jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Said Salahudin menilai keputusan Mahkamah Konstitusi pada Kamis (11/1) yang membatalkan ketentuan dalam Pasal 173 ayat 1 dan 3 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, telah berimplikasi secara politik. Ketentuan tersebut menyebutkan, partai politik yang telah lulus verifikasi pada pemilu sebelumnya, tidak perlu lagi verifikasi ulang.
Dengan adanya keputusan tersebut, maka belum ada partai politik yang telah lolos menjadi peserta Pemilu 2019, meski sebelumnya dinyatakan lolos verifikasi administrasi.
BACA JUGA: Bantuan untuk Parpol di Bekasi Berpotensi Naik
Sebab seluruh parpol yang telah mendaftar dan lulus verifikasi administrasi, masih harus menjalani verifikasi faktual di seluruh wilayah di Indonesia. Hal itu berkaitan dengan keputusan MK membatalkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 ayat 1 dan 3 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
“Jadi, tidak ada lagi partai politik yang terbebas dari kewajiban mengikuti verifikasi faktual. Jika sebelumnya sepuluh parpol pemilik kursi DPR hanya diwajibkan mengikuti verifikasi faktual di daerah otonomi baru, dengan putusan MK wajib diperiksa kembali pemenuhan persyaratan kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan," ujar Said di Jakarta, Jumat (12/1).
BACA JUGA: Pangi: Parpol Harus Seleksi Ketat Calon Kepala Daerah
Selain itu, parpol juga wajib memenuhi persyaratan terkait persentase keterwakilan perempuan, keanggotaan dan keberadaan kantor di daerah. Khusus untuk kepengurusan, MK kata Said, memerintahkan KPU melakukan verifikasi faktual sampai ke tingkat kecamatan.
"Ketentuan ini bisa dibilang aturan baru, tidak dilakukan pada Pemilu 2014. Kalau KPU benar-benar melaksanakan aturan ini secara fair, sangat mungkin jumlah parpol peserta Pemilu 2019 akan menyusut," ucapnya.
BACA JUGA: 7 Partai Gagal Penuhi Syarat, 2 Lanjut ke Verifikasi Faktual
Karena untuk lolos verifikasi faktual di tingkat kabupaten/kota saja bukan perkara mudah bagi sejumlah parpol. Mengingat jumlah daerah yang begitu banyak.
“Boleh jadi banyak parpol akan oleng. Ujung-ujungnya bisa dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU dan gagal menjadi peserta Pemilu 2019. Sekali lagi, kondisi ini bisa terjadi jika KPU benar-benar fair dalam melakukan verifikasi faktual.
Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi Pasal 173 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi diajukan Partai Idaman yang terregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.
"Mengabulkan permohonan untuk sebagian," ujar Ketua MK Arief Hidayat, membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (11/1).
Terpisah, Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Boni Jebarus menilai keputusan MK telah mengacaukan seluruh jadwal dan tahapan Pemilu yang disusun secara baik oleh lembaga penyelengara Pemilu.
"Momen putusan MK ini tidak tepat,” tegas Boni ketika dihubungi JPNN.com, Sabtu (13/1) dini hari.
Anggota DPRD NTT Boni Jebarus
Lebih lanjut, kader muda Partai Demokrat ini mengatakan patut diduga keputusan MK tersebut terindikasi adanya intervensi dari kelompok tertentu.
“Ini ibarat orang siap menikah tapi dibatalkan dengan adanya persyaratan lainnya. Kan kacau semuanya,” kritik politikus muda asal NTT ini.
Menurut Boni, kalau betul-betul sebagai pengawal konstitusi maka MK sebenarnya perlu mempertimbangan apa yang telah dilakukan oleh lembaga negara lainnya dalam menata sistem demokrasi Indonesia.(gir/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mayoritas Partai Politik Lemah Urusan Kaderisasi
Redaktur : Friederich
Reporter : Friederich, Ken Girsang