jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengingatkan kepolisian agar transparan mengusut anggota Densus 88 Antiteror Polri Bripda IDF.
Konon Bripda IDF tewas tertembak oleh seniornya sesama anggota Densus 88 di Rusun Polri Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
BACA JUGA: Kasus Anggota Densus 88 Bripda IDF Tewas di Rusun Polri, Mahfud MD Berkata Begini
"Agar tidak mengulang kasus Duren Tiga (pembunuhan Brigadir J), Polri harus benar-benar transparan dalam mengungkap kasus tersebut (penembakan Bripda IDF),” kata Bambang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (27/7).
Dia menilai Polri harus membuka seterang-terangnya siapa yang melakukan penembakan, menggunakan senjata apa, kapan, dan di mana tempat kejadian perkaranya.
BACA JUGA: Hasil Autopsi Bripda IDF Tewas Tertembak Senpi Rekan Sendiri, Ini Fakta
"Sebaiknya melibatkan pihak-pihak eksternal untuk menjaga objektivitas dan transparansi,” lanjut Bambang.
Menurut dia, kasus kekerasan seperti tewasnya Bripda IDF akan terus terulang jika tidak ada revolusi mental di tubuh Polri.
BACA JUGA: Ditetapkan Sebagai Tersangka oleh KPK, Kepala Basarnas Merespons: Kan, Saya Militer
"Problemnya, revolusi mental itu tiak akan pernah ada bila selalu ada toleransi pada pelanggaran hukum oleh anggota,” ucapnya.
Dia lantas mengkritisi bahwa pernyataan Polri tidak akan memberikan toleransi kepada oknum pelanggar aturan atau perundangan yang berlaku menjadi klise dan sekadar retorika jika dalam kasus sebelumnya (pembunuhan Brigadir J), Polri menoleransi pelaku pembunuhan dengan tidak memberikan sanksi maksimal kepada pelaku.
"Publik memiliki logika sendiri yang tidak bisa diatur dengan retorika-retorika yang tidak masuk logika,” kata Bambang.
Oleh karena itu, Bambang menyarankan harus ada ada evaluasi terkait peran Densus 88 Antiteror Polri sebagai satuan “ad hoc” pemberantasan terorisme, mengingat Densus 88 bukan di bawah struktur Polri, dan bukan pula di bawah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Posisi ini riskan dan menjadi duplikasi peran satuan perlawanan teror (wanteror) yang juga sudah ada di Korbrimob dalam upaya penindakan dan BNPT sebagai lembaga pencegahan terorisme,” paparnya.
Bambang menyebut kasus kekerasan oleh oknum yang berulang ini selalu bisa dikaitkan dengan perilaku dan budaya organisasi.
"Sebuah negara hukum, akuntabilitas institusi sangat penting. Bila terjadi kasus kekerasan yang berulang seperti ini, kepada siapa negara harus memintai tanggung jawab tersebut?" ucap Bambang mempertanyakan.
Sebelumnya, Bripda IDF tewas setelah tertembak senjata api (senpi) milik seniornya Bripda IMS pada Minggu (23/7), pukul 02.50 WIB di Flat Rutan Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Peluru dari senjata api diduga milik Bripda IG menembus leher bagian belakang telinga Bripda IDF dari kanan ke kiri.
Akibatnya, anggota Polri asal Kalimantan Barat itu tewas setibanya di Rumah Sakit Kramat Jati Polri Jakarta.
Jenazah Bripda IDF telah dipulangkan ke kampung halamannya di Pontianak, Kalimantan Barat, dan dikebumikan pada Selasa (25/7).
Jubir Densus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar menyebut kasus penembakan Bripda IDF diusut secara ilmiah dan transparan baik dugaan pidana maupun kode etiknya.
“Kasus ini disidik secara 'scientific' dan transparan, baik yang pidana maupun kode etiknya,” kata Aswin.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam