Baliho

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 10 Agustus 2021 – 13:07 WIB
Salah satu spanduk Puan Maharani. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kita semua tahu baliho. Apalagi sekarang lagi viral karena banyak politisi bermunculan di berbagai baliho di sudut-sudut jalan.

Namun, mungkin tidak banyak yang tahu asal muasal istilah baliho.

BACA JUGA: Puan Maharani cs Lontarkan Kritik kepada Presiden Jokowi, Bang Ray: Hanya untuk Citra PDIP

Dalam bahasa kerennya, ilmu asal muasal disebut sebagai etimologi. 

Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi baliho adalah publikasi yang berlebih-lebihan ukurannya, tujuannya agar menarik perhatian masyarakat, biasanya dalam bentuk gambar yang berukuran besar di tempat-tempat ramai.

BACA JUGA: Dinilai Merakyat, Airlangga Hartarto Didukung Akademisi Maju Pilpres 2024

Beda lagi dengan etimologi baliho ala pesantren.

Kiai Luthfi Bashori alias Gus Luthfi dari Malang meninjau definisi baliho dari sudut tata bahasa Arab. Dalam sebuah postingan di medsos Gus Luthfi mengatakan, baliho berasal dari bahasa Arab “ballighu” artinya sampaikanlah.

BACA JUGA: Saran Muhaimin Iskandar Kepada Pemerintah Terkait Anggaran Penanganan Covid-19

Ballighu berasal dari akar kata kerja “balagha” artinya menyampaikan.

Sebuah hadis yang terkenal mengenai dakwah menyebut kata ‘’baliho atau ballighu’’, yaitu “Ballighu anny walau ayatan“. Sampaikan apa yang kamu dapat dari saya (Muhammad SAW) meskipun hanya satu ayat.

Bagaimana proses ballighu menjadi baliho? Dalam tata bahasa Indonesia kita menjumpai amat banyak serapan dari bahasa Arab yang kemudian diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kursi, kitab, ilmu, nama-nama hari mulai dari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, semua diambil dari bahasa Arab.

Bahkan dua lembaga tinggi politik Indonesia memakai nama serapan dari bahasa Arab, “Dewan Perwakilan Rakyat”, ketiga kata berasal dari bahasa Arab. Juga “Majelis Permusyawaratan Rakyat”, tiga-tiganya diserap dari bahasa Arab.

Dalam perspektif komunikasi budaya serapan budaya asing maupun bahasa asing terjadi melalui proses asimilasi, kulturasi, maupun akulturasi.

Proses penyerapan itu sering terjadi perubahan bunyi atau ejaan karena menyesuaikan dengan lidah setempat. Karena itu “ballighu” bisa menjadi “baliho”.

Baliho adalah sarana periklanan luar ruang (outdoor advertising) yang sudah lama dipakai untuk melakukan komunikasi produk. Selain baliho, ada juga poster yang ukurannya lebih kecil, dan ada juga billboard yang berukuran lebih besar dengan struktur yang lebih permanen.

Baliho banyak ditempatkan di titik-titik strategis seperti perempatan jalan, tikungan jalan, atau di tempat tertentu yang mudah terlihat orang (eye catching).

Pesan atau message yang terpampang dalam baliho biasanya dibuat mencolok, dan mudah diingat, serta tidak berpanjang-panjang karena tingkat perhatian orang yang biasanya hanya beberapa detik saja. Foto yang dipasang di baliho dibikin besar dan mencolok, dan dengan pose yang dibuat semenarik mungkin.

Di musim politik baliho dianggap sebagai salah satu sarana promosi yang sangkil (efektif) untuk mengampanyekan calon yang terlibat kontestasi. Target market baliho sebenarnya lebih terbatas pada pangsa kelas menangah ke bawah, tapi efektifitasnya masih bisa diandalkan.

Sekarang ini bukan musim politik. Tidak ada pilkada, pemilu, atau pilpres.

Namun, di berbagai sudut kota besar bertebaran baliho berukuran besar berisi gambar-gambar tokoh-tokoh politik. Sebagian terang-terangan menjajakan diri untuk persiapan pilpres 2024.

Sebagian lainnya masih malu-malu untuk menjajakan diri. Ada yang berpose serius supaya dianggap berwibawa. Ada juga yang cengengesan supaya dianggap gaul dan akrab.

Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono, Giring Nidji adalah nama-nama yang wajahnya bertebaran di perempatan dan pengkolan jalan. Ada yang berwajah serius ada yang semringah, berusaha mencuri perhatian.

Baliho, billboard, spanduk, dan alat peraga kampanye luar ruangan lainnya adalah benda mati yang hanya bisa melakukan komunikasi satu arah.

Dalam pendekatan semiologi Barthez baliho adalah penanda (signifier) untuk mengungkapkan petanda (signified) dalam bentuk gambar atau kalimat.

Gambar dan kalimat ini bisa menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Ada tafsir denotasi dan konotasi. Denotasi adalah arti yang sesungguhnya, dan konotasi adalah arti yang berbeda dari arti sesungguhnya.

Apa yang tersurat bisa saja berbeda dengan apa yang tersirat. Gambar yang serius dimaksudkan supaya terlihat berwibawa.

Namun, konotasinya malah dianggap jaim. Foto yang tersenyum lebar dimaksudkan untuk memberi kesan akrab dan gaul. Bisa saja konotasinya dianggap cengengesan.

Baliho tidak menampilkan realitas yang sesungguhnya dari petanda. Yang ditampilkan adalah hiperrealitas, atau kenyataan yang tidak nyata atau berlebihan. Baudrillard menyebutnya sebagai simulacra, realitas khayalan atau pencitraan.

Realitas dikonstruksi berdasarkan citra-citra positif yang khusus. Muhaimin dikonstruksikan sebagai anak muda santri milenial, dengan penampilan yang gaul dan youthful. Ia mengendarai Vespa supaya dikonstruksikan gaul dan trendi.

Airlangga Hartarto dikonstruksikan sebagai pekerja keras yang bekerja untuk rakyat.

AHY dikonstruksikan sebagai sosok nasionalis religius, dengan gaya berwibawa warisan bapaknya. Puan Maharani dikonstruksikan sebagai ibu bangsa yang anggun dan berwibawa. Giring dikonstruksikan sebagai pemimpin representasi generasi milenial.

Persepsi publik berbeda-beda dalam mengintepretasikan sebuah message. Ada yang menganggap positif, tetapi ada pula yang menganggapnya negatif.

Di Surabaya, baliho Puan malah menjadi korban vandalisme. Tangan-tangan jail itu menuliskan kalimat kurang pantas, seperti ‘’Open BO’’. Ada juga yang mencoretkan ‘’PKI’’ dan juga ‘’Koruptor’’.

Reaksi negatif ini terjadi di Surabaya dan Blitar. Dua kota yang menjadi stronghold PDIP.

Hal ini tentu menjadi sinyal merah bagi PDIP. Di kandang banteng sendiri reaksi publik malah negatif terhadap Puan.

Penyebaran baliho Puan di kota-kota besar Jawa bisa konradiktif dan memunculkan konotasi negatif.

Pasalnya, Puan baru saja mengrkitik Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah, yang dianggap berambisi maju sebagai capres pada 2024.

Puan melalui Bambang Pacul, mengkritik Ganjar dan menyebutnya kemajon dan keminter. Kemajon karena terlalu maju, terlalu cepat bertindak, keminter karena dianggap sok tahu.

Puan menyindir Ganjar, karena lebih sibuk mengerek popularitas melalui medsos daripada menyelesaikan pekerjaannya sebagai gubernur.

Dalam terminologi Jawa, Ganjar disebut sebagai ‘’ngege mongso’’, bertindak sebelum waktunya tiba.

Namun, kali ini Puan malah ikut mengekor Ganjar. Meskipun tidak diakui, tetapi publik tahu bahwa Puan ingin mengejar popularitas dan elektabilitas Ganjar yang sudah terlebih dahulu melejit. Berbagai survei menempatkan Ganjar pada elektabilitas sampai 15 persen, sementara Puan tidak beranjak dari satu koma.

Puan dan para politisi itu justru sekarang yang dianggap nggege mongso. Tidak ada hujan dan angin tiba-tiba memasang baliho di mana-mana. Puan dan para politisi itu dicurigai publik mencuri start kampanye Pilpres 2024.

Pilpres masih tiga tahun lagi, tetapi para politisi itu sudah tidak bisa menyembunyikan syahwat politik untuk berebut kursi presiden.

Di tengah kondisi pagebluk Covid 19 yang masih memprihatinkan, para politisi itu gagal menunjukkan empati terhadap penderitaan rakyat.

Dalam filosofi Jawa yang sering dikutip Pak Harto, Puan dan para politisi itu ‘’rumongso biso’’ merasa mampu.

Padahal dalam kondisi prihatin seperti sekarang seharusnya mereka ‘’biso rumongso’’, bisa merasakan penderitaan rakyat.

Timing politik yang tidak tepat itu seperti hujan yang salah musim, atau hujan nggege mongso. Karena itu protes di medsos pun viral, ‘’Pandemi Belum Usai, 2024 Sudah Dimulai’’.

Puan, dan para politisi yang nggege mongso itu, akan direspons publik dengan sikap ‘’mongso bodo’’, alias terserah loe, emang gue pikirin. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler