara bersamaan di tahun 2019.

Mencermati kondisi tersebut, Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Kamhar Lakumani menyatakan, pihaknya mempredikasi akan terjadi politisasi petani dan dana desa pada tahun politik.

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi Tahun Politik Dipatok 5,4 Persen

Kalangan elite politik, lanjutnya, disinyalir akan memanfaatkan dana desa dan petani untuk meraih kekuasaan.

"Nantinya, bisa muncul kebijakan dan program yang bernuansa, bermuatan atau berorientasi politik," kata Kamhar dalam acara "Outlook Pembangunan Pertanian 2018" di IPB Bogor, Jumat (22/12).

BACA JUGA: Pak Oso, Tolong Sampaikan Temuan DPD Ini ke Presiden Jokowi

Kamhar menjelaskan, politisasi seperti alokasi anggaran yang semakin meningkat, namun belum berkorelasi secara seimbang dengan peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup petani. Petani hanya dimanfaatkan untuk meraih suara pada ajang pemilu.

"Ini mesti ditelaah dan dilakukan kontrol. Jangan sampai program-program itu hanya ibarat memberi ikan untuk memancing suara dan dukungan di tahun politik," ujarnya.

BACA JUGA: Empat Menteri Teken SKB Percepatan Dana Desa

Menurut Kamhar, semua pihak harus mencermati dan mengawasi agenda impor komoditi pertanian pada tahun politik. Hal itu, kata dia, supaya tidak terjadi upaya pengkondisian secara sistematis, apalagi sistem pendataan yang masih carut-marut.

Politik biaya tinggi yang masih terjadi, lanjutnya, akan menjadi pendorong kuat pembukaan keran dan pemberian kuota impor untuk mendapatkan biaya politik secara cepat dan aman karena tidak bersumber dari APBN yang pengawasannya ketat.

"Kita berharap ini tidak terjadi," tegasnya.

Sementara, Rektor IPB Arif Satria mengemukakan, saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis regenerasi petani, dimana 62 persen tenaga kerja di sektor pertanian berusia di atas 45 tahun. Pada sisi lain, ada peluang negara ini memasuki bonus demografi.

Jika sumber daya manusia (SDM) tidak disiapkan, akan seperti Jepang, dimana terjadi kelangkaan SDM untuk menjadi petani dan nelayan karena semua pindah kota.

Penyebabnya antara lain karena perempuan Jepang tak ingin menikah dengan lelaki yang berprofesi sebagai petani atau nelayan.

"Industrialisasi pedesaan menjadi saluran dan katup penyelesaian persoalan agar desa menciptakan daya tarik. Faktor kendala, antara lain kenapa para sarjana atau orang-orang terbaik tidak pulang atau turun membangun desa adalah persoalan fasilitas dan kualitas pendidikan anak di desa selain karena persoalan infrastuktur desa," ujar Arif. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelaku Usaha Harus Optimistis Hadapi Tahun Politik


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler