jpnn.com, JAKARTA - Staf Ahli Pusat Studi BUMN dan Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menyoroti penurunan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7DRRR), yang dinilai bukan menjadi senjata ampuh untuk mengerek permintaan dan penyaluran kredit perbankan.
Mengingat pelaku usaha saat ini masih banyak yang belum bangkit dan ragu untuk mengajukan pembiayaan.
BACA JUGA: Ada Jurus Jitu untuk Bank Genjot Kredit
Paul mengatakan, tren penurunan suku bunga kredit perbankan sebagai dampak perubahan BI7DRRR sebenarnya sudah terjadi sejak tahun lalu.
Hanya saja, penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) terbukti tidak mampu mendorong permintaan kredit.
BACA JUGA: Bertemu Direksi BRI, Bamsoet Dorong Penghapusan Kredit Macet UMKM
“Selama ini penurunan suku bunga kredit juga belum mampu mengerek permintaan kredit. Mengapa? Karena memang sektor riil masih pingsan, sehingga belum mampu bergerak dengan kencang,” tutur Paul.
Akibat masih banyaknya pelaku usaha yang kondisinya belum pulih, maka kontraksi kredit tetap terjadi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laju penyaluran kredit perbankan per Desember 2020 terkontraksi -2,41 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp5.481,6 triliun.
BACA JUGA: Strategi BRI Menjaga UMKM agar Tetap Tumbuh
Padahal, hingga Desember 2020 tingkat rata-rata suku bunga kredit (SBK) perbankan turun hingga single digit. SBK Kredit Modal Kerja turun 88 bps menjadi 8,88 persen, lalu SBK Kredit Investasi turun 102 bps menjadi 9,21 persen, dan SBK Kredit Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97 persen.
Kemudian, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) seluruh segmen kredit telah berada pada level single digit, yaitu SBDK ritel 8,88 persen, SBDK korporasi 8,75 persen, SBDK KPR 8,36 persen, SBDK non KPR 8,69 persen, dan SBDK Mikro 7,33 persen.
Meskipun SBDK perbankan telah turun, namun likuiditas perbankan yang melimpah menyebabkan perbankan harus mengeluarkan biaya dana yang relatif lebih tinggi.
Dengan begitu, tantangan perbankan saat ini adalah bagaimana menjawab permintaan kredit yang rendah, di sisi lain dana pihak ketiga tumbuh lebih tinggi dari pada pertumbuhan kredit.
“Tentu saja, pemerintah wajib terus mendorong stimulus dan insentif kepada sektor riil, juga bansos kepada rakyat kecil untuk mendorong kenaikan konsumsi rumah tangga. Kiat itu amat mahal memang, tetapi manjur untuk menyuburkan konsumsi rumah tangga guna menaikkan pertumbuhan ekonomi. Ya, (penurunan SBDK dan suku bunga acuan) bukan senjata ampuh,” serunya.
Berdasarkan hasil analisa Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) yang dipublikasikan Januari 2021, diketahui faktor paling elastis atau memengaruhi pertumbuhan kredit adalah tingkat konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.
Selain dua variabel ini, faktor lain yang turut berkontribusi membuat naik/turunnya permintaan kredit adalah suku bunga, NPL, dan penjualan ritel.
Himbara juga mengungkapkan bahwa sudah tepat pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus yang diterima masyarakat bawah, yang diberikan kepada pengusaha mikro dan kecil.
Karena dengan stimulus tersebut dapat menggerakkan perekonomian, khususnya mengungkit daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga.
Penurunan bunga acuan sebenarnya juga telah diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan, salah satunya adalah BRI yang sepanjang 2020, telah menurunkan suku bunganya sebesar 75 bps – 150 bps.
Penurunan suku bunga tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan dan penyelamatan yang dilakukan oleh BRI terhadap UMKM yang sedang bergelut dengan kondisi pandemi.
Penurunan suku bunga tersebut juga merupakan dampak dari efisiensi yang dilakukan bank, baik dari sisi mobilisasi dana pihak ketiga dan digitalisasi proses bisnis yang dilakukan BRI.(ikl/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi