Banyak Salah Kaprah Soal Gangguan Jiwa

Selasa, 12 Agustus 2014 – 23:18 WIB

jpnn.com - BEBERAPA pekan terakhir, penggunaan istilah yang berkaitan dengan ilmu kejiwaan beredar di masyarakat. Meski demikian, tidak semua benar menurut medis.

Gangguan jiwa misalnya. Menurut dr Danardi Sosrosumihardjo SpKJ(K), ketua umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI), istilah gangguan jiwa mengikuti penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III (PPDGJ III). Dia menerangkan, gangguan jiwa adalah sekumpulan gejala atau perilaku yang dapat ditemukan secara klinis yang menimbulkan penderitaan (distress) dan terganggunya fungsi seseorang.

BACA JUGA: Mengenal Bipolar Disorder II

Orang yang mengalami gangguan jiwa disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa, ODGJ adalah seseorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna. Kondisi itu menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.

Untuk menentukan seseorang memiliki waham (delusion) atau tidak, menurut Danardi, psikiater harus melakukan serangkaian wawancara dan pemeriksaan yang saksama. ’’Psikiater tidak dapat menentukan ada tidaknya gangguan jiwa hanya dengan mendengar atau melihat tayangan di media massa, lantas membuat kesimpulan,’’ paparnya sebagaimana dikutip dalam rilis yang dikirimkan secara tertulis.

BACA JUGA: Siap-siap Saat Si Merah Menyapa

Tidak jarang, ketika pasien gangguan jiwa memberontak, dilakukan pemasungan agar tidak melukai diri sendiri dan orang lain. Menurut Danardi, pemasungan adalah segala bentuk tindakan yang menghalangi setiap orang dengan gangguan jiwa dalam memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. ’’Hak-hak tersebut meliputi hak memperoleh pengobatan, penghasilan, serta hak memperoleh kehidupan sosial,’’ jelasnya.

Dia melanjutkan, pemasungan dilakukan dengan dua cara, pengikatan atau pengisolasian. Pengikatan merupakan semua metode manual yang menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh dan membuat penderita tidak dapat bergerak dengan mudah.

BACA JUGA: VivaGel, Kondom Pertama Dirancang Bunuh HIV

Pengisolasian adalah tindakan mengurung sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa dalam suatu ruangan yang secara fisik membatasi untuk keluar ruangan tersebut.

Saat pengidap gangguan jiwa disarankan untuk rawat inap di rumah sakit, hanya beberapa orang yang berhak memberikan persetujuan. Menurut Danardi, persetujuan tindakan medis dapat diberikan suami/istri, orang tua, anak, atau saudara sekandung yang paling sedikit berusia 17 tahun. Juga, wali atau pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan.

Pemberian obat-obatan dengan suntik bertujuan untuk meredakan atau mengatasi gejala waham, halusinasi, dan gaduh gelisah. Menurut Danardi, pemberian obat dengan suntikan adalah bagian dari standar pelayanan kedokteran jiwa.

Dalam kondisi yang berpotensi membahayakan diri sendiri, orang lain, atau pasien tidak kooperatif dalam pengobatan, psikiater dapat memberikan obat suntikan. Tujuannya memperoleh efek cepat, kemudian melakukan perawatan secara rawat inap. ’’Pemberian obat dengan cara suntikan tidak mengakibatkan pasien menjadi gila dan berhalusinasi. Tapi, sebaliknya, justru mengendalikan dan memperbaiki gejala gangguan jiwa secara cepat,’’ ungkap Danardi. (bri/cik/c10/c6/nda)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Deteksi Penyakit Lewat Perubahan Kulit


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler