jpnn.com - SEJAK diputar serentak di bioskop-bioskop kemarin, jumlah penonton film Jenderal Soedirman terus meningkat. Sosok Sang Jenderal memang menarik. Dia meninggal di Magelang, 29 Januari 1950 dalam usia 34 tahun. Meski digadang-gadang sebegai jenderal besar, saat meninggal Soedirman berpangkat Letnan Jenderal. Dia kembali mendapatkan gelarnya, sebagai jenderal besar anumerta bintang lima pada 1997.
Jenderal Sudirman turun pangkat pada 1948 gara-gara kebijakan Re-Ra ala Bung Hatta. Gara-gara Re-Ra pula sekitar 400 ribu anggota laskar rakyat di awal tahun 1948, hanya tinggal 57 ribu prajurit teratur dan tetap. Laskar yang tidak kebagian posisi diminta menyerahkan senjata. Termasuk Devisi Gerilya Bambu Runcing, pasukan rahasia bentukan Jenderal Sudirman.
BACA JUGA: Karena Bung Hatta, Jenderal Soedirman Turun Pangkat, Begini Ceritanya...
Tak terima dengan kebijakan Re-Ra, sebanyak 24 orang pimpinan Bambu Runcing, berunding di sebuah tempat yang dirahasiakan di wilayah Jawa Barat, pada 11 Oktober 1949. Di antara mereka ada Chaerul Saleh dan Jaro Karis, jawara Banten yang kesohor militan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Hari itu, para pimpinan Bambu Runcing, memproklamasikan diri sebagai Rakyat Berjuang dan menyatakan diri sebagai Tentara Rakyat. “Tentara Rakyat tidak akan meletakan senjata sebelum semua yang diinginkan rakyat Indonesia tercapai dan terjamin sepanjang masa,” begitu seruan mereka sebagaimana dilansir dari dokumen Proklamasi Rakjat Berdjoang, koleksi Subdisjarandisbintal Angkatan Darat di Bandung.
BACA JUGA: Eits... Jenderal Soedirman Pernah Membentuk Pasukan Rahasia di Jakarta
"Re-Ra yang lebih memberi tempat kepada alumni KNIL dan PETA merubah cara berpikir dan bertindak para laskar-laskar pejuang kemerdekaan. Sebagai tentara yang lahir dari rakyat, mereka memandang tentara yang disebut profesional itu sebagai tentara bayaran, tentara yang semangatnya terlalu dekat dengan tentara kolonial Belanda dan fasisme Jepang. Sementara, para tentara berpendidikan militer profesional itu, dengan status resminya cenderung memandang laskar sebagai amatir-amatir yang tidak disiplin, tidak efektif dan sangat menganggu," tulis buku Gedoran Depok--Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955.
Bambu Runcing pun terlibat konfrontasi dengan tentara pemerintah. Eks pasukan rahasia Jenderal Sudirman terdesak. Pertikaian reda ketika pemerintah menyeru perdamaian. Yang menyerahkan diri diampuni tak dihukum. Menjelang pemilu 1955, Devisi Gerilya Bambu Runcing tutup buku. Menurut sejarawan Robert Cribb, beberapa pimpinannya tampil menjadi juru kampanye. Antara lain untuk Murba dan PNI. (wow/jpnn)
BACA JUGA: Radhar Panca Dahana: RUU Kebudayaan Jangan Pangkas Imajinasi
BACA ARTIKEL LAINNYA... 50 Hari di 7 Kota Besar, Tim Tari Kalimantan Manggung di Prancis
Redaktur : Tim Redaksi