jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan para pendidik (guru) dan peserta didik (generasi muda), bahwa pola kerja secara global telah berubah drastis.
Hal itu terjadi karena gelombang besar yang mengakibatkan gangguan baru (a new wave of disruption) yang saat ini melanda dunia. Bisa dilihat dari proses relokasi industri dari Eropa dan Amerika menuju Asia (Indonesia, Vietnam, Thailand, Pakistan, India dan lain-lain) dan Amerika Latin (diwakili Brazil) yang telah dimulai sejak tahun 1970-an.
BACA JUGA: MPR RI Menjadi Sangat Strategis, Apalagi Kalau Ada Amendemen UUD 1945
"Dampak relokasi industri adalah aplikasi otomatisasi yang intensif dan masif yang mengubah persyaratan pekerjaan yang bersifat digital. Sumber daya manusia yang tidak menguasai literasi digital, cepat atau lambat akan tersingkir. Globalisasi yang ditopang dengan lompatan kemajuan di bidang teknologi informasi, komunikasi, dan tranportasi terus mengalami pendalaman yang semakin dipermudah oleh revolusi industri 4.0," ujar Bamsoet saat menjadi Keynote Speaker Seminar Kebangsaan 'Penguatan Vokasi yang Unggul, Berdaya Saing, dan Berwawasan Kebangsaan', di Gedung Nusantara V MPR RI, Jakarta, Rabu (20/11).
Seminar yang diadakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jakarta Utara, Institut STIAMI, Yayasan Hangtuah dan didukung MPR RI ini dihadiri 405 peserta yang terdiri dari para guru Taman Kanak-Kanak, kepala sekolah dan guru SD, SMP, SMA se-Jakarta, dosen dan mahasiswa. Turut hadir menjadi narasumber antara lain, Ketua PGRI Jakarta Utara Dr. Supriyatin, Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko, Wakil Rektor III Institut STIAMI Dr. Agus Cholik, dan Ketua STIE Indoensia Jakarta Drs. Ridwan Maronrong, serta Ketua Umum Yayasan Hangtuah Laksamana Muda TNI (purn) Amri Husaini.
BACA JUGA: Ketua MPR RI: Kasus Desa Fiktif Harus Diusut Tuntas
Bamsoet menjelaskan, salah satu dampak Revolusi Industri 4.0 adalah terbentuknya pasar hiperkompetitif yang menuntut kreativitas dan inovasi, menguras sumber daya keuangan, dan dapat mengucilkan sumber daya manusia dari lingkungan industri karena alasan efisiensi. Tantangan baru dunia kerja di era Revolusi Industri 4.0 adalah integrasi pemanfaatan internet dengan lini produksi yang memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informasi.
"Karakteristik Revolusi Industri 4.0 ini meliputi digitalisasi, optimalisasi dan customisasi produksi, otomasi dan adapsi, interaksi antara mesin dan manusia, nilai tambah jasa dan bisnis, automatic data exchange and communication, dan penggunaan teknologi internet. Tantangan tersebut, harus dapat diantisipasi melalui transformasi pasar kerja Indonesia dengan mempertimbangkan perubahan iklim bisnis dan industri," jelas Bamsoet.
BACA JUGA: Suhendra Dorong MPR Mengamendemen Pasal 7 UUD 1945
Oleh karena itu, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini mendorong dunia pendidikan dan dunia industri harus dapat mengembangkan industrial transformation strategy. Salah satunya dengan mempertimbangkan perkembangan sektor ketenagakerjaan karena transformasi industri akan berhasil dengan adanya tenaga kerja yang kompeten.
"Di sinilah kita merasakan betapa pentingnya menyelenggarakan pendidikan vokasi dan profesi dalam rangka menghasilkan lulusan yang mampu bekerja atau berusaha secara produktif. Pendidikan vokasi dan profesi menawarkan program-program pendidikan dan pelatihan jenis jenis kecakapan atau keahlian yang dibutuhkan oleh angkatan kerja melalui berbagai jalur pendidikan," kata Bamsoet.
Dalam kaitan itulah, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini berpandangan, keberhasilan pendidikan vokasi dan profesi jangan sekali-kali diukur dari perspektif penyedia layanan pendidikan (supply driven) seperti banyaknya lulusan penerima ijazah, banyaknya penerima sertifikat, tingginya nilai ujian, atau sejenisnya. Keberhasilan pendidikan vokasi dan profesi harus diukur berdasarkan perspektif penerima kerja. Misalnya, serapan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, peningkatan penghasilan, kepuasan stake-holder, dan sejenisnya.
"Pendidikan yang berorientasi terhadap kebutuhan dapat diwujudkan dengan mengembangkan mekanisme koordinasi sistemik antara penyedia pendidikan, pemerintah, para pemegang kebijakan perekonomian, lembaga sertifikasi profesi terkait, dan para penerima kerja sebagai pengguna. Jika perubahan orientasi ini dapat dilakukan, maka saya tidak akan mendengar lagi anomali bahwa pendidikan vokasi dan profesi malah cenderung lebih menghasilkan pengangguran dibanding mengatasi pengangguran," pungkas Bamsoet. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi