jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
PP tersebut diteken Presiden Presiden Jokowi pada 7 Desember 2020 lalu. Dalam pertimbangan presiden, aturan ini penting untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
BACA JUGA: Jokowi Teken PP 70/2020, Predator Seksual Anak Siap-siap Dikebiri
Nah, Bang Reza dalam keterangan yang diterima jpnn.com, Senin (4/1), justru mempertanyakan efektifkah PP Kebiri tersebut? Dia pun membeber beberapa kelemahan dari regulasi itu.
"Pertama, seperti halnya metode kontrasepsi berbasis kimia, kebiri kimia diselenggarakan beberapa kali. PP 70/2020 tidak memuat pasal bahwa predator akan diberikan zat kimia itu secara berulang," ucap Reza.
BACA JUGA: Rekrutmen Guru PNS Dihentikan, Dede Yusuf Kaget, Simak Permintaannya kepada Pemerintah
Kedua, lanjut pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM ini, PP 70/2020 menempatkan kebiri kimia sepenuhnya ditentukan oleh hakim atas diri predator.
"Dinihilkannya kehendak pelaku berisiko memantik penolakan bahkan amarah pelaku sehingga menjelma sebagai predator mysoped (lebih buas), sehingga justru mempertinggi risiko residivisme pelaku," tutur Reza.
BACA JUGA: Rekening FPI Dibekukan Pemerintah, Kubu Rizieq: Organisasi Dibubarkan, Uangnya Digarong
Ketiga, konsultan di Lentera Anak Foundation ini mengatakan PP 70/2020 tidak memuat dasar logis bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak berbasis daring.
Dalam hal ini, kata Reza, pelaku memang tidak melakukan kejahatan seksual secara fisik dengan korbannya. Namun secara virtual dia mampu memengaruhi target untuk merusak atau mencabuli dirinya sendiri.
"Dalam situasi seperti itu, kebiri kimia menjadi kehilangan relevansinya. Padahal, kejahatan seksual berbasis daring sangat mungkin memakan lebih banyak korban," sebut Reza.
Keempat, PP 70/2020 mengatur bahwa kebiri kimia tidak dikenakan pada pelaku yang berusia kanak-kanak.
Dia menjelaskan, dinamika psikoseksual individu anak-anak dan individu dewasa sangat berbeda. Bahkan antarsesama anak, karena juga terbagi ke dalam sekian tahap perkembangan, dinamika psikoseksual mereka juga berlainan satu sama lain.
Dia mencontohkan, pelaku 16 tahun dan pelaku berumur 6 tahun tentu berbeda tajam, walau mereka masih sama-sama berada dalam kategori anak-anak.
"Bagi pelaku berumur 16 tahun itu, karena kematangan seksualnya sudah berada pada fase lanjut, maka kebiri kimia justru bisa bermanfaat positif," jelasnya.
Kelima, kata Reza, bayangkan predator 15 tahun baru keluar penjara setelah lepas dari usia 18 tahun. Merujuk PP 70/2020 dia tidak akan diberikan tindakan kebiri kimia karena masih anak-anak saat dipidana.
"Padahal, justru setelah melewati usia anak-anak itulah dorongan seksualnya baru menjadi predisposisi jahat," kata peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne ini.
Terakhir, Reza menilai dalam PP 70/2020, kebiri kimia bukan pemberatan sanksi, melainkan tindakan yang dilangsungkan bersama rehabilitasi.
Karena bukan penghukuman, katanya, dokter tampaknya berpeluang menjadi eksekutor kebiri. Di sisi lain, karena kebiri merupakan tindakan, maka persetujuan pelaku harus dipenuhi.
"Tanpa consent, kebiri kimia justru akan menjadi perlakuan yang dipaksakan kepada diri pelaku. Tidakkah ini melanggar etika profesi?" pungkas pakar psikologi forensik asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau ini.(fat/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam