jpnn.com - BERBURU ikan paus bagi orang Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur adalah adat. Ritual yang sudah berlangsung ribuan tahun lalu. Sejarahnya, bertalian dengan Kerajaan Majapahit.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Mata Hari...Intelijen Kawakan Perang Dunia I itu Putri Jawa?
Baleo…baleo…baleooooo…!
Demi mendengar teriakan itu, orang-orang di Teluk Lamelera akan menyahut dengan pekik yang sama. Baleo…baleo…baleooooo. Sambung-menyambung.
BACA JUGA: Ini Lho Koran Pertama di Indonesia
Sorakan itu semacam kode. Pertanda kehadiran koteklema--sebutan masyarakat setempat untuk ikan paus jenis sperm whale.
Seketika itu, lamafa (pemimpin perburuan paus) mengambil leo ke lango belle (rumah besar atau rumah adat).
BACA JUGA: Si Patai, Robinhood Padang Kota (3/habis)
"Leo adalah tali. Pusat dari semua tali peledang (nama perahu untuk berburu ikan paus). Leo tak boleh kena hujan dan panas. Makanya disimpan di rumah adat," kata Yoakin Keraf, kepada JPNN.com, di sela Lembata, NTT, 1 November 2016.
Pria kelahiran Lamalera, 11 September 1968 itu menjelaskan, leo terbuat dari unsur pepohonan di hutan. Dipintal jadi tiga urat. Lalu dipilin jadi tali. "Jadi, bukan tali yang dibeli di pasar," katanya.
Meski sudah melaut sejak kanak-kanak, Yoakin tidak berhak mengambil leo. Sebab, ia adalah seorang matros (pendayung). "Yang boleh mengambil leo hanyalah lamafa," katanya.
Sementara lamafa mengambil leo, para matros mempersiapkan peledang meluncur ke laut. Saat berjalan memikul leo dari rumah adat ke perahu, lamafa tak boleh bicara. Kalau pun disapa, ia hanya mengangguk.
Lamafa mengambil tempat di hommololo--haluan peledang. Berdiri memimpin perburuan. Dialah yang nantinya berperan sebagai juru tikam ikan paus.
Para matros yang jumlahnya 6 hingga 8 orang duduk dengan posisi mendayung. Di bagian paling belakang, lama uri (juru mudi) mengendalikan arah peledang.
Secara keseluruhan mereka itu disebut lefa alep. "Lefa artinya laut. Alep artinya pemilik. Kami di sini tidak mengenal kata nelayan. Tapi lefa alep," kata Blajan Konradus, sosiolog Universitas Nusa Cendana, Kupang asal Lamalera.
Sastra Mantra
Ketika peledang sudah di perairan, para lefa alep mulai melantunkan sastra mantra memanggil angin. O ina fae bele e, nei kame angi usi (oh ibunda lautan, hembuskanlah kami sedikit angin).
Bila angin sudah datang, senandungnya eta lei lolo e, tule tale baranusa (terkembanglah layar, bawalah kami hingga baranusa).
"Baranusa maksudnya Alor," ungkap Bona Beding, budayawan Lamalera, dalam Seminar International Paus yang dihelat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, di Teluk Lamalera dan Lembata, NTT, 31 Oktober-1 November 2016.
"Alor itu maksudnya ke tempat yang jauh," sambung pria yang menjabat Ketua Departemen Kebudayaan Bahari & Masyarakat Hukum Adat Nelayan Tradisional Indonesia.
Saat ikan paus kena tombak lamafa dan ia berontak, para lefa alep bersorak, "kideknuke hirkae. Lefo garo lepe (jayalah para janda dan fakir miskin. Kampung kita sudah menerima kiriman itu)."
Ya, kiriman. Masyarakat Lamalera meyakini ikan paus adalah kiriman leluhur atau tuhan.
Senandung berikutnya, o sora tarem bale e. Tala lefo rae tai. Ribu lefo gole. Bera rae nai (wahai engkau kerbau yang bertanduk gading. Mari kita beranjak menuju kampung nun di sana. Seluruh masyarakat, para janda dan fakir miskin, tengah merindukan kehadiranmu. Ayo segeralah kita ke sana).
"Sora secara harafiah artinya kerbau. Maksudnya adalah paus," terang Bona Beding.
Dalam pelayaran menuju daratan, senandungnya fara tobi lolo lodo. Ke lie gatiro (berhembuslah angin barat. Datanglah mengantarkan kami menuju daratan).
Sesampai di darat, ikan besar itu dibagi-bagi. Tak hanya buat para pemburu. Tapi, dinikmati bersama-sama orang sekampung. Sebagian lagi dibarter dengan ubi, jagung dan hasil kebun lainnya dengan masyarakat yang tinggal di gunung.
Hikayat Lamalera
Merujuk Lieng Knatap--syair adat Lamalera--leluhur mereka berasal dari Luwuk, Sulawesi Selatan yang pergi berlayar meninggalkan kampung halaman karena Patih Gajahmada.
Sayang, syair itu tak memperinci lakon Gajahmada di Luwuk. "Bisa jadi waktu itu Majapahit mengekspansi Luwuk," tafsir sosiolog Blajan Konradus, kepada JPNN.com, di Lembata, 31 Oktober 2016.
Artinya, peristiwa itu terjadi sekira abad 14. Dari Luwuk, merujuk syair adat yang dikemukakan Mance--sapaan akrab Blajan Konradus--mereka singgah di Pulau Seram, Maluku.
Kemudian pindah ke Pulau Lapan dan Batan. Karena air bah, kedua pulau kecil itu kini tenggelam. Mereka pun ke Kroko Puke, masuk ke Teluk Lebala dan bermukim di Doni Nusa Lela.
"Di Doni Nusa Lela, tempuling (ujung tombak untuk menikam paus) sudah berubah dari kayu menjadi besi. Diperkirakan, generasi itu sudah mengenal teknologi besi. Hasil interaksi," papar Mance.
Setiap melaut, angin dan arus selalu membawa ke Teluk Lamalera. Bukan terdampar. Lama kelamaan, mereka mulai menambatkan perahunya di situ. Dan menetap hingga kini. Kebetulan pantai pasirnya agak panjang.
Nah, bila syair adat Lamalera yang menyebut-nyebut nama Gajahmada itu akurat, maka hikayat para pemburu ikan Paus itu bertalian sejarah dengan Kerajaan Majapahit.
Entah. Yang pasti, para lefa alep punya senandung...
narague boli…narague boli/tobo pole sora hene/sora beso lero pi (tuan tanah pengelola perahu/berharaplah hanya pada ikan paus/ikan paus telah datang hari ini).
bera-bera mi go dibela/Libu lego Java/pae mala fajo saja/fajo oli nuleng pali (lekaslah engkau makan hingga kenyang/hai Libu berkampung di Jawa/kemarilah/lihatlah di pantai ikan paus sudah ada).
"Libu adalah nama Tuan Tanah," ungkap Bona Beding.
Libu lego Java…Libu berkampung di Jawa. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Penampilan Ibu Soed dan WR Soepratman pada 28 Oktober 1928
Redaktur : Tim Redaksi