jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa paparan Bisphenol - A (BPA) menimbulkan perubahan perkembangan otak secara dimorfik.
Salah satunya adalah penelitian dan kajian sains berjudul 'Dampak Paparan Bishpenol-A pada Brain Development dan Gangguan Perkembangan Mental' yang dilakukan Dekan Fakultas Farmasi Unair Surabaya, Prof. Junaedi Khotib.
BACA JUGA: BPOM Diminta Kaji Lebih Mendalam Wacana Pelabelan BPA, Ini Alasannya
Menurut Prof. Junaedi Khotib, adanya BPA akan menimbulkan kerusakan yang kompleks dengan melibatkan jalur hormonal dan epigenetik.
Meski kuantitasi gangguan pada model tikus secara invivo belum bisa ditranslasikan ke dalam model dosis-response yang sangat jelas pada manusia tetapi ini kata dia, ini harus peringatan yang serius.
BACA JUGA: Soal Revisi Pelabelan BPA, KPPU Bakal Undang Pemangku Kepentingan dan Para Pakar
Terutama terkait adanya gangguan kesehatan akibat pemaparan BPA dan berdampak serius pada kesehatan manusia baik secara fisik maupun mental.
"Potensi dampak merugikan BPA pada diferensiasi dan fungsi otak sangat besar dan kompleks, karena perubahan yang dihasilkan kemudian dapat menyebabkan perubahan organik maupun perilaku organisme," kata Prof. Junaedi Khotib dihubungi di Jakarta, Jumat (27/05).
BACA JUGA: Komnas Perlindungan Anak dan Kartini Milenial Dorong Pelabelan BPA
Prof. Junaedi Khotib mengatakan fokus penelitian tersebut untuk mengevaluasi dampak BPA terhadap gangguan pembentukan dan maturasi sel syaraf pada otak berdasarkan data invitro, invivo, dan epidemiologi.
“Upaya ini berhubungan erat dalam mencegah timbulnya berbagai gangguan syaraf, mental, perilaku dan kualitas generasi Indonesia pada masa depan,” kata Prof. Junaidi.
Dia kemudian membeberkan beberapa poin kesimpulan penting terkait penelitiannya.
Pertama, paparan BPA pada kultur sel syaraf dan penyangga menghasilkan perubahan dalam aktivitas, proliferasi, deferensiasi serta fisiologi sel syaraf dan penyangga dalam mengekspresikan protein spesifik.
Kedua, paparan BPA secara invivo pada hewan percobaan di fase prenatal dan neonatal menimbulkan perubahan diferensiasi, maturasi dan perkembangan sistem persyarafan dalam otak.
Hal ini berdampak pada perubahan perilaku dan learning memory hewan percobaan.
"Ketiga, paparan BPA berhubungan erat dengan kandungan BPA dalam urin dan marker kerusakan DNA. Hal tersebut berpeluang menimbulkan gangguan tumbuh kembang terutama pada ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), ASD (Autism Spectrum Disorder) dan gangguan kesehatan mental pada anak-anak,” tegasnya.
Berdasarkan kajian tersebut, Prof. Junaidi Khotib merekomendasikan empat langkah untuk mencegah paparan dan dampak merugikan pada manusia.
Pertama, edukasi dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat terkait dengan kemampuan secara bijak dalam memilih produk makanan atau minuman yang menggunakan kemasan primer bebas BPA.
Kedua, pendampingan pada produsen dalam meningkatkan costumer awareness melalui upaya menjaga keamanan produk dari paparan senyawa berbahaya bagi kesehatan seperti BPA.
Pengendalian dan monitoring penggunaan kemasan bisa dilakukan dengan baik.
Ketiga, komitmen dan tanggung jawab produsen dalam menjamin keamanan produk melalui studi pharmacovigilance yang intensif terkait dengan migrasi/pelepasan BPA dari kemasan dan dampak bagi kesehatan.
“Keempat, upaya Lembaga Autorisasi dalam perizinan produk makanan dan minuman dengan tidak melakukan pembiaran peluang pemaparan bahan berbahaya BPA melalui pemberian label pada kemasan primer pada makanan dan minuman,” tukasnya.
Diketahui, Bisfenol-A (BPA) merupakan bahan kimia yang digunakan dalam kemasan plastik polikarbonat.
Dengan BPA ini, plastik diharapkan tak mudah hancur, sehingga bisa digunakan dengan baik sebagai wadah.
Galon air mineral adalah salah satu yang menggunakan bahan kimia ini. Selain kemasan air berbahan plastik, BPA sebetulnya juga dijumpai pada kemasan berbagai makanan kalengan, perlengkapan rumah seperti pipa air, yang berupa lapisan plastik tipis.
BPA bisa mengalami migrasi dan mengontaminasi produk dalam kemasannya.
Jika seseorang terpapar BPA yang merupakan senyawa endocrine disruptor (gangguan sistem endokrin) ini dalam jangka panjang atau terus menerus, maka harus diwaspadai karena bisa berisiko pada kesehatannya.
Pada beberapa penelitian telah menunjukkan intensitas dan durasi paparan sangat berkorelasi dengan kadar BPA dalam tubuh.
Pentingnya melindungi kesehatan manusia dari bahaya BPA yang menggerakkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) mengkaji kembali pengaturan pelabelan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Badan POM melakukan kajian scientific based (policy brief), yaitu meliputi kajian keamanan BPA, kajian dampak ekonomi kesehatan, kajian dampak lingkungan hidup, dan kajian dampak sosial.
Bahaya atas penggunaan produk yang terkontaminasi BPA terlebih pada bayi atau anak-anak, juga ditunjukkan oleh Kajian Otoritas Keamanan Pangan Eropa atau The European Food Safety Authority (EFSA) yang melakukan evaluasi ulang risiko BPA pada 2021 lalu. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia