jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan Provinsi Bali bisa mengalami bahaya gempa bumi serupa secara berulang-ulang karena memiliki catatan gempa serupa di tempat yang sama.
Daryono kemudian mengingatkan sejarah gempa di Bali yang dahsyat 22 November 1815.
BACA JUGA: Pemuda Itu Berteriak Minta Tolong, Celurit Tetap Menancap di Tubuhnya
“Bali menghadapi bahaya yang serupa dan bisa berulang-ulang, karena kalau kita buka catatan sejarah gempa di Bali yang dahsyat 22 November 1815 itu, lereng-lereng perbukitan di Bali sudah mengalami longsor dan menelan korban jiwa,” kata Daryono dalam Konferensi Pers Update Situasi dan Penanganan Gempa Karangasem Provinsi Bali yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan gempa dahsyat yang terjadi pada 1815 itu, juga menyebabkan rekahan tanah di Bali telah tersebar di banyak tempat.
BACA JUGA: Lagi Enak-Enak di Hotel Bareng Cewek, D Diseret Keluar-Diamuk Massa, Sukurin
Bahkan, kata dia, ada yang sampai memotong Danau Tamblingan dan menyebabkan banjir besar.
Kemudian dia menyebutkan gempa bumi di Bali yang terjadi pada 21 Januari 1917, sekitar 80 persen dari jumlah korban gempa disebabkan oleh longsoran. Dengan jumlah korban jiwa sebanyak lebih dari 1.500 orang.
BACA JUGA: AKBP Fernando: Saya Sudah Perintah Kasatreskrim Menyelidiki di Lapangan
Selanjutnya selain likuefaksi (pencairan tanah), pada Gempa Seririt yang terjadi saat 14 Juli 1976, juga menyebabkan banyak rekahan tanah dan longsoran tebing bermunculan di Pupuan, Tabanan, Bukit Geger juga Buleleng.
“Kalau gempa kemarin di barat, ini di timur dan korbannya 559 orang. Ini bukti bahwa collateral hazard (dampak ikutan) ini akan terus terjadi kalau tidak dilakukan upaya mitigasi terkait dengan dampak ini,” tegas dia.
Melihat gempa bumi yang kuat dan dampak ikutan terjadi secara berulang di dekat Gunung Agung dan Gunung Batur, dia menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi dan melakukan mitigasi pada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut ke depannya.
“Ini yang harus diantisipasi ke depan sebagai upaya mitigasi masyarakat yang tinggal di pegunungan tengah Bali. Tidak saja membangun bangunan yang tahan gempa, tetapi juga harus memperhatikan biologi tata lingkungan berbasis risiko gempa dalam membangun,” ucap dia.
Koordinator Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Agus Budianto menyarankan wilayah terdampak yang terbuka dan berada di alur lembah, sebaiknya dipindahkan menjauhi alur lembah dan tebing.
“Karena yang terjadi longsor ini, dia sudah membuka jalur jalan di atasnya dan akan terus berulang, berulang dan berulang. Jadi hindarkan di wilayah kombinasi alur air dan dampak gempa itu tadi,” kata Agus.
Selain itu, dia menyarankan pada pemerintah untuk membantu masyarakat menjaga kestabilan lereng dengan tetap melestarikan hutan dan membangun kewaspadaan tinggi saat mengevakuasi dan beraktivitas di seputaran lokasi terdampak utama saat turun hujan.
“Kita menjaga kestabilan lereng dengan tetap melestarikan hutan yang sudah ada, jadi hutannya tetap dikawal. Jangan sekali-kali mengganggu baik di sisi tebing maupun di atas Tebing Kaldera,” ucap dia.
Untuk membangun kewaspadaan, kata dia, pemerintah perlu membiasakan diri memasang tanda longsor, jalur evakuasi dan pemantauan mandiri curah hujan mulai saat ini, mengingat Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana alam.
Pada masyarakat, dia menyarankan agar tidak mengembangkan pemukiman mendekati Tebing Kaldera dan dimulut alur lembah serta meningkatkan kewaspadaan ketika hujan terjadi, untuk langsung menjauhi jalur lembah dan tebing.
Selain itu, masyarakat setempat diimbau untuk selalu mengikuti arahan dari pemerintah daerah dan BPBD setempat.
“Jangan lupa, BPBD menjadi sentral untuk komunikasi masyarakat. Kalau ada kejadian, segera lapor atau upaya teesebut dilakukan,” tegas Agus. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti