Perbatasan internasional Australia rencananya akan dibuka pada bulan November.

Meski nantinya baru hanya warga negara dan penduduk tetap (PR) yang diperbolehkan keluar dan masuk kembali ke Australia dengan lebih leluasa, tapi sudah banyak pertanyaan di jejaring sosial soal bagaimana cara untuk bisa ke Australia.

BACA JUGA: Keberhasilan Jepang Menurunkan Penularan COVID-19 Bikin Pakar Kesehatan Bingung

Ada juga beberapa pihak yang memanfaatkan peluang dengan menjanjikan pengurusan visa bagi yang ingin sekolah dan bekerja di Australia.

Bayarannya tidaklah murah, tapi kebenaran dari janji yang ditawarkan pun dipertanyakan banyak pihak.

BACA JUGA: Korea Selatan Coba Hidup Berdampingan dengan COVID-19, Begini Strateginya

Dari pengalaman beberapa warga asal Indonesia yang saat ini sedang belajar sambil bekerja di Australia, hal utama yang perlu dipersiapkan sebenarnya adalah mencari informasi yang benar selengkap-lengkapnya.

Seperti yang diceritakan Steven Halim, yang sudah berada di Australia sejak tahun 2018.

BACA JUGA: Indonesia U-23 vs Australia: Shin Tae Yong Keluhkan Finishing, Tetapi Angkat Topi Soal Ini

Ia mengatakan cara termudah baginya saat itu untuk masuk ke Australia adalah menggunakan visa turis, kemudian menggantinya menjadi visa pelajar resmi.

"Dulu saya memang niatnya mau sekolah, jadi saya sudah riset sendiri, bahkan mendaftar sekolah sendiri dan diterima," kata Steven kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

Steven mengaku ia baru menghubungi agen saat hendak mengurus dokumen dan syarat lain untuk pengajuan visa.

Saat ini, sambil sekolah, Steven juga bekerja penuh waktu sebagai chef di sebuah restoran Jepang,  meski latar belakang pendidikannya adalah informasi dan teknologi.

Menurutnya kendala yang banyak dihadapi warga Indonesia saat hendak datang ke Australia adalah ketidakjelasan informasi dan kadang simpang siur.

"Ditambah lagi dengan agen-agen palsu yang sudah mengiming-imingi kerja di Australia dengan biaya tertentu."

"Jujur saja, waktu saya mau ke Australia, saya juga tidak menemukan informasi soal kerja di Australia."

"Jadi pas sampai di Australia, agak kaget juga ternyata banyak yang ke sini buat kerja," katanya lagi. 'Jangan gampang percaya'

Aaron Rehan tiba di Australia bulan Desember 2017 dengan menggunakan jenis visa Working Holiday (WHV).

Visa ini diperuntukkan bagi mereka yang berusia antara 18-30 tahun untuk bisa berlibur sambil bekerja.

Rehan, panggilan akrabnya, mengatakan ia sudah mengetahui program WHV di Australia sejak ia duduk di bangku kuliah, kemudian mencoba mencari informasi selengkapnya lewat internet.

"Proses saya mendapatkan visa WHV saya kerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain," ujarnya.

"Apalagi meminta bantuan agen-agen imigrasi yang bisa menjanjikan visa WHV tentunya memakan biaya lebih [dan] tak menjamin visa kita disetujui," katanya.

Menurut Rehan ada berbagai informasi mengenai WHV di media sosial yang bisa menjadi masukan bagi yang berminat, demikian juga dengan situs resmi milik pemerintah Indonesia.

"Pada dasarnya semua informasi di laman resmi sudah sangat lengkap dan mudah dipahami."

"Teman-teman yang berminat dengan WHV tidak harus mengeluarkan uang sepeser pun, terkecuali untuk biaya pengajuan Visa WHV."

"Jadi usahakan teman-teman membaca semua informasi lengkap dan ter-update di lamannya dan jangan gampang percaya dengan agen yang bisa menjanjikan bisa membantu mendapatkan visa ini," kata Rehan lagi. Pentingnya berkenalan untuk mendapat kerja

Rehan bercerita ketika pertama kali tiba di Sydney di akhir tahun 2017, ia sempat tidak bekerja sama sekali selama sekitar satu bulan.

"Karena saya datang ketika liburan Natal dan Tahun Baru, dan karena saya tidak memiliki kenalan, mencari pekerjaan terbilang susah," kata Rehan.

Namun kemudian dari grup media sosial komunitas Indonesia di Sydney, dia mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai pembersih apartemen dan kamar mandi umum.

"Setelah itu saya bekerja sebagai pencuci piring di restoran yang saya dapatkan dari rekomendasi teman WHV di Sydney ketika itu."

Menurut Rehan yang berasal dari Boyolali, Jawa Tengah, informasi pekerjaan kadang didapatkan juga dari kenalan, karenanya membentuk jaringan dengan komunitas Indonesia di Australia sangatlah penting.

"Nasihat saya perbanyak pergaulan apalagi dengan komunitas Indonesia di area kamu akan tinggal."

"Pekerjaan terkadang tiba dari orang orang yang kita kenal di komunitas ini atau teman-teman yang kamu temui di Australia," katanya.

Sementara itu, Steven menyarankan warga Indonesia yang akan datang ke Australia untuk mempersiapkan diri dengan baik, terutama secara mental.

"Jangan anggap tinggal di Australia itu yang kelihatan enak-enaknya aja."

"Di sini hidupnya cukup keras karena kita bersaing dengan orang-orang dari berbagai negara juga, seperti Thailand, Nepal, India, Filipina, Malaysia dan yang lain."

"Kalau di Indonesia saingan kita kan cuma sesama orang Indonesia saja."

Hal lain yang menurutnya juga penting diperhatikan adalah pengelolaan keuangan setibanya di Australia.

"Kalau dibandingkan dengan Indonesia, memang penghasilan di Australia jauh lebih besar, tapi  biaya hidup juga besar."

"Belum ditambah lagi harus bayar sekolah. Kalau tidak pintar mengatur keuangan, bisa-bisa di akhir bulan tidak ada sisa sama sekali." kata Steven.

Satu contoh tidak baik dalam pengelolaan keuangan adalah seperti yang ia contohkan dari pengalaman seorang warga Indonesia lainnya.

"Saya pernah tahu ada orang Indonesia yang kecanduan dengan judi. Karena di  Australia kan judi itu legal, jadi percuma kerja keras uangnya habis buat judi," katanya.  Mahasiswa Indonesia sudah ada yang kembali

Australia menutup perbatasan internasional sejak bulan Maret sehingga mahasiswa internasional hampir tidak ada yang masuk lagi ke Australia.

Namun sejumlah mahasiswa internasional sudah ada yang kembali, termasuk asal Indonesia, lewat beberapa program atau mendapatkan izin khusus.

Salah seorang mahasiswa asal Indonesia yang sudah tiba di Australia adalah Samuel Widodo. 

Ia sedang melanjutkan pendidikan doktoralnya di University of Melbourne di bidang bioteknologi.

Samuel baru saja menyelesaikan karantina selama dua minggu di Sydney atas biaya sendiri, kemudian melanjutkan perjalanan ke Melbourne.

"Saya memang mendapatkan izin khusus untuk datang sebagai mahasiswa," kata Samuel kepada ABC Indonesia.

"Kebetulan proyek pembimbing saya mendapat dana dari Dewan Penelitian Kesehatan dan Medis Nasional (NHMRC), sehingga saya masuk sebagai pekerja dengan ketrampilan khusus karena proyek saya fokus di bidang kanker," jelas Samuel.

Samuel sudah mengajukan permintaan selama beberapa bulan terakhir untuk bisa masuk ke Australia.

"Permintaan saya ajukan Mei ditolak dua kali dengan alasan dokumen belum lengkap.

"Yang ketiga saya ajukan Juni, diterima bulan Juli.

"Booking tiket pesawat di bulan Juli, dapatnya penerbangan di bulan September," kata Samuel.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Tetapkan Harga Baru Tes PCR, Begini Respons Intibios Lab

Berita Terkait