Bamsoet Menyoroti Persoalan Pertahanan Siber Indonesia di Era Digitalisasi

Rabu, 20 April 2022 – 12:39 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo berharap BSSN membuat program mitigasi untuk memperkecil risiko serangan siber. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyatakan, pemerintah harus bersungguh-sungguh meningkatkan pertahanan siber untuk menghadapi perubahan zaman.

Perkembangan dunia digital pada semua aspek kehidupan menghadirkan beragam ancaman.

BACA JUGA: Bamsoet Sambut Langkah Investor Asing Ini, Apa yang Akan Dilakukannya?

"Sehingga keamanan dan mitigasi risiko harus diprioritaskan," ungkap pria yang akrab disapa Bamsoet ini.

Ketua umum IMI ini menuturkan, pertahanan serta keamanan siber yang tangguh mencerminkan kredibilitas negara.

BACA JUGA: Alamak, Dunia di Ambang Kelesuan Ekonomi, Bamsoet Punya Solusinya, nih

"Karena itu, pemerintah didorong untuk memberi perhatian lebih dan bersungguh-sungguh pada aspek pertahanan siber," ucapnya.

Sebagai bagian dari ketahanan nasional, pertahanan siber pada era terkini dan di masa depan harus disikapi dengan sangat serius.

BACA JUGA: Bamsoet Apresiasi Aksi P3AU Berkolaborasi dengan TNI AU & FKPPI Adakan Vaksin Booster

Sebab, ada ancaman atau risiko serangan siber di sepanjang era digitalisasi.

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengungkapkan, sepanjang 2021, ada 1,6 miliar anomali trafik atau serangan siber di berbagai wilayah Indonesia.

Dari jumlah serangan itu, tercatat ribuan potensi serangan siber yang ditujukan kepada Istana Negara, termasuk Presiden Jokowi.

Tak hanya serangan siber melalui malware, BSSN mendeteksi anomali sinyal elektromagnetik yang berasal dari sekitar lokasi Istana Negara.

Belum lama ini, Kementerian Dalam Negeri mengakui, hampir 200 juta data kependudukan terancam hilang.

Potensi hilangnya ratusan juta data kependudukan itu disebabkan perangkat keras milik Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sudah usang.

Bamsoet menjelaskan, Ditjen Dukcapil belum bisa melakukan peremajaan dan penambahan perangkat karena belum tersedia anggaran.

Pada Desember 2021, publik dikejutkan oleh informasi tentang peretasan data Bank Indonesia cabang Bengkulu. 

"Bersyukur bahwa data yang diretas oleh kelompok ransomware Conti itu tidak menyangkut data kritikal," ungkapnya.

Namun, publik mencatat bahwa kasus peretasan data Bank Indonesia oleh hacker menambah panjang daftar pembobolan data pada institusi negara.

Beberapa contoh kasus ini layak dikedepankan untuk memberi gambaran tentang kekuatan dan kelemahan pada aspek pertahanan siber nasional.

Data tentang kontinuitas serangan siber dua tahun terakhir patut digarisbawahi.

Pada 2020, terjadi 495 juta serangan siber. Pada 2021, sebagaimana data yang diungkap BSSN, terjadi lonjakan karena ada 1,6 miliar serangan siber ke dalam negeri.

Karena itu, keamanan siber yang tangguh harus terus dibangun untuk melindungi institusi besar dan sangat strategis seperti Istana Negara, presiden, serta bank sentral.

Para ahli mengingatkan bahwa serangan siber yang sulit dibendung akan terus menciptakan ancaman.

Sebab, pelaku serangan makin inovatif. Pertahanan dan keamanan siber yang efektif menjadi kebutuhan mutlak guna melindungi negara dan rakyat.

BSSN dalam hal ini harus terus diperkuat dari waktu ke waktu.

Kebutuhan akan UU Keamanan dan Ketahanan Siber Nasional sejalan dengan amanat Presiden Jokowi dalam sidang tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2019.

Saat itu, presiden menegaskan bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi ancaman kejahatan siber dan penyalahgunaan data.

Aspek lain yang tidak kalah strategisnya adalah menjaga konsistensi kegiatan mitigasi risiko atau ancaman serangan siber.

Mitigasi ancaman siber hendaknya diprioritaskan guna memperkecil peluang serangan siber terhadap semua institusi negara maupun daerah.

BSSN diharapkan memunculkan program mitigasi untuk memperkecil risiko serangan siber.

Dalam konteks memelihara keamanan dan pertahanan siber, diperlukan penguatan fondasi pada empat aspek.

Pertama, semua kerentanan yang dapat meningkatkan ancaman atau bahaya di bidang siber harus dapat dideteksi dan diidentifikasi.

Kedua, semua aset penting yang berkait dengan kepentingan masyarakat harus dapat dilindungi atau dibentengi dari kemungkinan sabotase, serangan, atau upaya lain untuk menghancurkan atau merusak.

Ketiga, peretasan, serangan, atau upaya lain yang sedang berlangsung harus dapat ditanggulangi secepatnya.

Keempat, semua komponen dalam penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber yang meliputi sumber daya manusia, perangkat teknis, dan perangkat nonteknis harus dikendalikan agar tidak menambah besar kerentanan. (mrk/jpnn)


Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler