jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan kepada seluruh pengguna harus bijak ketika bermain media sosial.
Menurut dia, media sosial bukan lagi sekadar hiburan. Melainkan menjadi identitas yang harus diketahui dengan pasti siapa pemiliknya.
BACA JUGA: Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Investasi Bersifat Indonesia Sentris
Hal itu diungkapkan pria yang akrab disapa Bamsoet saat menerima Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI), di Jakarta, Senin (6/12).
Dia mengatakan pemerintah harus mengkaji lebih dalam mengenai perlunya penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat untuk membuka akun di media sosial.
BACA JUGA: Bamsoet: Menteri Keuangan Sri Mulyani Tidak Menghargai MPRÂ
Sebagaimana penggunaan NIK KTP yang telah diterapkan pemerintah, untuk melakukan pendaftaran sim card telepon yang cukup berhasil menekan penyalahgunaan kartu prabayar.
"Jangan sampai seseorang bisa membuat ratusan akun secara bebas, yang tidak diketahui secara pasti siapa pemilik dan identitasnya. Sehingga dengan mudah digunakan untuk melakukan berbagai tindakan yang tidak bertanggungjawab," kata Bamsoet.
BACA JUGA: Ternyata Ini Alasan Uus Blokir Akun Medsos Aldi Taher, Mengejutkan
"Seperti melakukan tindakan intoleransi, penyebaran paham radikalisme dan ekstrimisme, hingga menyebarkan hoax dan hate speech," sambung Bamsoet.
Pengurus HIKMAHBUDHI yang hadir antara lain Ketua Umum Wiryawan, Sekretaris Jenderal Ravindra, Ketua Bidang Pengembangan Wilayah Villy, dan Anggota Bidang Perempuan Metta. Hadir pula penggiat media sosial Wirang Birawa.
Pria yang menjabat sebagai Ketua IMI itu menjelaskan Litbang Kompas dalam survey yang dilakukan pada 17-19 Mei 2021 melalui telepon terhadap responden usia 17-34 tahun.
Mereka melaporkan media sosial seperti Instagram, WhatsApp, Twitter dan lainnya menjadi sarana yang paling besar dalam melancarkan intoleransi, yakni sebesar 51,9 persen.
Disusul lingkungan sekitar seperti rumah, sekolah, dan kantor sebanyak 20,7 persen. Serta media arus utama seperti TV, koran, majalah, dan lainnya sebanyak 15,7 persen.
"Sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2020 melaporkan potensi Gen-Z (rentang usia 14-19 tahun) terpapar radikalisme mencapai 12,7 persen," ungkapnya.
Sementara generasi milenial (berumur 20-39 tahun) mencapai 12,4 persen. Gen-Z dan milenial menjadi sasaran empuk lantaran mereka sangat aktif mengakses internet dan pengguna aktif berbagai platform media sosial.
Bamsoet menambahkan hasil riset Digital Civility Index 2021 menyebutkan etika dan tingkat keadaban warganet di Indonesia semakin rendah.
Indonesia berada di peringkat ke-29 dari 32 negara yang di survei.
Faktor yang memperburuk skor Digital Civility Index Indonesia merupakan berita bohong (hoax) dan penipuan di internet sebesar 47 persen, ujaran kebencian sebesar 27 persen, dan diskriminasi 13 persen.
"Indonesia patut belajar dari kondisi negara-negara di Timur Tengah yang banyak mengalami gejolak lantaran terprovokasi dari hasutan kebencian tidak bertanggungjawab yang disebarkan melalui media sosial," kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menegaskan Indonesia tidak boleh hancur hanya karena penggunaan media sosial yang tidak bertanggungjawab dan bersumber dari akun anonim maupun buzzer yang tidak bisa dipastikan siapa identitas penyebar beritanya.
Karena itu agar tidak menjadi senjata liar, setiap pengguna media sosial harus dipastikan memiliki identitas yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan jika seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Penggunaan NIK KTP sebagai syarat registrasi pembuatan media sosial merupakan salah satu alternatif yang harus dikaji mendalam. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan informasi bisa menjadi leading sectornya," pungkas Bamsoet. (mrk/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... MPR Ajak Sahabat Kebangsaan Melawan Hoaks dan Bangun Optimisme Lewat Medsos
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian