Bak Antara Kucing dan Tikus

Jumat, 02 April 2010 – 19:44 WIB
SAYA miris membaca berita bahwa petugas Ditjen Pajak 'bertengkar' dengan wajib pajakBuktinya, ada 9.000-an sengketa pajak di Peradilan Pajak

BACA JUGA: PLN Bak Buah Simalakama

Mengapa, jika boleh bermetafor, bagaikan antara 'kucing' dan 'tikus'? Tidak bisakah rukun-rukun saja, mengingat pajak mencapai 70 persen dari sumber APBN yang membiayai pembangunan?

Rukun bukan dalam makna bahwa nilai pajak seorang pengusaha boleh 'ditukang-tukangi'
Sebab jika ini menjadi gejala, maka performa bisnis dunia usaha akan menjadi setengah siluman

BACA JUGA: Kau Sombong, Kau Kubekot

Separuhnya tak terekam dalam pertumbuhan ekonomi, karena setengahnya dinikmati oleh sejenis 'Gayus Tambunan' dan jaringannya, serta pebisnis 'hantu' itu.

Bulu tengkuk kita pun bergidik
Ada 15.000 pegawai Ditjen Pajak yang kontak dengan wajib pajak

BACA JUGA: Menjaga Sjahrir, Menjaga Realisme

Bukan hendak memukul-ratakan, tetapi posisi mereka rawan, atau setidaknya berpotensi terlibat seperti dilakukan oleh Gayus.

Darmin Nasution semasih menjadi Dirjen Pajak pernah mensinyalir bahwa potensi penerimaan pajak yang hilang (tax gap) diperkirakan sekitar 35 persenWow, sekitar Rp 300 triliun!

Akibatnya, maka pertumbuhan ekonomi tergangguHak masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur yang berasal dari APBN berkurang pula.

Korupsi ala Gayus, jika kelak terbuktikan di pengadilan, termasuk berbagai kasus suap dan korupsi lainnya, akan berefek kepada kualitas dan percepatan pembangunan karena digerus tax gap.

Suap yang mirip deregulasi tak resmi itu memang menguntungkan pengusahaMisalnya, ketika pajak mereka direndahkan, bisa membeli keputusan DPR, vonis hakim, tapi berakibat buruk kepada khalayak ramaiBiaya sosialnya terlalu mahal, sehingga betapa 'jahat' dan layak disebut sebagai musuh publik.

Sekelas Presiden Obama pun risauTax gap di sana sekitar USD 3 miliar, yakni nilai selisih antara kewajiban pajak dengan pajak yang dihimpunLalu ia bentuk the Volcker Task Force, sejenis pengawas pajak, tetapi di luar Departemen KeuanganTak seperti KPP (Komite Pengawas Pajak) di sini yang justru di bawah Kementerian Keuangan.

Kewenangan Ditjen Pajak yang sekaligus berfungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif, memang terlalu besarKira-kira, samalah artinya jika seorang presiden sebagai kepala eksekutif, juga memimpin lembaga legislatif dan yudikatifYa, sangat diktator!

Tak heran jika teman-teman dari pengurus Kadin Pusat mengusulkan, cukuplah fungsi eksekutif saja yang dipegang oleh Ditjen PajakYakni hanya memungut pajak dan mengawasi kepatuhan wajib pajak agar membayar pajakItu saja.

Khusus fungsi legislatif dan yudikatif, mestinya dipisahkan sajaCaranya, dengan membuat badan baru di luar Ditjen Pajak, walaupun tetap berada di bawah Kementerian Keuangan.

Bayangkan, jika fungsi legislatif adalah kewenangan Ditjen Pajak mengeluarkan aturan pelaksanaan UU Perpajakan dan memberikan tafsirnyaLalu, bayangkan pula jika fungsi yudikatif yaitu menangani keberatan atas Surat Ketetapan PajakNah, selama ini Ditjen Pajak yang mengatur regulasinya, lalu mereka pula yang mengadilinya jika terjadi sengketa antara Ditjen Pajak dan wajib pajak.

Terpusatnya ketiga kekuasaan itu akan merangsang Ditjen Pajak memacu target penerimaan pajak, sehingga menimbulkan sengketa pajakEh, yang mengadili 'orang pajak' jugaTak heran jika mau 'damai-damai', maka terjadilah kisah sejenis 'Gayus Tambunan'.

Saya kira, pantaslah harus ada great wall, tembok pemisah antar ketiga fungsi ituKewenangan yang terpusat, dan monopolistik, memang cenderung menuju abused of power.

***
Barangkali, karena kewenangan yang tunggal dan memungkinkan menimbulkan kasus suap dan sogok itulah, muncul dan merebak sebuah gerakan Facebooker yang menolak membayar pajakPadahal, pajak perlu (untuk) membiayai pembangunanMembiayai pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan berbagai program kesejahteraan masyarakat.

Lagipula, mana ada negara yang tidak membiayai pembangunan dengan membayar pajakAda undang-undang dan regulasinyaTidak suka-suka seperti upeti di zaman kerajaan dan VOCJadi? Jika pajak tak dibayar, apa kata dunia!

Memang, pencitraan pajak agak ternoda dengan skandal Gayus TambunanBegitulah, adat sosial kitaSeorang makan cempedak, semua kena getahnyaTak adil jugaSo?

Tak ada jalan lainTindaklah Gayus secara hukumTermasuk yang diduga terlibat, entah penegak hukum, dan insider institusi perpajakan.

Tapi mustahil karena kasus Gayus, lalu seluruh pajak yang dibayarkan raib tak tentu rimbanyaTak patut main generalisasiLagipula, inilah momen yang tepat mereformasi sistem peradilan pajak, yang kata Satgas Markus, sangat rawan itu.

Pemerintah tak perlu berkecil hatiAjakan boikot itu hanya gejala seketika, sedemikian cintanya rakyat kepada negara dan agar pajak digunakan secara lurusTidak terpeleset.

Adapun kepada para Facebooker, saya berbisik, kendurkanlah emosimu, sayangBayangkan, 70 persen penerimaan negara dalam APBN justru bersumber dari pajak, saudaraku!

Namun yang teramat penting, reformasi pajak mestilah memisah kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang monopolistik dan terlalu besar ituJika tetap di tangan Ditjen Pajak, maka kisah antara 'tikus' dan 'kucing' itu akan terus terjadi! (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Senayan Merembes ke Jalanan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler