jpnn.com - TANGERANG - Terdakwa narkoba Simon Ikechukwu Ezeaputa alias Nick, 30, Rabu lalu (1/4) divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang.
Nick dinyatakan bersalah karena mengendalikan pengedaran narkoba dari jeruji besi penjara. Padahal, sebelumnya warga Nigeria itu divonis 20 tahun penjara karena menyelundupkan heroin ke Indonesia.
BACA JUGA: Begini Risiko Pilih Presiden Belum Cukup Umur
Putusan sidang Simon ditunda hingga dua kali. Saat pembacaan vonis tersebut, jadwal sidang sempat molor dari seharusnya pukul 13.00 menjadi 17.33. Sidang dipimpin Crosbin Gaol dengan Thamrin Tarigan dan I Gede Suardana sebagai anggota.
BACA JUGA: NU Bantah Ada Mahasiswa asal Indramayu Hilang Kontak di Yaman
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa Simon secara meyakinkan telah bekerja sama mendatangkan narkoba ke Indonesia dari balik penjara. Simon berkomunikasi dengan John yang kini masuk daftar pencarian orang (DPO) untuk membawa sabu-sabu (SS).
Menurut majelis hakim, Simon terbukti bersalah atas dakwaan primer kesatu pasal 114 ayat (2) jo pasal 132 ayat (1) Undang-Undang (UU) RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Maka, dakwaan kedua dan lebih subsider tidak perlu dipertimbangkan lagi. ”PN Tangerang yang memeriksa dan mengadili menjatuhi terdakwa Simon dengan hukuman pidana mati,” kata Crosbin, ketua majelis hakim, dalam putusannya.
BACA JUGA: Hasil KNKT Belum Tuntas, AirAsia Belum Boleh Layani Surabaya-Singapura
Sebelum memberikan putusan mati, majelis hakim memaparkan hal-hal yang memberatkan terdakwa Simon. Menurut hakim, terdakwa sedang menjalani hukuman 20 tahun karena kepemilikan heroin. Sebagai warga binaan, seharusnya terdakwa merenungkan perbuatannya, tetapi malah berperan terhadap masuknya narkoba ke Indonesia.
”Sebagai warga binaan, terdakwa masih melakukan perbuatannya. Apabila tetap berada di tahanan, akan bertambah pula korban-korban yang lain. Perbuatan terdakwa juga meresahkan masyarakat, mengorbankan orang lain. Tidak ada hal yang meringankan terdakwa,” paparnya.
Mendengar putusan tersebut, Simon hanya bisa terdiam dan tanpa ekspresi. Saat hukuman pidana mati dibacakan, Simon juga tidak banyak menggerakkan tubuh. Wajahnya terlihat datar dan tidak tampak rasa penyesalan. Simon yang dibantu penerjemah berkonsultasi dengan kuasa hukumnya. Akhirnya dia hanya menyatakan pikir-pikir menerima putusan tersebut.
Saat membacakan vonis, Thamrin Tarigan menjelaskan bahwa penangkapan Simon bermula dari terbongkarnya pengiriman paket SS oleh petugas di gudang PT Pos bernama Darmawan Budianto. Satu paket ekspedisi EMS dengan pengirim data ekspres unit C dikirim ke Emmy Romauli dengan alamat kos Griya Farsha kamar nomor 5, Jalan Mangga V/12 RT 002 RW 006, Utan Kayu Utara, Jakarta Timur.
Kiriman itu berupa beberapa potong baju dan pakaian dalam, sepatu, sebuah pajangan jam kalender berbentuk Menara Eiffel, serta sebuah pajangan jam kalender berbentuk mobil mainan. ”Ternyata, di bagian roda dalamnya, ada sebungkus plastik bubuk putih yang dipastikan sebagai sabu-sabu,” ujar Thamrin.
Selanjutnya, saksi Darmawan menghubungi Polres Bandara Soekarno-Hatta untuk mengusut lebih lanjut penyelundupan SS via paket pos itu. Saat polisi membuka bungkusan tersebut, ternyata ada 350 gram SS. Polisi pun menangkap Emmy pada 29 April 2014 sekitar pukul 14.00 di Jalan Kemuning, Utan Kayu, Jakarta Timur.
Emmy mengaku berkenalan dengan John dari internet pada 21 Maret tahun lalu. Dari perbincangan itu, mereka menjalin komunikasi melalui BB. John mengatakan ingin memberikan hadiah ulang tahun kepada Emmy berupa baju, celana panjang, dan sepatu. Ternyata, saat mengirimkan barang, John yang mengaku berkewarganegaraan Afrika yang tinggal di Tiongkok menambahkan pemberiannya dengan dua mobil-mobilan yang rodanya telah diisi SS.
Ketika Emmy menanyakan mengapa dikirimi hadiah mobil-mobilan, padahal anaknya perempuan, John mengatakan bahwa itu bukan hadiah untuknya. Barang tersebut akan diambil Andre yang belakangan mengaku disuruh Simon mengambil SS itu.
Pada 29 April Emmy menerima telepon dari orang yang akan mengantarkan paket. Setelah tanda tangan tanda terima, Emmy langsung ditangkap beberapa orang yang mengaku anggota polres dan dibawa bersama paket. Saksi Emmy ditahan dan kemudian John menghubungi telepon selulernya lagi.
”Saat ditelepon, Emmy bertanya kenapa mengirimkan mobil-mobilan. Padahal, anaknya perempuan, bukan laki-laki. John menjawab itu bukan buat dia. Kemudian, pada 12 Mei 2014 sekitar pukul 15.20, Emmy mendapat telepon dari orang yang mengaku bernama Andre yang disuruh terdakwa Simon mengambil paket dari Emmy,” jelas hakim.
Saat itu disepakati, paket diserahkan di Carrefour Cempaka Putih, Jalan Jenderal A. Yani 83, Kelurahan Cempaka Putih Timur. Pihak kepolisian langsung menuju alamat tersebut dan tak lama kemudian seorang laki-laki melambaikan tangan dan terdakwa Sofian alias Andre mengaku disuruh Nick alias Simon. Polisi akhirnya membongkar jaringan Simon.
Sementara itu, kuasa hukum Simon, Abel Marbun, mengungkapkan kekecewaannya atas vonis hakim. Abel mengatakan, majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Karena itu, dia akan melakukan banding.
”Saya terus berjuang membela klien karena sebenarnya yang punya barang ini adalah John yang kini DPO (baca: jadi buron). Kalau majelis jeli dalam fakta persidangan, sebenarnya Simon tidak mengendalikan barang tersebut,” jelasnya. (uis/JPNN/c9/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Cecar Jaksa Agung soal Pelaksanaan Hukuman Mati
Redaktur : Tim Redaksi