Badan pengungsi PBB UNHCR mengatakan situasi saat ini sudah mencapai 'titik genting' dengan lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia terpaksa meninggalkan rumah mereka karena persekusi, perang dan pelanggaran HAM.
Dalam laporan tahunannya, UNHCR mengatakan terjadi peningkatan jutaan orang yang harus meninggalkan rumah mereka karena invasi Rusia ke Ukraina dan konflik di negeri seperti Myanmar dan Burkina Faso.
"Ini berarti satu dari 78 orang di bumi ini dipaksa melarikan diri, peningkatan dramatis di mana tidak banyak orang yang memperkirakan hal itu akan terjadi 10 tahun lalu," kata badan tersebut.
Jumlah ini setara dengan satu persen dari jumlah penduduk dunia, dan bila semua orang itu berada di satu negara, berarti mereka berada di negara dengan penduduk ke-14 terbanyak di dunia.
BACA JUGA: Komnas HAM Ungkap Pembicaraan dengan PBB soal Papua
"Setiap tahun dalam 10 tahun terakhir jumlahnya terus meningkat," kata Komisioner Tinggi UNHCR, Filippo Grandi.
"Kita harus melakukan aksi untuk menyelesaikan penderitaan ini dan menemukan solusi, atau kita tetap berjalan menuju ke statistik yang terus memburuk."
BACA JUGA: Jokowi Reshuffle Kabinet, Yusril: Terima Kasih Atas Kepercayaan Ini
Di akhir tahun 2021, ada 89,3 juta orang yang meninggalkan rumah mereka di seluruh dunia. Mereka termasuk pengungsi, pencari suaka, dan mereka yang meninggalkan rumah sendiri tapi masih berada di dalam negeri.
Namun, invasi Rusia ke Ukraina bulan Februari lalu telah meningkatkan pengungsi besar-besaran dari negeri itu, dan Grandi menggambarkannya sebagai krisis pengungsi paling cepat sejak berakhirnya Perang Dunia kedua.
Lebih dari tujuh juta warga Ukraina telah meninggalkan rumah mereka namun masih berada di negeri itu dan enam juta lainnya sudah melarikan diri ke luar negeri, kata UNHCR.
Sara Dehm, seorang pakar mengenai hukum soal pengungsi di University of Technology Sydney mengatakan negara kaya seperti Australia bisa melakukan lebih banyak untuk membantu.
"Jumlah tempat bagi program permukiman sangat sedikit dan porsinya kecil sekali dibandingkan apa yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut," kata Dr Dehm.
"Negara berpenghasilan tinggi - yang saat ini hanya menampung 17 persen dari populasi global pengungsi tersebut - bisa memberikan jalan yang lebih aman dan efektif guna menampung mereka secara permanen." Perpindahan orang di kawasan Australia
Negara-negara berkembang saat ini yang paling banyak menampung mereka yang mengungsi.
Selama 2021, hampir 1,4 juta orang dilaporkan menjadi warga baru yang mengungsi dari rumah mereka di kawasan Asia dan Pasifik, dan hampir semuanya berasal dari Afghanistan dan Myanmar, kata UNHCR.
Kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan menyebabkan 900 ribu orang melarikan diri dari rumah mereka baik yang masih di dalam negeri maupun ke luar negeri, sementara di Myanmar, akibat kudeta bulan Februari 2021, 400 ribu orang pergi meninggalkan rumah mereka.
Pakistan saat ini menampung sekitar 1,5 juta pengungsi, terutama dari Afghanistan.
Bangladesh menampung 918.900 pengungsi, sebagian besar adalah pengungsi Rohingya yang melarikan diri karena persekusi di Myanmar.
Menurut Departemen Dalam Negeri, Australia menerima 13.171 orang pengungsi dalam program kemanusiaan untuk tahun 2019-2020 'kurang dari target seharusnya yaitu 18.750 orang karena adanya COVID-19.'
Pemerintahan PM Scott Morrison bulan Maret lalu mengumumkan tambahan 16.500 orang pengungsi selama empat tahun ke depan bagi mereka yang berasal dari Afghanistan.
Menjelang pemilu bulan Mei lalu Partai Buruh yang sekarang menjadi pemerintahan baru akan meningkatkan penerimaan pengungsi menjadi 27 ribu orang per tahun selain juga mengembangkan program pengungsi yang disponsori komunitas sebanyak 5 ribu orang per tahun. Pengungsi yang masih terdampar di Indonesia: 'Dengarlah suara kami'
Awal bulan ini, para pengungsi asal Afghanistan berkumpul di depan Kedubes Australia di Jakarta menyerukan kepada PM Anthony Albanese untuk memukimkan mereka yang saat ini berada di Indonesia.
Indonesia saat ini menampung sekitar 13 ribu orang pengungsi - dengan separuhnya berasal dari Afghanistan - dengan kebanyakan dari mereka tidak memiliki kemungkinan bisa mendapat tempat hidup permanen di tempat lain.
"Kami tidak bisa pulang kembali ke Afghanistan atau diintegrasikan dengan Indonesia," kata pernyataan bersama aktivis pengungsi Hazara kepada ABC.
Mereka menyerukan kepada Australia, Amerika Serikat, Kanada dan Selandia Baru "untuk meningkatkan penerimaan pengungsi asal Indonesia dan mempercepat proses penerimaan."
"Kami dengan hormat meminta kepada PM Albanese untuk mendengar suara kami yang sudah tidak didengar selama 10 tahun terakhir," kata mereka.
Menurut kebijakan yang dilakukan pemerintah federal Australia pada tahun 2014, ketika Scott Morrison menjadi Menteri Imigrasi, pengungsi yang terdaftar dengan UNHCR setelah bulan Juni tahun itu dilarang untuk menetap selamanya di Australia.
"Perubahan ini akan mengurangi pergerakan pencari suaka ke Indonesia dan mendorong mereka untuk mencari penempatan di negeri di mana mereka mendarat pertama kali," kata Morrison ketika itu.
Namun, para pengungsi tetap tiba di Indonesia di mana mereka tidak mendapatkan bantuan untuk hak dasar seperti layanan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan.
"Melihat bahwa dua dari lima sumber pengungsi yaitu Afghanistan dan Myanmar berada di kawasan Asia dan Pasifik, Australia memiliki tanggung jawab moral untuk menyediakan jalan yang aman dan efektif bagi mereka untuk tinggal permanen," kata Dr Sara Dehm.
"Melanjutkan lagi penerimaan pengungsi dari Indonesia merupakan langkah yang logis untuk menunjukkan tanggung jawab tersebut, khususnya melihat bahwa pengungsi di Indonesia sudah menunggu selama bertahun-tahun dan berada dalam posisi sulit untuk bisa diterima di tempat lain."
Senator Nick McKim dari Partai Hijau mengatakan pemerintahan Albanese "harus bekerja sama dengan pemerintahan Indonesia dan Malaysia untuk memungkinkan para pencari suaka itu mengajukan kasus mereka untuk bisabermukim di Australia."
Menurutnya, para pengungsi tersebut bisa disediakan 'paket bermartabat' sementara kasusnya mereka diproses, dengan memberikan akses bagi layanan kesehatan, kesempatan menjalani pendidikan dan pelajaran bahasa Inggris guna mempersiapkan mereka nantinya menetap di Australia.
"Bila kita melakukan hal tersebut kita bisa melakukan program migrasi teratur sejalan dengan peningkatan penerimaan lewat program kemanusiaan menjadi 50 ribu orang per tahun," katanya.
Dari jutaan pengungsi di seluruh dunia tersebut, menurut PBB, sebagian besar adalah anak-anak.
UNHCR mengatakan walau hanya 30 persen dari jumlah penduduk dunia adalah anak-anak, namun 42 persen dari mereka yang harus meninggalkan rumah mereka adalah anak-anak.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahasiswa Internasional Mulai Datang Kembali ke Perth Meski Harus Melakukan Berbagai Penyesuaian Baru