jpnn.com, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI MH Said Abdullah meminta pemerintah agar selektif dan kalkulatif dalam menjalankan kebijakan fiskal, termasuk insentif perpajakan.
Dengan amunisi terbatas, kebijakan fiskal harus benar-benar memiliki dampak bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
BACA JUGA: Said Abdullah: Semangat Bung Karno Harus Dicontoh Dalam Membangun Papua
“Saya kira, rencana insentif pajak terhadap ritel dan pariwisata untuk menggaet wisman belum tepat. Industri ritel bahkan sebelum pandemi telah mengalami kontraksi karena pergeseran perilaku masyarakat yang memilih memanfaatkan e-commerce,” ujar Said dalam keterangan pers pada Selasa (11/5).
Untuk sektor pariwisata, menurut Said, sepanjang pandemi masih berlangsung, wisatawan mancanegara (wisman) lebih memilih menunda bepergian. Oleh karena itu, berbagai iming-iming diskon tidak akan mengundang minat wisatawan.
BACA JUGA: Insentif Pajak Diperluas, Industri Mobil Listrik Diyakini Bisa Tumbuh
Hal itu tampak dalam laporan BPS Triwulan I-2021, di mana jumlah wisman ke Indonesia turun 16,33 persen.
Oleh karena itu, untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi pada triwulan berikutnya, pemerintah fokus memberi insentif terhadap sektor-sektor yang secara kalkulatif mendongkrak pertumbuhan sekaligus menyerap lapangan kerja.
BACA JUGA: PRIMA Desak Pemerintah Segera Bayarkan Insentif untuk Tenaga Kesehatan
Misalnya, sektor pertanian, perikanan, migas serta industri makanan dan minumanlah yang seharusnya mendapatkan berbagai dukungan kebijakan fiskal berkelanjutan.
"Selain menopang tenaga kerja besar, sektor-sektor tersebut terbukti mampu tumbuh dengan tertatih dan berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi," ujar Said.
Untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, Said mendorong pemerintah memperluas basis ekspor termasuk negara tujuan ekspor agar tidak terkonsentrasi di kawasan Asia Timur dan Tenggara.
Oleh karena itu, momentum pertumbuhan Amerika Serikat dan sebagian negara di Eropa harusnya menjadi alternatif kawasan tujuan ekspor, termasuk Timur Tengah.
Ironisnya, selama dua dekade terakhir, kualitas komoditas ekspor Indonesia masih belum mengalami perbaikan.
"Pada triwulan I-2021 pertumbuhan ekspor dan jasa mencapai 6,74%, sedangkan kontribusi ekspor terhadap PDB hanya mencapai 19,18%," ujar Said.
Politikus senior PDI Perjuangan ini meminta pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas intervensi berbagai program perlindungan sosial untuk menjaga daya beli rumah tangga miskin.
Menurut dia, masih terkontraksinya tingkat konsumsi rumah tangga harus dipetakan lebih dengan berbagai instrumen guna mendorong tumbuhnya tingkat konsumsi rumah tangga, selain kebutuhan dasarnya.
Apalagi, ekonomi Indonesia masih sangat tergantung pada konsumsi.
Padahal, instrumen penting dari pemulihan ekonomi adalah meningkatnya konsumi masyarakat.
“Oleh karena itu, kebijakan fiskal hendaknya tetap difokuskan untuk membantu rumah tangga berpenghasilan rendah daripada insentif ke dunia usaha," sarannya.
Konsistensi Kebijakan
Lebih lanjut, Said berharap konsistensi kebiijakan pusat dan daerah untuk menjaga anggaran tetap efektif masih perlu ditingkatkan.
Sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) tahun angggaran 2020 yang menjulang hingga Rp234,7 atau 4 kali lipat lebih tinggi dari SiLPA APBN 2019 sebesar Rp53,4 triliun menunjukkan kapasitas anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) belum dimanfaatkan secara maksimal.
Bahkan total saldo pada Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) atau dana Idle terpantau di perbankan daerah sampai dengan akhir Maret mencapai hingga Rp182 triliun.
Said mengaku tantangan ekonomi tahun depan cukup berat.
Meskipun berlangsung cukup lambat dan masih dalam area resesi, namun arah pertumbuhan ekonomi nasional menuju arah yang menggembirakan.
Untuk itu, momentum ini harus terus dijaga, sehingga pertumbuhan ekonomi akumulatif hingga tahun 2021 setidaknya minimal bisa mencapai 4 persen.
Apalagi, tahun 2021 ini menjadi sangat krusial karena pemerintah akan menyusun APBN Tahun 2022 yang merupakan transisi menuju APBN yang normal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
"APBN 2022 akan menjadi jembatan untuk mengembalikan defisit pada angka dibawah 3% pada APBN 2023," ulasnya.
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini menerangkan ruang fiskal akan semakin terbatas lantaran Pemerintah tidak bisa lagi memperbesar pembiayaan hingga melebih 3%.
Oleh sebab itu, APBN 2022 harus memiliki pijakan yang kuat menuju periode normal pada tahun 2023 nanti, yang pada akhirnya akan bertumpu pada penerimaan perpajakan dan hasil sumber daya alam.
"Jadi, momentum diskon pajak selama dua tahun ini harus mampu membuahkan hasil penerimaan perpajakan yang lebih tinggi pada tahun 2022 dan seterusnya," tuturnya.
Sejauh ini jelas Said, kondisi perekonomian masih berada pada kondisi ketidakpastian.
Salah penyebabnya satunya, pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia.
Belajar dari India, gelombang kedua penyebaran Covid-19 yang jauh lebih dahsyat, menyebabkan kondisi India sangat terpuruk.
"Saya berharap satgas covid19 lebih well-organized, dan disiplin, serta Kemenkes lebih progresif dalam mengejar lebih banyak target vaksinasi terutama terhadap kelompok prioritas," pungkasnya.(fri/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich