Bamsoet dan LaNyalla Bicara Amendemen Konstitusi, Qodari Merespons Begini

Selasa, 13 Desember 2022 – 19:30 WIB
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari merespons pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti soal perlunya mempertimbangkan ulang pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang melalui amendemen konstitusi.

Menurut Qodari, masyarakat tidak perlu mempersoalkan pernyataan itu. Sebab hal itu wajar mengingat baik Bamsoet maupun Pal LaNyalla, keduanya ada dalam institusi yang memang diberikan wewenang untuk melakukan perubahan konstitusi.

BACA JUGA: Amendemen Konstitusi Jadi Solusi Selamatkan Indonesia

“Pak LaNyalla dan Pak Bamsoet berada di dalam institusi yang memang diberikan wewenang untuk melakukan perubahan konstitusi itu. Semua pembicaraan menurut saya, harus dikembalikan kepada aturan yang ada dan siapa yang berbicara,” ujar Qodari pada acara diskusi di salah satu televisi swasta nasional pada Selasa (13/12/2022) malam.

Lebih lanjut, Qodari mengatakan ada dua cara yang bisa diambil dalam rangka mengubah konstitusi, yakni amendemen dan dekrit presiden.

BACA JUGA: Begini Penjelasan Bamsoet Soal Pernyataannya terkait Penundaan Pemilu

Dari dua cara itu, Qodari lebih memilih amendemen daripada dekrit. Sebab, dekrit pernah terjadi di masa Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur.

Saat itu, Gus Dur pernah mengeluarkan dekrit presiden dan pada akhirnya menimbulkan angin panas serta ketidakpastian politik.

BACA JUGA: DPD Menggandeng UI Mengkaji Ulang Konstitusi RI

“Saya sebut itu angin panas karena berisiko. Kita punya pengalaman bahwa seorang yang bernama Gus Dur misalnya, begitu mengeluarkan dekrit menimbulkan ketidakpastian politik,” ungkap Qodari.

Menurut Qodari, Ketua MPR RI dan DPD RI berhak berbicara terkait perubahan konstitusi sesuai dengan kewenangannya. MPR dapat melakukan evaluasi dan perubahan terhadap UUD sesuai dengan kebutuhan zaman.

“Mereka berhak bicara, bahkan lebih dari berhak untuk menyampaikan apa yang mereka sampaikan. Bayangkan pernyataan seperti ini disampaikan oleh Amien Rais misalnya, atau anggota DPD RI atau MPR RI pada tahun 1998-1999, ketika mereka sedang menyiapkan perubahan konstitusi. Apakah semua orang setuju dengan rencana perubahan yang akan mereka lakukan? Tidak,” ujar Qodari.

Sampai hari ini, kata Qodari, banyak yang tidak setuju seperti eks Wapres Try Sutrisno dan para Purnawirawan TNI.

"Pak Try Sutrisno dan sejumlah purnawirawan TNI enggak setuju dengan perubahan yang terjadi saat itu,” ujar Qodari.

Qodari menyampaikan pasal-pasal yang terdapat dalam UUD dapat diubah sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945 yang secara umum membahas tentang perubahan UUD, kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara.

"Yang tidak boleh diamendemen itu hanya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berarti itu semua bisa diubah menyesuaikan pemikiran yang berkembang saat itu. Jangan lupa bahwa konstitusi itu adalah cermin dari suatu zaman dan kondisi,” ujar Qodari.

Inisiator gerakan Komunitas Jokowi Prabowo 2024 (Jokpro 2024) menegaskan dirinya mendorong terjadinya perubahan konstitusi lewat jalur am´ndemen, untuk memuluskan jalan Presiden Jokowi menjabat selama 3 periode didampingi Prabowo Subianto sebagai wakilnya.

Qodari menjelaskan salah satu alasan perlunya mengamendemen UUD 1945 tak lepas dari stabilitas politik di 2024 yang berpotensi terjadinya polarisasi ekstrem di tengah masyarakat. Saat itu, kelompok politik identitas akan memainkan hal tersebut untuk menimbulkan kekacauan.

Qodari mengaku pernah berkali-kali mengatakan saat ini kita berhadapan dengan situasi khusus di mana pada tahun 2024 yang akan datang itu akan terjadi polarisasi ekstrem.

“Kelompok identitas akan menggunakan pemilu agar mereka kembali dalam arena pusat pemerintahan untuk eksistensi mereka, dan itu akan menggunakan stempel calon Islam kepada siapa pun calon yang akan maju nanti,” ungkapnya.

Qodari melihat tren yang terjadi baik 2014, 2017 saat Pilkada Jakarta, kemudian 2019 dan kemudian di media sosial peristiwa kekerasan yang terjadi, misalnya Ade Armando. Hal itu mengarah kepada satu titik di mana Pemilu 2024 bisa menjadi pemilu yang berdarah-darah.

Sebagai solusinya, Qodari mendorong Jokowi tiga periode. Sebab, pada hari ini ia melihat dari analisis situasi politik yang ada, Jokowi bisa menjadi titik temu untuk semua kandidat melawan kotak kosong.

"Pilpres tetap ada, tetapi calon tunggal berhadapan dengan kotak kosong. Pada hari ini saya lihat yang bisa menjadi titik temu semua kandidat tersebut adalah Jokowi melawan kotak kosong, karena kotak kosong tidak akan ditempel Islam,” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Sultan B Nadjamuddin memastikan wacana amendemen UUD 1945 atau perpanjangan masa jabatan presiden yang disampaikan oleh Ketua DPD RI LaNyalla Matalitti bukanlah sesuatu yang buruk.

Pernyataan LaNyalla terkait dengan amendemen UUD 1945 ini ditafsirkan sebagai sikap lembaga DPD RI mendukung perpanjangan masa periode Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Namun, pernyataan tersebut bersifat pribadi Ketua DPD RI dan hal tersebut wajar sebagai wakil rakyat daerah.

“Terkait dengan yang tadi disampaikan bahwa ada pernyataan yang memang sensitif, kemudian menjadi pokok bahasan yang sangat luas beberapa minggu, ini momentum bagi saya sampaikan bahwa penundaan Pemilu itu sama sekali bukan dari lembaga. Kami belum pernah membahas. Jadi, itu lebih kepada segmen wacana pribadinya ketua (LaNyalla),” kata Sutan B. Najamuddin.

Meski begitu, Sultan mengakui ada ide dari DPD RI untuk mengkaji ulang konstitusi negara, yakni kembali pada UUD 1945 tetapi wacana tersebut belum dilaksanakan oleh lembaga.

“Jadi, isu yang berkembang di publik terkait dengan perpanjangan masa jabatan presiden lebih pada pendapat pribadi LaNyalla Matalitti.

“Ada ide atau gagasan lembaga untuk mengkaji ulang konsitusi. Terakhir, kami mendiskusikan untuk melihat kemungkinan apakah kembali ke UUD 1945 dan wacananya itu ada, tetapi masih jauh dari pengambilan keputusan, artinya bukan sebuah putusan lembaga,” ujarnya.

Menurut senator asal Bengkulu itu, mengkaji ulang konstitusi oleh DPD RI masih bersifat wacana karena sistem pengambilan keputusan di DPD RI sangat panjang.

Namun, Sultan memastikan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden atau amendemen UUD 1945 oleh LaNyalla bukan sesuatu yang buruk, karena Indonesia adalah negara penganut demokrasi.

“Itu masih sifatnya wacana, kalau memang proses pengambilan keputusan di lembaga itu berjenjang, dan memang tidak begitu gampang kalau wacana mengembalikan ke UUD 1945.

“Menurut kami bukan sesuatu yang buruk, bukan sesuatu yang justru harus ditafsirkan sebagai sesuatu tidak perlu dibahas ya,” ucapnya.

“Toh ini juga demokrasi, semua punya hak, malah kita senang makin banyak diskusi makin banyak ide dan gagasan. Itu namanya demokrasi,” ujar Sultan.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler