Undang-undang pencemaran nama baik di Australia disusun tanpa mempertimbangkan media sosial. Beberapa elemen UU itu bahkan didasarkan pada preseden di Inggris sebelum era mesin cetak.
Saat ini, semakin banyak warga Australia berkasus ke pengadilan gara-gara komentar atau postingan di medsos yang dipandang sebagai pencemaran nama baik.
BACA JUGA: Grattan Institute: Kebanyakan Warga Australia Miliki Dana Cukup Ketika Pensiun
Padahal, berperkara di pengadilan Australia itu mahal dan menghabiskan waktu yang lama.
Adakah cara lebih cepat dan adil untuk menyelesaikan perselisihan gara-gara email, WA, SMS, atau postingan Facebook, Instagram dan Twitter?
BACA JUGA: Australia-Indonesia Pererat Kerjasama Cegah Terorisme Dari Medsos
ABC menemui sejumlah pakar hukum yang berpendapat demikian.
Umumnya kasus pencemaran nama baik memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
BACA JUGA: Bau Durian Menyengat Dalam Kabin Sriwijaya Air Picu Protes Penumpang
Hal itulah yang dialami seorang wanita di Canberra bernama Heather.
Dia menghabiskan dua tahun bolak-balik ke pengadilan setelah menggugat seorang pria dalam kasus pencemaran nama baik.
Pria tersebut membuat postingan di akun FB-nya, menyebut Heather tak kapabel, penipu, bias dan seksis dalam pekerjaannya di sebuah organisasi olahraga.
Menurut Heather, pengacaranya tadinya telah menghubungi tergugat dan memintanya menghapus postingan tersebut. Namun pria itu menolak.
"Prosesnya mungkin berlangsung dua tahun, menguras tenaga dan melelahkan, sangat emosional dan mahal," ujar Heather kepada ABC.
"Setiap kali ingin mencegah munculnya postingan atau memintanya dihapus, butuh waktu dan kita sampai harus membayar pengacara," katanya.609 kasus pencemaran nama baik
Analisa Profesor Peter Fray dan Profesor Derek Wilding dari Universitas Teknologi di Sydney menyebutkan, ada 609 kasus pencemaran nama baik di Australia antara tahun 2013 dan 2017.
Menurut mereka, ada peningkatan kasus terkait postingan digital melibatkan warga biasa, bukan selebriti, yang menggugat karena mereka nama baiknya dicemarkan di medsos.
Prof Fray dan Prof Wilding menyebutkan, ada 16 kasus gara-gara postingan di FB, 20 kasus terkait email atau surat elektronik, empat kasus postingan di Twitter dan dua lainnya gara-gara SMS.
Empat dari lima penggugat, katanya, adalah warga biasa. Sebaliknya, hanya satu dari empat tergugat merupakan perusahaan media massa.
Menurut Prof Fray, penerapan UU pencemaran nama baik mengalami perubahan dengan cepat.
"Banyak orang berpikir pencemaran nama baik adalah kasus orang terkenal, tokoh publik, yang menggugat media pemberitaan," katanya.
Meski kasus-kasus seperti itu tetap banyak, namun saat ini semakin banyak warga biasa yang melakukannya gara-gara postingan di platform media sosial.
"Saya melihat orang sedikit terobsesi dengan pencemaran nama baik sebagai cara menjatuhkan musuh, padahal pencemaran nama baik bukan semata tentang hal itu," katanya.
UU pencemaran nama baik di Australia terakhir diperbarui secara substansial pada tahun 2005. Beberapa aspek di dalamnya berasal dari hukum Inggris dari abad ke-13.
Seorang praktisi hukum, Dr Matthew Collins QC, menjelaskan meskipun UU ini telah disesuaikan dengan situasi media sosial saat ini, masih banyak yang tidak pas.
"Pada 1990-an, memang sudah sering seorang individu menggugat individu lainnya," jelasnya.
"Tapi biasanya hal itu disebabkan misalnya surat, pemberitahuan di papan pengumuman, atau sesuatu yang disampaikan pada pertemuan publik," jelas Dr Collins.
Kini, komunikasi secara online di dunia maya terjadi dimana-mana.
Menurut Dr Collins, para hakim di Australia berupaya menerapkan dalil-dalil dari masa lalu pada situasi kasus-kasus kekinian.
"Ketika pengadilan menangani permasalahan baru, mereka berdalil dengan menggunakan analogi," jelas Dr Collins.
Dia mencontohkan, jika hakimnya tak begitu paham dunia internet, maka mereka mungkin membandingkan email dengan surat yang dikirim oleh kantor pos.
Menurut Dr Collins dari pengalamannya, sebagian besar penggugat kasus pencemaran nama baik hanya menginginkan agar pengadilan memutuskan bahwa postingan yang digugat itu sebagai tidak benar.
Dia mengatakan jika UU memungkinkan pengadilan bersidang lebih efisien dan informal, hal itu akan menghindarkan perdebatan hukum yang kompleks dan lama.
"Kami memiliki sistem peradilan Rolls Royce di Australia, tapi konsekuensinya, hal itu lambat dan mahal," katanya.
Dia menyarankan agar pengadilan diperbolehkan memutuskan dengan cepat apakah postingan yang dipermasalahkan itu memang benar atau tidak benar.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Beijing Berlakukan Sistem Pengawasan Berbasis Pengenalan Gaya Berjalan