Virolog, atau pakar virus Prasad Deshpande bekerja di salah satu laboratorium pengetesan COVID-19 di India.
Setiap harinya dia mengawasi proses sampel di saat India masih berusaha memerangi pandemi, dengan kasus pernah mencapai 100 ribu per hari.
BACA JUGA: Warga Indonesia di Australia Kangen Keluarga, Berharap Segera Ada Vaksin
Ketika situasi berkenaan dengan corona mulai meningkat di India, hanya ada beberapa institusi di seluruh negeri yang bisa melakukan tes COVID-19.
Mereka sudah melakukan tes ribuan sampel setiap hari namun ini masih belum mencukupi untuk bisa menangani kasus yang meningkat dari hari ke hari.
BACA JUGA: Warga Indonesia Ikut Sukseskan Penggunaan Tenaga Surya di Australia Selatan
Photo: Virolog Prasad Deshpande harus memeriksa ratusan sampel tes corona setiap hari di Pune, India. (Supplied: Prasad Deshpande )
Karena itu diperlukan pusat pengetesan baru, namun tidak ada infrastruktur dan orang-orang yang terlatih untuk melakukannya.
BACA JUGA: Warga Indonesia di Melbourne Memanfaatkan Tes dan Isolasi COVID-19 demi Insentif AUD 450
Saya sebelumnya bekerja di bidang TBC dan HIV di laboratorium saya di Pune, tidak jauh dari Mumbai.
Saya utamanya melakukan penelitian mengenai mengapa beberapa orang lebih cepat bergerak ke AIDS dari HIV.
Pemerintah mendekati saya meminta laboratorium saya juga melakukan tes karena kami sudah memiliki beberapa infrastruktur.
Prosesnya tidaklah semua seperti pengetesan lain. Diperlukan pelatihan selama beberapa tahun, namun kami hanya punya waktu dua hari sebelum mulai bekerja.
Kami memulai dengan melakukan pengetesan terhadap 100 orang sehari.
Perlahan kami mulai mempekerjakan lebih banyak orang, dan meningkatkan kapasitas menjadi 300 orang per hari, dan kemudian 500.
Sebentar lagi kami akan bisa memeriksa dua ribu sampel per hari. Apa yang kami lakukan?
Prioritas kami adalah mengetes pasien yang sudah masuk ke rumah sakit dan kontak yang dilakukan oleh pasien.
Inilah sebagian besar yang kami lakukan tetapi kami juga melakukan tes terhadap yang sudah meninggal.
Di India, massa akan berkumpul kalau ada yang meninggal, semua orang harus mendekati jenazah, mereka akan menyentuh kakinya.
Warga ini melihat jenazah dan membawanya ke tempat pembakaran, dan mereka merasa itu kewajiban yang harus dilakukan.
Namun kalau yang meninggal itu positif corona, maka ada kemungkinan virus masih bisa menyebar.
Rumah sakit tidak akan memberikan jenazah untuk dikremasi, sampai ada hasil COVID-19nya.
Seringkali laporan itu sudah ditunggu-tunggu sehingga tekanan untuk mengetahui hasilnya secepatnya mungkin sangat mendesak.
Setiap hari saya rata-rata bekerja 10 jam. Di awal-awal, waktu kerja lebih lama lagi, karena semua baru, virusnya baru, alat tesnya juga baru.
Ketika masuk ke lab, hal pertama yang kami lakukan adalah menggunakan hand sanitizer.
Setelah itu ada ruangan khusus dimana kami mengenakan APD (alat pelindung diri).
Di luar ruangan udaranya panas sekali dan bahkan di ruangan ber-AC, kita akan kepanasan dan berkeringat kalau mengenakan APD.
Kami harus mengenakannya paling kurang enam jam sehari.
Kami akan makan banyak di pagi hari, karena kalau kami sudah mengenakan APD, susah sekali untuk membukanya lagi untuk urusan lain.
Kami harus bekerja selama enam jam dan setelah itu baru bisa melepaskan APD, keluar dari lab, makan sesuatu sebelum kembali lagi bekerja. Semuanya harus sempurna
Laboratorium kami dibagi dalam empat bagian.
Yang pertama tempat kami menerima sampel. Ini adalah tempat yang paling kritis bagi kemungkinan penyebaran virus, dan karenanya harus benar-benar steril.
Kami biasanya melakukan tes dalam kelompok 20 atau 24. Kami mengambil sampel kecil untuk dites ke dalam tube kecil dan sisanya ditaruh di lemari es.
Kemudian proses selanjutnya dilakukan untuk mendapatkan apakah sampel itu berisi virus corona,istilah yang dikenal dengan nama RNA.
Sekarang dalam proses menggunakan mesin, kami bisa mendapat RNA dalam waktu 90 menit.
Kemudian ada ruangan kedua, ruangan yang bersih, sehingga orang yang memisahkan RNA tidak masuk ke sana.
Staf di ruangan ini mempersiapkan berbagai bahan kimia, yang kemudian dibawa ke ruangan ketiga untuk memasukkan bahan kimia itu dengan RNA.
Proses ini memerlukan waktu dua jam. Photo: Ruangan untuk memeriksa hasil PCR tes. (Supplied: Prasad Deshpande)
Dari situ kemudian hasilnya akan dibandingkan dengan parameter yang sudah yang disebut CT.
Perbandingan itulah yang menentukan apakah seseorang negatif atau positif.
Jadi misalnya nilai CT adalah 35, sampel yang nilainya dibawah 35 adalah positif, dan kalau di atas 35 artinya negatif.
Kami tidak melakukan testing random di jalanan, namun sampel diambil dari warga yang sudah memiliki resiko tinggi, jadi tingkat positifnya di atas 40 persen.
Proses ini harus dilakukan dengan sempurna, karena biayanya mahal, dan kadang bila terjadi sesuatu kami harus mulai dari awal lagi.
Kalau hasilnya sudah ada, kami harus memberi tahu dokter dan pemerintahan lokal, sehingga mereka bisa melacak dimana pasien tinggal, siapa keluarga terdekat, apakah mereka tinggal di pemukiman kumuh, sehingga tetangga juga perlu dilacak.
Kami harus memberikan data ini kepada pemerintahan lokal dalam waktu 24 jam. Photo: Untuk mencegah penularan di lab, semua petugas harus mengenakan APD selama enam jam. (Supplied: Prasad Deshpande)
Teman dan keluarga khawatir tapi saya harus melakukannya
Teman-teman selalu mengkhawatirkan saya.
"Kamu berada di garda terdepan, hati-hati, jangan sampai terkena," kata mereka.
Bulan April di India diterapkan lockdown, dan hampir semua teman-teman saya bekerja dari rumah.
Mereka kadang menelpon dan bertanya "OK, kami mendengar sesuatu di berita, tetapi kami ingin informasi lebih lanjut."
Keluarga saya juga awalnya khawatir.
Saya tinggal bersama ibu saya di rumah, dia berusia 75 tahun dan memiliki diabetesm selain istri dan anak saya berusia dua tahun.
"Mengapa kamu harus pergi? Semua orang kerja dari rumah," kata mereka.
Tetapi saya mengatakan kepada mereka "Saya harus melakukannya, ini adalah tugas saya."
Kami harus memakai APD terus menerus, dan kemudian harus membersihkan diri ketika meninggalkan lab.
Ketika sampai di rumah, kami harus mandi dulu sebelum bisa bertemu dengan orang lain, dan baju kami juga disimpan terpisah.
Keluarga saya harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru ini.
Sekarang anak saya tahu bahwa dia tidak bisa langsung memeluk saya ketika saya sampai di rumah.
Dia harus menunggu sampai saya selesai mandi, sebelum dia boleh mendekat.
Saya merasa sudah menyumbangkan peran saya dalam memerangi virus ini dan saya bangga melakukannya.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya.
Lihat artikelnya dalam bahasa Inggris di sini
BACA ARTIKEL LAINNYA... Melbourne Rayakan Dua Hari Nol Kasus COVID-19