Sejumlah backpacker di beberapa kawasan di Australia mulai kehilangan pekerjaan, bahkan sebagian diusir oleh warga setempat. Warga sekitar khawatir para backpacker menyebarkan virus corona. Seorang manajer hostel mengatakan para backpacker dilihat sebagai ancaman bagi warga setempat Pemerintah negara bagian Australia Selatan mengatakan tindakan rasisme tidak akan ditolerir Penutupan perbatasan dan harga tiket pesawat yang mahal membuat para backpacker terjebak di Australia
BACA JUGA: Australia Pengin Selidik Asal-Usul COVID-19, Tiongkok Sewot
Mereka disebut 'backpacker' kebanyakan adalah pemegang work and holiday visa (WHV), berusia antara 18-30 tahun dari berbagai negara yang datang ke Australia untuk bekerja sambil berlibur.
Kepada ABC, sejumlah 'backpacker' di pedalaman Australia Selatan mengatakan penduduk setempat melempari mereka dengan batu.
BACA JUGA: Kasus Corona di Australia Terus Menurun, Pantai Mulai Dibuka Untuk Umum
Tak hanya itu, mereka juga menemukan kata-kata 'go home' yang tertulis di tong sampah di hostel tempat mereka tinggal.
'Backpacker' asal Inggris Roan Hodgson, yang tinggal di Harvest Trail Lodge, kota kecil Loxton, sekitar 256 km dari Adelaide mengatakan mereka mengalami diskriminasi.
BACA JUGA: Kabar Baik soal Wabah Virus Corona di Australia, Ada Penurunan Drastis
"Satu-satunya tempat dimana kami bisa santai selain di kamar kami adalah di balkon," katanya.
"Beberapa orang yang melintas di depan hostel kami berteriak 'go home', dan beberapa hari lalu beberapa orang melempar batu."
"Kami sudah bekerja di sini selama beberapa bulan, tindakan seperti ini menurut saya adalah tindakan konyol." Photo: Bagi backpacker asal Jerman Kristina Welters dan Milan Scheunemann, adalah impian terbesar mereka untuk bisa mengunjungi Australia. (Supplied: Milan Scheunemann)
'Backpacker' lainnya asal Jerman, Kristina Welters mengaku kejadian ini menjadi mimpi buruk bagi mereka yang awalnya ingin berkunjung ke Australia.
"Kami bekerja di Jerman untuk bisa ke sini, dan saya kira kami semua ingin mendapat kenangan yang baik, dan tidak mau hidup dengan tindakan rasis setiap hari," katanya.
Manajer hostel Bronnie Allen mengatakan para 'backpacker' juga dianggap sebagai 'ancaman' bagi warga setempat dalam hal pekerjaan. Tindakan rasisme dikecam pemerintah
Menteri Urusan Industri Utama dan Pembangunan Regional Australia Selatan, Tim Whetstone dalam pernyataannya mengatakan "tindakan rasis terhadap para 'backpacker' dan siapa saja adalah hal yang tidak bisa diterima".
"Para backpacker merupakan bagian penting dari ekonomi lokal ... tindakan diskriminasi terhadap mereka tidak akan dibiarkan terjadi," katanya
Sementara itu Derry Geber, pemilik beberapa hostel di kawasan Barrossa Valley dan McLaren Vale, yang banyak memproduksi mimuman anggur di Australia Selatan mengatakan warga setempat memang merasa "takut" dengan kehadiran para backpacker.
Geber mengatakan rasa permusuhan terhadap warga asing meningkat sejak adanya kasus corona positif di Barossa Valley, yang berasal dari dua kelompok turis asal Amerika Serikat dan Swiss.
"Beberapa warga lokal menelpon polisi untuk mengecek apakah di hostel kami menerapkan social distancing."
"Polisi kemudian mengecek apakah aturan satu orang per empat meter persegi dipatuhi."
"Kemudian ada insiden dimana para backpacker datang membeli kopi ... dan pelayan perempuan membuat catatan di bukunya jika beberapa backpacker datang sekaligus dalam waktu bersamaan." Photo: Para backpacker ini mendengar suara teriakan 'go home' di malam hari ketika mereka bersantai di balkon hostel.
(ABC News: Anita Ward)
Alasan 'backpacker' tidak bisa pulang
Dengan perbatasan di banyak negara bagian yang masih ditutup, larangan perjalanan menjadi tidak penting.
Terbatasnya penerbangan internasional membuat banyak 'backpacker' terjebak di Australia.
Ada beberapa pemilik pertanian yang merasa pekerja asing memiliki kemungkinan lebih besar terkena virus corona.
Namun pemilik hostel Bronnie Allen di Loxton mengatakan hostelnya menerapkan aturan dengan ketat. Ia juga berpendapat kehadiran 'backpacker' sangat penting bagi industri pertanian Australia.
"Tanpa kehadiran para backpacker, para petani tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan mereka." katanya.
Kehilangan pekerjaan ditambah dengan harga tiket pesawat yang mahal membuat 'backpacker' seperti Darren Stewart tidak bisa kembali ke Skotlandia.
"Kami terjebak di sini, dan mendengar orang mengatakan go home terasa lebih menyakitkan karena kami tidak bisa melakukannya sekarang ini."
Kristina Welters pun berpendapat sama, menurutnya kembali ke Jerman sekarang adalah tindakan yang berisiko.
"Saya takut karena saya bisa membawa virus ini ke rumah. Saya tidak mau membuat keluarga saya tertular."
"Ini yang membuat saya kesal, orang-orang di sini mungkin tidak berpikir juga mengenai situasi yang kami hadapi." Photo: Para backpacker mengatakan teman-teman mereka di sini adalah keluarga karena mereka tidak bisa kembali ke negara masing-masing saat ini. (ABC News: Anita Ward)
Sementara itu, Milan Scheunemann yang juga berasal dari Jerman, mengatakan sebelumnya para 'backpacker' disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat sebelum adanya virus corona.
"Kami tidak bisa pulang dan bertemu dengan orang tua kami, jadi di sini kami bisa membangun keluarga kecil kami, tetapi sedihnya kami diperlakukan seperti orang luar.'
Simak artikelnya dalam bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Satu-satunya Benua Tanpa Virus Corona