jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menjadi inspektur upacara saat prosesi serah terima jenazah tokoh pers nasional Jakob Oetama.
Jenazah pendiri Grup Kompas Gramedia itu diserahkan putra sulungnya Irwan Oetama kepada Bamsoet selaku Ketua MPR RI mewakili negara di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta Barat pada Kamis (10/9), untuk selanjutnya akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
BACA JUGA: Bamsoet: Jakob Oetama Sosok Guru dan Ayah Ideologis
Jakob Oetama lahir di Magelang, Borobudur pada 27 September 1931 dan wafat pada usia 88 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading pada Rabu (9/9). Kecintaannya terhadap Indonesia tak perlu diragukan, bisa dilihat dari rekam jejaknya sebagai jurnalis, budayawan, sekaligus pejuang demokrasi. Hingga akhirnya mengantarkan dirinya meraih penghargaan Bintang Mahaputera dari pemerintah Indonesia pada tahun 1973.
"Terlalu banyak testimoni yang bisa diberikan tentang kehebatan Pak Jakob Oetama di bidang jurnalis, budayawan, dan demokrasi. Namun tak banyak yang mengulas sosoknya sebagai manusia yang rendah hati, peduli terhadap sesama, dan yang terpenting caranya memperlakukan para wartawan dan karyawannya dengan sangat baik," kata Bamsoet usai melepas jenazah Jakob Oetama.
BACA JUGA: Sosialisasi 4 Pilar di Indramayu, Syarief Hasan: MPR Mendengar Aspirasi Rakyat
"Tak heran jika di bawah kepemimpinannya, Kompas tak sekadar menjadi koran biasa. Melainkan berkembang biak menjadi imperium Kompas Gramedia Group yang memiliki gedung setinggi 223 meter dengan 53 lantai terletak di jantung Ibu Kota Jakarta," lanjut ketua MPR yang pernah jadi wartawan ini.
Ketua ke-20 DPR RI ini menceritakan saat mulai berkarir menjadi wartawan di periode 1985-an, dia banyak mendengar cerita tentang kehebatan sentuhan hati Jakob Oetama kepada para jurnalisnya. Sang tokoh bahkan tak segan untuk menelepon langsung wartawannya yang bertugas di lapangan guna mengapresiasi berita yang mereka tulis.
BACA JUGA: HNW: Seharusnya Menag Hentikan Sertifikasi Penceramah!
Begitu juga tepukan bahu saat bertemu serta menyapa para wartawannya dengan nama sapaan mereka, merupakan cerita lain yang menggambarkan betapa cara Jakob Oetama memimpin dengan hati.
"Tak heran jika banyak orang bukan hanya para wartawan dan karyawannya, namun juga yang pernah bergaul dengan dirinya termasuk saya, menganggap Pak Jakob Oetama sebagai ayah ideologis. Sebagai orang tua yang bijaksana, penuh welas asih dengan kharisma kepemimpinan yang kuat," ungkap Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, di dunia jurnalistik Jakob Oetama juga bukan tipikal sosok yang 'keras kepala'. Sempat dilarang terbit oleh pemerintahan Orde Baru pada 21 Januari 1978, Kompas akhirnya bisa terbit kembali setelah penandatanganan surat permintaan maaf dan pernyataan kesetiaan kepada pemerintah Orde Baru dengan kop surat tertanggal 28 Januari 1978. Hal itu menandakan bahwa terkadang kompromi perlu dilakukan demi tercapainya tujuan.
"Berkat pemikiran Pak Jakob, Kompas dan dunia jurnalistik Indonesia dikenalkan prinsip baru, dari Jurnalisme Fakta ke Jurnalisme Makna. Prinsip tersebut pada intinya mengajarkan para jurnalis tak sekadar membuat berita sesuai fakta, melainkan juga menghadirkan makna dari fakta peristiwa yang terjadi," tutur Bamsoet.
"Pak Jakob mengajarkan, media seyogianya menjadi batu penjuru, tempat masyarakat mendapat kepastian. Media harus memberi jawab, menjelaskan duduknya perkara. Dengan begitu pembaca mendapatkan pencerahan. Selamat jalan Pak Jakop. Semangat dan idealismemu tetap di hati kami," pungkas Bamsoet.(jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam