Presiden Joko Widodo batuk-batuk.
Bukan hanya sehari atau dua hari, tapi hampir empat pekan lamanya, seperti dikatakan Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Penyanyi Britney Spears Digugat Cerai Suami
"Beliau belum pernah merasakan seperti ini dan kemungkinan, dokter menyampaikan, ada kontribusi dari udara yang tidak sehat dan kualitasnya buruk," ujar awal pekan lalu (14/08).
Kualitas udara Jakarta yang buruk juga dirasakan Sandi yang rutin berolahraga di ruangan terbuka dengan menyebut pagi hari adalah "yang paling parah".
BACA JUGA: Bahas Polusi, Heru Budi Hingga Ridwan Kamil Datangi Kantor Luhut
Situs pemantau kualitas udara IQAir menunjukkan kualitas udara di Jakarta buruk dalam beberapa pekan terakhir, bahkan sempat beberapa kali di posisi terburuk di dunia.
Presiden Jokowi langsung meminta agar ada penanganan segera untuk mengatasinya, baik untuk jangka pendek hingga jangka panjang.
BACA JUGA: Kebijakan WFH di Tangerang Diterapkan di Kawasan Tertentu
"Jika diperlukan, kita harus berani mendorong banyak kantor melaksanakan hybrid working, work from office, work from home," ucapnya dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin kemarin.Pemerintah pernah digugat, apa lanjutannya?
Ironisnya, Presiden Jokowi adalah salah satu tergugat yang memilih naik banding saat kalah dalam gugatan citizen lawsuit pencematan udara Jakarta (CLS udara) yang diajukan 32 warga.
Tepatnya pada 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus lima dari tujuh tergugat, yakni Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri dan Gubernur DKI Jakarta sudah melanggar Pasal Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengadilan juga memutuskan menghukum para tergugat untuk menjalankan sembilan poin putusan hakim sebagai upaya untuk mengendalikan pencemaran udara Jakarta.
Alih-alih menerima dan menjalankan putusan, para tergugat dari pemerintah pusat yaitu Presiden dan para Menteri justru memutuskan untuk melakukan banding pada Oktober 2021.
Tapi mereka kembali kalah, setelah Pengadilan Tinggi pada 17 Oktober 2022 menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memenangkan atau mengabulkan sebagian besar tuntutan warga.
"Banding yang diajukan oleh pemerintah sejak awal jelas menunjukkan bahwa pemerintah gagal melihat bahwa gugatan ini sebagai upaya evaluasi pengendalian polusi udara di DKI Jakarta," kata Jeanny Sirait, Tim Advokasi warga.Bukan hanya di Jakarta
Sehari sebelum Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan ke-78, ibu kota Jakarta menduduki tempat pertama kota dengan kualitas terburuk di dunia menurut situs IQAir, lembaga pendata kualitas udara asal Swiss.
Ukuran yang dipakai adalah partikel PM2,5 atau materi partikulat yang ditemukan di udara, termasuk debu, jelaga, kotoran, asap, dan tetesan cairan, yang berdiameter 2,5 mikron atau kurang.
Menurut IQAir, dalam konteks polusi udara, PM2,5 merupakan ancaman kesehatan terbesar.
Karena ukurannya yang kecil, PM2,5 bisa tetap melayang di udara alam jangka waktu yang lama, dan terserap aliran darah saat terhirup.
Konsentrasi PM2,5 di Jakarta pada 16 Agustus 2023 adalah 77.8µg/m³ atau 15,6 kali di atas ambang batas kualitas udara sehat yang ditetapkan lembaga kesehatan dunia, WHO.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebut kendaraan bermotor, industri, kegiatan konstruksi, arah angin, dan kelembaban sebagai sumber pencemar yang memperburuk kualitas udara Jakarta.
Setelah memenangkan gugatan, Tim Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (IBUKOTA) mendapat laporan dari anggota masyarakat di daerah lain mengenai kondisi udara yang terjadi di tempat lain.
"Karena Jakarta lumayan masif, akhirnya beberapa wilayah sounding [dan] mereka [menjadi] lebih aware," kata Ayu Eza Tiara, Kuasa Hukum IBUKOTA.
Mad Haer, direktur eksekutif PENA Masyarakat, mengatakan "polusi udara mau tidak mau menjadi problematika utama untuk Banten" karena banyaknya PLTU.
Menurut laporan LBH Jakarta, Banten memiliki 21 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan hendak membangun 9-10 pembangkit yang baru.
Di tahun 2020, Dinas Kesehatan Kota Cilegon mencatat lebih dari 22.000 orang mengalami infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA.
Terjadi penurunan jumlah penderita ISPA pada tahun 2021 dan 2022, namun Mad mengatakan hal ini bisa terjadi karena dua kemungkinan: warga meninggal atau mereka sudah pindah.
"Karena bicara dampak langsung, itu sangat-sangat buruk, apalagi di wilayah Desa Suralaya di mana banyak masyarakat yang terdampak langsung secara gangguan pernapasan, sampai ada yang meninggal."
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Banten Wawan Gunawan menolak tuduhan keberadaan PLTU sebagai penyebab pencemaran udara di Jabodetabek.
"Enggak [berdasar] tuduhan itu. Bukan dari industri, tapi dari emisi kendaraan," ujarnya.
"Enggak mungkin PLTU Suralaya, kalau memang ada pencemaran itu enggak mungkin dapat predikat emas sebanyak tiga kali," katanya seperti dikutip media lokal Banten.
Tapi menurut Mad, pemerintah setempat tengah membangun lebih banyak PLTU di Banten.Mau pindah ke Bali? Tunggu dulu
Sangking khawatir dengan kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya, artis Luna Maya sempat mempertimbangkan pilihan untuk pindah ke Bali, seperti diungkapkan di Instagram-nya.
Tapi temuan ABC, beberapa wilayah di Bali ternyata juga tak luput dari kualitas udara yang tidak sehat.
Dalam seminggu terakhir, misalnya, kualitas udara di Denpasar beberapa kali menyentuh level polusi di atas ambang batas sehat yang ditentukan WHO.
Tepat 17 Agustus kemarin, kota Denpasar memiliki konsentrasi PM2,5 sebesar 3,6 kali, sementara Ubud 4,4 kali di atas ambang batas panduan kualitas udara WHO.
Yuyun Ismawati, peneliti dari Nexus3 Foundation, sebuah yayasan penelitian untuk lingkungan hidup, kesehatan, dan pembangunan yang sebelumnya dikenal dengan nama Balifokus, mengatakan meski tidak separah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, yang dikepung PLTU dan industri besar, pencemaran di Bali bisa berpotensi memburuk.
"Ya bisa parah juga, terutama dari kendaraan bermotor, sebetulnya, karena transportasi publik di Bali buruk sekali," kata Yuyun kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
Yuyun menjelaskan beberapa sumber pencemaran udara di Bali, mulai dari tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sampai industri dan PLTU.
"Di selatan, sumbernya TPA-TPA yang suka kebakaran, orang-orang yang bakar sampah di rumah-rumah, dan kendaraan bermotor."
"Di tengah, sumber pencemaran bisa berasal dari pestisida di lahan-lahan pertanian, industri emas dan perak, serta industri tenun dan kayu yang memakai boiler."
"Di utara, sumber pencemaran Bali berasal dari PLTU yang memakai mesin tua dan batubara, yang sudah diprotes berkali-kali."
Sebagai solusi, menurut Yuyun, pemerintah bisa mengubah TPA menjadi sanitary landfill, memperbaiki pelayanan angkutan sampah, pemilahan sampah, pembatasan kendaraan bermotor, dan memperbanyak transportasi publik massal.Kemenangan kecil warga yang belum berujung
Yuyun mengatakan putusan pengadilan sebenarnya memaksa presiden untuk menangani masalah polusi udara dan kesehatan masyarakat, serta prioritas pembangunan dengan baik demi mengatasi kondisi udara yang terus memburuk.
Namun kuasa Hukum IBUKOTA, Ayu Eza Tiara, mengatakan sejak putusan diumumkan hampir dua tahun yang lalu, belum ada kewajiban yang dipenuhi oleh pihak tergugat akibat proses pengadilan yang tidak kunjung rampung.
"Itu artinya pemerintah secara tidak langsung sudah semakin menggantung-gantungkan pemenuhan hak asasi negara untuk mendapatkan udara bersih dan sehat," ujarnya.
"Poinnya sebenarnya warga negara sudah tidak lagi fokus siapa yang benar, siapa yang salah, siapa yang menang, siapa yang kalah ... dan mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan polusi udara."
Ayu mengatakan sejak melayangkan gugatan hingga akhirnya menang di pengadilan, sudah cukup banyak masyarakat yang teredukasi tentang kondisi udara di Jakarta, namun tujuannya sebenarnya lebih dari itu.
"Kemenangan di pengadilan itu adalah kemenangan yang kecil, tapi kemenangan terbesar adalah adanya perubahan kebijakan publik dan penyadaran masyarakat soal pentingnya udara yang bersih dan sehat," katanya.
"Yang sangat disayangkan di sini, saya yang menangani kasusnya secara cuma-cuma dan NGO penanganan kasus ini sudah welcome sama pemerintah, … tapi nyatanya pemerintah tidak menggubris niat baik kami."
Ayu mengatakan proses pengadilan juga masih jauh dari selesai.
"Persidangan sempat ditunda berkali-kali sehingga prosesnya baru rampung dalam waktu hampir dua tahun, yang artinya untuk kasus ini sendiri saja kita sudah boros waktu satu setengah tahun."
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Apa yang Paling Disukai dari Indonesia? Kami Bertanya kepada Tiga Sahabat Lama dari Australia