Untuk pertama kalinya setelah tujuh bulan tidak terbang, David Sapulete, pilot asal Tangerang menerbangkan pesawatnya pada akhir Oktober lalu dengan mengikuti protokol kesehatan.
Sejak tahun 2013, David menerbangkan pesawat selama 110 jam setiap bulannya. Namun, karena pandemi dan dikuranginya jam penerbangan, ia sempat tidak menyentuh panel kontrol pesawat.
BACA JUGA: Jumlah Kasus WNI di Luar Negeri Meningkat selama Pandemi
"Rasa takut sih ada ya, cuma kalau saya pribadi mengacu pada apa yang kita punya saja, karena kita sudah dibekali kemampuan, pengetahuan, serta standar yang kita punya," katanya.
David mengatakan jika pilot memiliki tanggung jawab yang dinamis, karenanya setelah sempat lama di luar 'cockpit', ia harus berusaha untuk menerapkan semua prosedur yang telah dipelajarinya.
BACA JUGA: WHO: Banyak Negara di Asia Pasifik Baru Akan Dapat Vaksin Pertengahan 2021
"Kalau sudah lama tidak melakukan penerbangan, hal-hal seperti ini mungkin ada yang terlewat-lewat sedikit," kata David.
Sebagai bentuk penenangan diri, David mengaku harus melakukan persiapan, termasuk mempelajari buku pedoman menerbangkan pesawat semasa pandemi, setebal 300 halaman.
BACA JUGA: Badan Bahasa Tambahkan Pandemi Sebagai Koleksi Kata Terpopuler di KBBI
"Saya baca lagi SOP nya dan berangkat lebih awal ke kantor karena untuk prosedur 'New Normal' ada SOP Covid tambahan ... bangun lebih cepat, tidur lebih cepat," katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia. Photo: [ILUSTRASI] Di hari pertamanya kembali menerbangkan pesawat, David harus kembali memegang tanggung jawab manajemen yang menurutnya "dinamis". (Unsplash: Pandu Agus Wismoyo)
"Kan sudah tahu, sudah belajar, dan kalau misalnya punya religious view sudah berdoa. Jadi hal-hal seperti ini akan meminimalisir risiko dari internal kita, yaitu ketakutan dalam situasi yang akan datang."
David merupakan satu dari ribuan pilot yang diberhentikan sementara selama berbulan-bulan, sehingga sulit hingga hampir tidak mungkin dapat mempertahankan dan melatih keterampilan menerbangkan pesawat.
Menurut catatan perusahaan analisis penerbangan Cirium, paling tidak 30 persen pesawat terbang komersil di dunia, atau 9.690 pesawat, tidak terbang dan berada di dalam tempat penyimpanan karena pandemi COVID-19. Insiden saat terbang di tengah pandemi akibat 'jam terbang pilot'
Dengan kembali beroperasinya beberapa pesawat belakangan ini, muncul kekhawatiran pandemi COVID-19 telah mempengaruhi kecakapan pilot dan keselamatan penerbangan.
"Bila seseorang diberhentikan dari suatu pekerjaan selama enam bulan, butuh berminggu-minggu bagi mereka untuk kembali lancar dalam mengerjakan pekerjaan itu," ujar analis penerbangan Australia, Geoffrey Thomas.
Di Indonesia tercatat ada sejumlah insiden dalam penerbangan dalam beberapa bulan terakhir.
September lalu, pesawat Lion Air Airbus A330 yang berisi 318 penumpang keluar dari landasan terbang sewaktu mendarat di Sumatra.
Pesawat tersebut merusak dua lampu landasan dan beberapa ban, karena sempat keluar dari jalur sebelum akhirnya keluar melalui pintu kedatangan.
Tidak ada korban jiwa ataupun luka-luka, namun pemeriksaan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menemukan jika pilot yang menerbangkan pesawat baru memiliki jam terbang sebanyak dua jam 56 menit selama tiga bulan terakhir.
Pilot pendampingnya juga belum menerbangkan pesawat sejak 1 Februari 2020. Photo: [ILUSTRASI] Sebuah pesawat Lion Air di Sumatra sempat tidak mendarat dengan baik karena rendahnya jam terbang pilot.
Operasi manual Lion Air menetapkan bahwa "dalam 90 hari terakhir, seorang pilot harus telah melakukan minimal tiga lepas landas dan pendaratan dari pesawat yang akan dikemudikannya".
Lepas landas dan pendaratan ini dapat dilakukan menggunakan simulator visual, namun maskapai penerbangan tersebut tidak memiliki simulator untuk pilot pesawat A330 nya.
Laporan KNKT mencatat pilot Lion Air A330 pada umumnya melakukan pelatihan dengan simulator di fasilitas penerbangan lain di Malaysia, Singapura, atau Indonesia.
Namun, pembatasan penerbangan dan pengurangan jam terbang membuat para pilot kesulitan untuk memperoleh akses ke fasilitas tersebut untuk melatih diri. Harga simulator khusus 'mahal sekali' dan tidak terjangkau maskapai non-premium
Analis penerbangan Geoffrey mengatakan bahkan dalam kondisi normal, pilot dapat melupakan tugas sederhana, jika jarang mengerjakannya secara berkelanjutan.
"Bila mereka memegang kontrol pesawat setelah berbulan-bulan tidak melakukannya, dan tidak melakukan pelatihan simulator, ataupun kursus penyegar ingatan, mereka pasti akan berbuat salah," katanya.
"Jadi penting sekali para pilot ini mengikuti kursus penyegar ingatan yang komprehensif, dan pelatihan simulator untuk menguji kemampuan menerbangkan pesawat mereka lagi." Photo: Tidak semua maskapai penerbangan di seluruh dunia dapat membeli simulator khusus untuk pilot mereka karena harganya yang mahal. (Reuters: Noemie Olive)
Menurutnya, maskapai premium di seluruh dunia melakukan pelatihan penyegar ingatan bagi pilot mereka dengan sangat serius.
Salah satunya adalah Qantas, yang mewajibkan para pilot untuk mengikuti pelatihan enam hari sebelum dapat menerbangkan pesawat.
Dalam pelatihan tersebut, terdapat juga beberapa sesi soal pengoperasian simulator, 'ground school training', dan penilaian kesehatan mental.
Namun, Geoffrey mengatakan beberapa maskapai 'budget' tidak melakukannya dengan ketat.
"Maskapai yang tidak terlalu diketahui namanya di beberapa bagian dunia, menurut saya, tidak melakukan usaha cukup untuk memastikan bahwa pilot mereka telah dilatih ulang dengan layak," katanya.
Shukor Yusof, pendiri perusahaan konsultan penerbangan Endau Analytics, mengatakan biaya simulator penerbangan yang terlalu mahal dan perannya yang pentingnya dalam pelatihan, membuat maskapai penerbangan dengan biaya murah tidak bisa mendapatkannya.
"Peralatannya mahal sekali, harganya sekitar [$26 juta]. Dan tidak semua maskapai penerbangan memilikinya," katanya.
David juga mengatakan pemberian pelatihan dalam simulator khusus adalah "hal yang sangat baik", namun membutuhkan pengeluaran jauh lebih banyak dari perusahaan.
"Mahal sekali, tidak mungkin perusahaan dapat menyediakan itu ke setiap pilot mereka di luar jadwal mereka, karena validasinya enam bulan untuk seorang kapten pilot bisa lulus simulator dan tidak perlu menyentuhnya," ujarnya yang mengaku tidak melalui pelatihan apapun sebelum kembali menerbangkan pesawat. Photo: Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) mendorong pemerintah untuk mengambil langkah dalam memastikan bahwa pilot memiliki pelatihan yang cukup. (Reuters: Tyrone Siu)
Memastikan keselamatan penerbangan di negara berkembang
Menurut Shukor, dalam sebuah negara yang tidak memiliki persediaan simulator memadai, pasti ada permasalahan.
"Pilot di pasar negara berkembang, seperti IndoTiongkok, Filipina, Indonesia, tidak memiliki jumlah simulator memadai. Jadi harus bagaimana? Ini adalah salah satu bahaya yang dihadapi industri saat ini."
Dengan kondisi seperti ini, David mengatakan diperlukan ketegasan dari divisi pelatihan setiap maskapai untuk memastikan para pilot taat kepada SOP yang ada.
"Akhirnya lari ke divisi training kantor. Mereka akan mendapatkan mandat untuk bisa melatih semua sumber daya manusia di lapangan sehingga menghasilkan operasional yang efisien," katanya.
"Dan untuk menjaga [pilot] tetap mengikuti standar itu tidak bisa overnight, harus dilihat pelatihan setiap perusahaan itu bagaimana, sehingga nantinya tercermin ke operasional pilotnya."
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) mendorong pemerintah untuk mengambil langkah dalam memastikan bahwa pilot memiliki pelatihan yang cukup.
Mereka ingin agar awak pesawat dikategorikan sebagai pekerja penting sehingga dapat menggunakan 'travel bubble' untuk mengakses fasilitas di luar negeri, misalnya peralatan simulasi pesawat.
"Kegagalan untuk melakukannya dapat menimbulkan konsekuensi buruk," ujar ICAO.
Diproduksi dari artikel dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.
Ikuti berita seputar pandemi dan lainnya di ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rerie: Perlu Lompatan Besar untuk Mewujudkan Peningkatan Peran Perempuan