jpnn.com - JAKARTA - Salah satu yang dipermasalahkan dari penerapan hukuman mati di Indonesia adalah masih rawannya aparat penegak hukum melakukan penyimpangan ketika memproses perkara. Salah satunya adalah praktik penyiksaan oleh penyidik selama proses interogasi sebelum menetapkan status tersangka.
"Penyiksaan menjadi alat yang efektif untuk mendapatkan keterangan, meminta, bahkan memaksakan sebuah pengakuan," ujar Direktur Advokat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain dalam diskusi 'Evaluasi Publik Terhadap Kebijakan Pemerintah Jokowi Terkait Penghormatan atas Hak Hidup dan Hukuman Mati' di kantornya, Jalan Diponegoro, Jakarta (Minggu, 9/10).
BACA JUGA: Jenderal Bicara Revolusi Mental ke Warga Binaan, Katanya...
Menurut dia, sudah banyak kesaksian terpidana mati mengenai kekerasan yang mereka terima dari aparat. Namun tidak satupun menjadi pertimbangan pemerintah untuk meninjau ulang pelaksanaan eksekusi.
Dia mencontohkan kasus yang menimpa warga Pakistan bernama Zulfiqar Ali. Di mana ditangkap pada 21 November 2004 dan didakwa atas kepemilikan 300 gram heroin. Pada 2005, Zulfiqar dijatuhi vonis mati yang kemudian dikukuhkan Mahkamah Agung tahun 2006.
"Dalam pengakuannya, selama diinterogasi Polres Bandara Soetta, dia disekap di sebuah rumah dan disiksa. Bahkan diancam akan dibunuh jika tidak mau menandatangani pengakuan. Sekarang dia hidup tanpa ginjal akibat dari penyiksaan itu," ungkap Bahrain.
BACA JUGA: Paloh Klaim Semakin Banyak Tokoh Bergabung dengan NasDem
Tidak hanya itu, Zainal Abidin, terpidana mati asal Indonesia yang dieksekusi pada April 2015 juga terindikasi mengalami penyiksaan.
"Zainal Abidin sempat memberikan keterangan di muka sidang bahwa dirinya terpaksa mengarang cerita dan BAP (berita acara pemeriksaan) karena mengalami siksaan," pungkas Bahrain. (rmol/dil/jpnn)
BACA JUGA: Siap-siap, Lima Jenis Dokter Spesialis Ini Harus Mengabdi di Daerah Dulu
BACA ARTIKEL LAINNYA... KH Ahmad Ishomuddin: Nonmuslim Juga Berhak Jadi Pemimpin
Redaktur : Tim Redaksi