jpnn.com - JAKARTA -- Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Sulami mengatakan jumlah pabrik rokok di Indonesia menurun drastis alias terjun bebas.
Khusus untuk Jawa Timur, kata Sulami, kini jumlahnya hanya 563 pabrik. Jumlah ini merosot drastis dibanding 2009 yang tercatat sebanyak 1100 pabrik rokok.
BACA JUGA: Gandeng PTPN II Bangun 18 Ribu Rumah di Medan
"Banyak pabrik rokok kecil-kecil yang gulung tikar," kata Sulami kepada wartawan lewat telepon selulernya, Jumat (21/3).
Sulami menjelaskan salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah karena perubahan luas lokasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 75 dan 200.
BACA JUGA: Jaga Aset, Tiga BUMN Gandeng BPN
Menurut Sulami, sebelumnya dalam PMK nomor 75 luas bangunan hanya 50 meter persegi. Sedangkan di PMK 200, batas luas usaha minimal 200 meter persegi.
Karenanya, Sulami menambahkan, untuk menyelamatkan industri rokok kecil Gapero telah menemui Pemerintah Daerah setempat.
BACA JUGA: Yakin Menangkan Sengketa Lahan
Gapero mendesak dana bagi hasil cukai dan tembakau dialokasikan sebagian untuk mendirikan pabrik-pabrik kawasan rokok.
"Dialokasikan untuk mendirikan kawasan indusri rokok kecil, untuk menyelamatkan pabrik rokok yang terkena dampaknya," katanya.
Sedangkan bekas Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas mengatakan, banyak faktor di balik penurunan produksi rokok, terlebih sigaret kretek tangan (SKT).
Menurut Enny, salah satunya adalah PMK nomor: 200/PMK yang menetapkan ketentuan luas minimal 200 meter persegi bagi pabrik rokok.
Selain itu, kata dia, penetapan pajak rokok sebesar 10 persen bagi perusahaan-perusahaan rokok lewat peraturan daerah juga menjadi salah satu faktor yang memberi kontribusi besar menurunnya produksi rokok yang kemudian berkorelasi dengan penurunan konsumsi rokok.
"Kedua faktor ini sangat mempengaruhi masalah tersebut," katanya. Belum lagi, ia menambahkan, faktor lain seperti harga cengkeh yang semakin tinggi.
"Yang pada akhirnya memaksa industri atau perusahaan mengambil kebijakan merumahkan pekerja-pekerjanya," kata Enny.
Supaya perusahaan rokok termasuk perusahaan kecil tetap bertahan, Enny menyarankan untuk merger. Yakni, menggabungkan perusahaan-perusahaan kecil menjadi lebih besar. "Tapi persoalannya apakah mereka mau bergabung?" imbuh Enny.
Tak hanya perusahaan kecil yang menanggung akibat dari penurunan produksi dan komsumsi SKT. Perusahaan rokok sekaliber Sampoerna pun demikian.
Atas persoalan itu pula, Sampoerna melalui Head of Regulatory Affairs International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk Elvira Lianita menyampaikan kebijakan penawaran program pensiun dini sukarela bagi karyawan SKT.
Menurutnya, program ini ditawarkan untuk menyikapi penurunan jam kerja yang berdampak secara signifikan pada penghasilan para karyawan.
"Hal ini diakibatkan oleh penurunan preferensi perokok dewasa terhadap industri segmen SKT selama lima tahun terakhir. Bahkan penuruhan mencapai 10 persen pada akhir 2013," jelas Elvira.
Hal ini sejalan dengan survei Nielsen Ritail Audit Estimates terkait tren industri rokok di Indonesia, termasuk tren SKT.
Lembaga survei itu mengungkap bahwa sejak tahun 2013 terjadi penurunan yang cukup signifikan di segmen SKT, yakni 6 hingga 7 miliar batang dibanding tahun sebelumnya.
Dengan menurunnya penjualan maka pangsa pasar segmen SKT juga pasti mengalami penurunan.
Padahal pada tahun 2009 pangsa pasar segmen SKT mengalami peningkatan hingga 31 persen. Namun perlahan terus menurun di tahun-tahun berikutnya. Di tahun 2011 saja turun hingga 28 persen dan pada tahun 2013 mencapai 24 persen.
"Melalui pertimbangan strategis menyeluruh dan bertujuan untuk menjaga iklim usaha yang berkesinambungan baik bagi perusahaan maupun karyawan, kami memutuskan menawarkan program pensiun dini," kata Elvira. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aset Diserobot, KAI Kesulitan Kembangkan Stasiun
Redaktur : Tim Redaksi