jpnn.com - Sejak awal kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno mengingatkan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa mandiri.
Berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, dihormati di antara bangsa-bangsa.
BACA JUGA: Puan Sebut Bung Karno Pembawa Virus Nasionalisme dan Keberagaman
Jangan sampai bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain, a nation of coolies and a coolie among nations.
Dalam percaturan geopolitik ketika bangsa-bangsa di seluruh dunia terpecah menjadi bipolar, dua kutub--Amerika Serikat yang kapitalistis dan Uni Soviet yang komunis--Bung Karno menolak menjadi bagian dari kutub-kutub itu.
BACA JUGA: Wakil Ketua MPR Ingatkan Pesan Bung Karno: Kita Bukan Bangsa Kuli
Indonesia harus bebas dari kutub-kutub itu dan berdiri bebas sebagai negara Non-Blok.
Indonesia yang mengalami penderitaan panjang karena penjajahan imperalisme ratusan tahun berkomitmen untuk mendapatkan kemerdekaan nasional yang total.
BACA JUGA: Kenang Sosok Tjahjo Kumolo, Yenny Wahid: Beliau Anak Ideologis Bung Karno
Merdeka secara politik, berdaulat secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.
Pengalaman pahit akibat penjajahan membuat bangsa Indonesia bertekad tidak akan mau lagi dijajah.
Bangsa Indonesia juga bertekad akan memerangi penjajahan di mana pun di seluruh penjuru dunia.
Penjajahan harus dienyahkan dari seantero dunia karena penjajahan tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.
Itulah sebabnya Indonesia menentang pembentukan Federasi Malaysia karena dianggap sebagai negara boneka bentukan penjajah Inggris.
Dekade 1960-an Indonesia adalah negara yang disegani oleh Malaysia.
Bung Karno meneriakkan ‘’Ganyang Malaysia’’ dalam peristiwa konfrontasi yang membuat Malaysia ketakutan dan harus mengandalkan perlindungan dari Inggris.
Dekade 1970-an, ketika hubungan Indonesia-Malaysia mulai terbuka, banyak warga Malaysia berguru ke Indonesia, dan guru-guru terbaik Indonesia direkrut Malaysia untuk mengajar.
Kini, kondisi terbalik. Dulu Indonesia mengekspor guru, sekarang mengekspor tenaga kerja alias pembantu.
Kata Cak Lontong, bukan kualitas Indonesia yang turun, tetapi selera orang Malaysia yang turun, dulu menyukai guru sekarang menyukai pembantu.
Nasionalisme Bung Karno tidak diragukan lagi.
Dia membawa bangsa Indonesia memasuki gerbang kemerdekaan dan melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan.
Secara formal penjajahan telah diakhiri dengan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Akan tetapi, penjajahan terselubung masih terus berlangsung, dan Bung Karno selalu mengingatkan bahwa perjuangan melawan penjajahan terselubung itu menjadi perjuangan yang panjang.
Penjajahan fisik, seperti yang dilakukan Belanda dan negara-negara kolonialis lainnya, adalah bentuk dominasi dari penjajah terhadap negara jajahan.
Hubungan tuan dan budak yang tidak seimbang.
Dominasi dilakukan dengan penguasaan secara langsung terhadap suatu wilayah.
Dominasi bisa diakhiri secara formal melalui kemerdekaan.
Akan tetapi, setelah dominasi pergi masih ada kekuatan penjajah yang tertinggal yaitu hegemoni.
Hegemoni adalah penguasaan yang bersifat tidak langsung dalam bentuk penguasaan ideologi, peradaban, dan budaya.
Sebuah bangsa bisa saja sudah merdeka dan terbebas dari dominasi.
Akan tetapi, bangsa itu tidak sadar bahwa sebenarnya mereka tidak benar-benar merdeka karena masih menjadi subjek hegemoni dari negara lain.
Hegemoni itulah yang dilawan oleh Bung Karno.
Sebagai seorang orator ulung, Bung Karno menciptakan jargon-jargon perjuangan untuk menggelorakan semangat rakyat.
Bung Karno dengan tegas mengatakan ‘’Malaysia kita ganyang, Inggris kita linggis, Amerika kita setrika’’.
Bung Karno menganggap Malaysia sebagai bentuk hegemoni dari kekuatan penjajah.
Karena itu Bung Karno mengumumkan konfrontasi terhadap Malaysia.
Bung Karno menentang Inggris dengan ancaman linggis dan menolak Amerika dengan ancaman setrika.
Itu adalah ekspresi Bung Karno untuk menolak hegemoni negara-negara imperialis.
Hegemoni itu dilanjutkan dengan wajah yang lebih bersahabat ketimbang penjajahan.
Hegemoni dilakukan dengan cara memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara yang baru merdeka.
Bung Karno tanpa ragu menolak bantuan-bantuan itu. Go to Hell with your Aids.
Pergi ke neraka dengan bantuan-bantuanmu itu. Sebuah perlawanan yang keras dan tegas oleh Bung Karno.
Dengan menampik bantuan itu Bung Karno menepis munculnya hegemoni sebagai bentuk penjajahan baru.
Hegemoni adalah sebuah konsensus yang membawa ketertundukan melalui penerimaan ideologi kelas yang menghegemoni dari kelas yang terhegemoni.
Hegemoni bukan hubungan dominasi yang menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi.
Terdapat dua model penguasaan, satu melalui dominasi atau penindasan dan satunya melalui kesadaran moral.
Hegemoni berlangsung seolah tanpa pemaksaan.
Negara-negara dengan sukarela menjadi bagian dari organisasi internasional seperti IMF (dana moneter internasional), WTO (organisasi perdagangan internasional), atau WHO (organisasi kesehatan dunia), dan dengan suka rela mengikuti aturan-aturannya.
Indonesia dengan sukacita menjadi bagian dari negara-negara G-20, dan sekarang dengan bangga menduduki posisi kepresidenan.
Semua aturan main sudah disepakati bersama oleh 20 anggota tanpa ada paksaan, semua dilakukan dengan sukarela.
Prinsip-prinsip perdagangan bebas sebagai bagian dari ‘’The Washington Consensus’’ dijalankan dengan penuh ketaatan oleh semua anggota.
Ada prinsip kesetaraan di antara seluruh anggota.
Akan tetapi, tentu ada keseteraan yang lebih tinggi bagi negara-negara besar, dan kesetaraan yang lebih rendah bagi negara-negara ‘’junior partner’’ seperti Indonesia.
Sebagaimana prinsip dalam ‘’The Animal Farm’’ Orwell, ‘’All animals are created equal, but some are more equal than others’’; semua hewan diciptakan setara, tetapi beberapa hewan punya kesetaraan lebih tinggi dibanding lainnya.
Itulah paradoks kesetaraan. Indonesia tahu dan sadar diri bahwa sebagai junior partner tidak mungkin menuntut kesetaraan yang lebih tinggi yang dinikmati oleh negara-negara senior partner seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan negara-negara Uni Eropa.
Rasa tahu diri itu kita terima sebagai bagian dari hegemoni.
Dengan penuh rasa tahu diri, Indonesia melakukan konformitas, penyesuaian diri, dengan aturan-aturan yang sudah disepakati organisasi.
Negara-negara anggota harus menjadi negara yang terbuka terhadap perdagangan internasional, ramah terhadap investasi asing, dan terbuka terhadap aliran modal.
Untuk menjamin konformitas itulah, Indonesia menciptakan omnibus law, demi menjamin berlangsungnya aturan main yang sudah disepakati bersama.
Globalisasi menjadi permainan bersama yang dirayakan bersama dengan penuh kegembiraan dan suka cita.
Itulah yang bisa menjelaskan mengapa Indonesia--yang menjadi salah satu produsen terbesar kelapa sawit dunia--tidak bisa mengontrol harga minyak goreng di dalam negeri.
Kita yang punya kelapa sawit, tetapi kita tidak bisa mengatur harganya.
Semua didikte oleh mekanisme pasar internasional berdasarkan prinsip ekuilibrium pasar dalam mekanisme ‘’the invisible hand’’.
Kedaulatan Indonesia sekarang menghadapi ujian di banyak front.
Salah satunya di front olahraga.
Indonesia akan menjadi tuan rumah turnamen sepak bola ‘’Piala Dunia U-20’’ pada 2023 mendatang.
Indonesia diuji dengan lolosnya Israel dalam turnamen itu. Dan, jauh-jauh hari Indonesia sudah menyatakan akan menerima kedatangan tim sepak bola Israel.
Bung Karno akan murka kalau bisa bangkit dari kuburan.
Pada pesta olahraga Asian Games 1962 di Jakarta, Bung Karno dengan tegas menolak keikutsertaan atlet Israel.
Sikap politik Israel yang menjajah Palestina membuat Bung Karno bersikap tegas menolak atlet Israel.
Bung Karno juga melarang tim sepak bola Indonesia bertanding melawan Israel dalam kualifikasi Piala Dunia 1958.
Sikap tegas Bung Karno itu membuat kesempatan Indonesia untuk tampil di Piala Dunia terlepas.
Bung Karno tidak peduli.
Baginya harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan konsistensi menentang penjajahan jauh lebih bermartabat daripada tampil di Piala Dunia.
Enam puluh tahun sejak peristiwa itu terjadi, sekarang kita menghadapi problem yang sama, dan kita bersikap lembek terhadap Israel.
Jangan-jangan, Indonesia terkena kutukan Bung Karno menjadi bangsa kuli di tengah bangsa-bangsa dunia. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror