jpnn.com, BANJARNEGARA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau akrab disapa Bamsoet mengingatkan kader Partai Golkar di Banjarnegara soal bahaya demokrasi transaksional.
Hal itu disampaikan Bamsoet saat menyampaikan sosialisasi Empat Pilar MPR di DPD Partai Golkar Banjarnegara, Selasa (23/5).
BACA JUGA: Soal Koalisi, Bamsoet Sampaikan Pesan Begini kepada Kader Golkar
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menyampaikan sistem Pemilu dengan sistem terbuka telah mendorong lahirnya demokrasi transaksional.
Akibatnya, persaingan para calon legislatif (caleg) banyak didominasi oleh kekuatan finansial.
BACA JUGA: Resmikan Masjid Harfin Baitus Salam, Bamsoet Singgung Kemerosotan Moral Generasi Muda
Sementara itu, pemilih tidak lagi mengutamakan kualitas dan kapabilitas para caleg.
Mereka sibuk menghitung uang yang diterima dari para caleg sehingga muncul istilah nomer piro wani piro (NPWP).
"Maraknya politik transaksional mengikis idealisme dan komitmen politik sebagai sarana perjuangan mewujudkan aspirasi rakyat," ungkap Bamsoet.
Menurut Bamsoet, model transisi demokrasi ini tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi.
"Berkembangnya kecenderungan politik identitas dan sentimen primordial dalam kontestasi Pemilu merupakan ancaman bagi masa depan demokrasi dan kebhinekaan bangsa," tegasnya.
Ketua ke-20 DPR itu mengungkapkan dari tiga kali Pemilu dengan sistem terbuka, politik transaksional sangat luar biasa sehingga hal itu merusak dan mendorong meningkatnya korupsi di tanah air.
Pasalnya, untuk mendapatkan kursi legislatif, caleg harus mengeluarkan uang hingga miliaran, di antaranya untuk biaya kampanye atau biaya saksi.
"Yang menjadi pertanyaaan adalah uang itu berasal dari mana dan bagaimana bisa mengembalikan. Ini pertanyaaan sederhana dan mudah, apakah begitu banyak orang merelakan uangnya dihamburkan, lalu bekerja untuk rakyat meski uang tidak kembali? Saya tidak yakin,” papar Bamsoet.
Di tengah kenyataan tersebut, lanjut Bamsoet wajar apabila ada sebagian pihak menilai demokrasi Indonesia di era reformasi justru sedang mengalami stagnasi.
Demokrasi hanya memanjakan para elit politik sehingga rakyat belum merasakan dampak dari demokrasi secara signifikan, terutama terhadap kesejahteraan dan kemakmurannya.
"Berdasarkan kenyataan tersebut, secara umum pascareformasi, demokrasi tidak bertambah baik. Hal ini dikarenakan demokrasi yang berkembang cenderung liberal, karena tidak diikuti oleh penegakan hukum yang kuat," ungkap Bamsoet.
Menurutnya, bangsa ini sudah terjebak pada demokrasi angka-angka.
"Angka transaksi bukan lagi aspirasi. Kedaulatan rakyat berkembang tidak sejalan dengan kedaulatan hukum," tandas Bamsoet.
Waketum Pemuda Pancasila itu menegaskan tugas pokok lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, tidaklah sama.
Masing-masing cabang kekuasaan itu memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Lembaga eksekutif atau pemerintah, bertugas menjalankan roda kekuasaan, mulai dari tingkat pusat yaitu presiden, provinsi oleh gubernur hingga kabupaten/kota.
Sementara, lembaga yudikatif memegang kewenangan di bidang hukum, sedangkan lembaga legislatif memiliki tupoksi pengawasan, pembuatan UU dan anggaran.
Karena itu, tidak pada tempatnya bila anggota dewan mencari-cari anggaran menggunakan relasinya ditingkat pusat.
Anggota dewan juga tidak semestinya mencari-cari proyek, sekalipun dengan dalih dibutuhkan oleh dapilnya.
Sebab, yang memiliki tupoksi mencari anggaran dan proyek pembangunan adalah eksekutif, yaitu presiden, gubernur maupun bupati dan walikota bagi daerah tingkat dua.
"Anggota dewan yang mencari proyek dan anggaran, malah bisa berurusan dengan pihak berwajib," tegas Bamsoet mengingatkan.
Menurut Bamsoet, lebih baik anggota dewan tetap dengan tupoksinya, menyusun anggaran dan peraturan bersama eksekutif, mengawasi serta mendorong agar anggaran yang tersedia digunakan secara baik dan benar.
"Jangan melompat, karena bisa mengundang masalah hukum. Jangan ikuti penetapan pembangunan jembatan padahal jembatannya masih baik. Atau melakukan pengaspalan, tetapi jalannya masih mulus," ujar Bamsoet.
Bamsoet juga mengingatkan tantangan serius bangsa-bangsa adalah ancaman krisis dan hegemoni ekonomi-politik global.
Di satu sisi, bangsa ini dihadapkan pada ancaman krisis ekonomi-politik global.
Di sisi lain, hegemoni ekonomi politik oleh negara- negara juga menjadi ancaman tersendiri, khususnya bagi negara seperti Indonesia.
"Dengan kekayaan sumber daya yang kita miliki, letak geografis yang strategis menempatkan kita sebagai 'center of gravity' dan sekaligus menjadikan kita dalam posisi rentan terhadap pengaruh dan infiltrasi asing, serta ancaman keamanan maritim," pungkas Bamsoet.
Hadir dalam kegiatan tersebut, Pj Bupati Banjarnegara Tri Harso Widirahmanto, Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Banjarnegara Agus Junaidi, anggota Fraksi DPRD, para caleg.
Selain itu juga hadir ketua-ketua pengurus kecamatan, pengurus serta kader Partai Golkar Kabupaten Banjarnegara, unsur pemerintah daerah, kepolisian dan kejaksaan Banjarnegara. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi