Banjir Jakarta

Selasa, 18 Februari 2014 – 11:29 WIB

SAYA tinggal di sebuah rumah sewaan di salah satu kawasan Jakarta yang asri. Disini bukan daerah rawan banjir, tapi selama musim hujan tahun lalu, atap rumah saya hampir runtuh. Bahkan, suatu malam rumah sewa saya itu bocor, tepat di tengah-tengah ruangan makan.

Tahun ini, saya  mengantisipasinya dengan membeli dan memasang terpal plastik berwarna biru cerah di atap rumah. Dan itu membuat  rumah sederhana saya menjadi terlihat agak "kampungan" di tengah-tengah perumahan elit di Kebayoran Baru.

BACA JUGA: Kontroversi Kata Allah di Malaysia

Jakarta sekali lagi dilanda banjir pada bulan Januari. Ini seolah-olah menjadi ajang tahunan, dimana sebelumnya banjir besar terjadi tiap lima atau sepuluh tahun sekali. Kerugian yang diderita oleh Jakarta dan warganya sangat besar.

Hingga saat ini, tercatat lebih dari 130.000 orang telah mengungsi dan 12 orang tewas. Sekitar 40% jalan diyakini mengalami kerusakan, sementara sektor bisnis mengalami kerugian diperkirakan mencapai Rp 300 miliar per hari selama banjir.

BACA JUGA: Urban Villagers

Tentu saja, banjir bukan masalah baru bagi kota ini.

Bagian dari tantangan kota ini sebenarnya geografis. Jakarta merupakan pusat kota yang berdataran rendah dan sangat rentan, seperti Manila atau London yang baru-baru ini diterjang banjir di sepanjang sungai Thames.

BACA JUGA: Eropa 1914

Sesuatu harus dilakukan. Apalagi Jakarta ini disebutkan mengalami penurunan dataran sedalam 10 hingga 20 cm per tahun. Ini sangat mengkhawatirkan.

Pada saat yang sama, Jakarta juga menghadapi curah hujan yang tinggi serta air yang mengalir dari hulu-Bogor, Puncak dan Depok. Dan ada 13 sungai yang melintas Jakarta,  dan apalagi sekitar 40% pemukiman berada di bawah permukaan laut. Dan jangan lupakan juga kondisinya ketika air laut pasang.

Tidak mengejutkan jika World Bank mengajukan rencana mitigasi (pada tahun 2012) untuk pengerukan dan rehabilitasi 11 sungai dan kanal, juga empat waduk di kota.

Pembangunan besar-besaran telah terjadi di kota, namun hingar-bingar bangunan juga memiliki dampak. Memang, kerumitan dan keprihatinan banjir bermuara pada perencanaan tata ruang kota yang buruk.

Air tanah meresap dengan cepat, sementara kondisi sekarang beban perumahan, bangunan komersial dan perkantoran memberikan tekanan berat pada tanah.

Jika dibiarkan, pertumbuhan dan perkembangan Jakarta berada di ambang kehancuran.

Sementara gedung pencakar langit bermunculan di kota, fasilitas drainase masih jauh dari kata memadai. Kanal yang ada harus berjuang untuk mengatasi naiknya permukaan air laut. Selain itu, banyak saluran air di Jakarta tersumbat oleh sampah dan terkontaminasi dengan kotoran.

Di samping itu, kurangnya penegakan peraturan juga memperburuk masalah banjir.

Generasi pendiri kota sebelumnya telah gagal membendung gelombang penduduk migran pedesaan yang mencari peluang yang lebih untuk memperbaiki nasib ke Jakarta.

Sayangnya, arus masuk penduduk ini berkontribusi terhadap munculnya daerah kumuh Jakarta. Banyak warga yang mengungsi akibat banjir karena telah lama mendiami lahan-lahan ilegal, seperti di bantaran sungai-sungai.

Tapi apa yang bisa dilakukan?

Di satu sisi, ini adalah kesempatan bagi Joko Widodo ("Jokowi") untuk bersinar, memperkuat kepercayaan banyak orang bahwa ia adalah seorang pemecah masalah "problem solver".

Suka atau tidak, ibukota adalah tanggung jawab semua orang. Harus ada perasaan baru yang tertanam yaitu "kepemilikan" dan keterlibatan dari sektor publik dan swasta.

Investor harus mematuhi hukum yang tertulis ketika menjadi bagian dari pembangunan tata ruang kota dan perlindungan lingkungan.

Fasilitas drainase yang memadai harus dibangun secara bersamaan seiring dengan perkembangan baru. Saat ini juga, masing-masing warga harus berhenti menyumbat saluran air mereka dengan sampah. Mereka juga harus memastikan bahwa tetangga mereka berlaku sama.

Tidak ada yang suka menjadi orang yang ikut campur, tapi masa depan 'rumah' kita sedang dipertaruhkan.

Daripada saling menyalahkan, akan lebih baik setiap orang menengok ke belakang dan merenungkan apa yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi masalah ini.

Alam memiliki kekuatan besar. Namun manusia yang memiliki tanggung jawab untuk sama-sama bisa bertahan dan  berkembang meski menghadapi kekuatannya.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler