Ketika Tiongkok mengakhiri penutupan perbatasan internasional bulan Januari lalu, praktisi pemasaran online Tianni Ren segera merencanakan perjalanan bagi 14 stafnya ke Australia.

Dia berharap salah satu lokasi yang akan dikunjungi adalah danau garam berwarna pink di Australia Barat yang pernah dilihatnya di media sosial.

BACA JUGA: Timnas Basket Indonesia Kena Comeback Lawan Waverley Falcons

Tetapi dia berakhir membawa stafnya dari kota Hangzhou ke Selandia Baru, karena Australia tidak termasuk negara yang mendapatkan lampu hijau dari Pemerintah Tiongkok sebagai destinasi bagi rombongan wisata.

Padahal sebelumnya sudah 20 tahun Australia menjadi salah satu pasar turis utama bagi Tiongkok sebelum kemudian berhenti pada awal tahun 2020.

BACA JUGA: Swed House yang Menjual Barang Mirip IKEA Dibuka di Moskow

"Kami bertanya kepada agen kami dan diberitahu bahwa Australia tidak masuk dalam kelompok untuk tur rombongan," kata Ren merujuk ke Status Destinasi Yang Disetujui (ADS) yang ditetapkan Tiongkok bagi 60 negara.

"Sayang sekali kami akhirnya tidak bisa melihat danau pink."

BACA JUGA: Upaya Penyelamatan Pilot Selandia Baru Gagal, Eskalasi Konflik Bersenjata di Papua Meningkat

Setelah tiga tahun karena COVID dan berharap gelombang turis Tiongkok akan kembali lagi setelah perbatasan internasional dibuka, sampai kini kenyataan itu masih jauh dari harapan.

Selain masalah visa dan harga yang tinggi, kurangnya penerbangan langsung dari Tiongkok serta minimnya pemandu wisata yang bisa berbahasa Mandarin telah membuat industri pariwisata yang merupakan industri keempat terbesar Australia belum sepenuhnya bangkit lagi.

Pada bulan Februari, sebulan penuh sejak perbatasan Tiongkok dibuka kembali, Australia menerima kedatangan sekitar 40.430 turis jangka pendek dari Tiongkok.

Menurut data Biro Statistik Australia (ABS) angka ini hanya 20 persen dari angka yang sama pada 2019, dan jauh di bawah angka turis Tiongkok yang berkunjung ke Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.

Menurut perusahaan data penerbangan Cirium, jumlah penumpang dalam penerbangan dari Tiongkok ke Australia juga hanya sekitar 20 persen pada bulan Februari dibandingkan saat pandemi.

Padahal menurut Institut Penelitian Turis Tiongkok yang Bepergian ke luar negeri, sebuah perusahaan konsultan di Jerman, jumlah keseluruhan warga Tiongkok yang sudah bepergian adalah 66 persen dibandingkan tingkat sebelum pandemi.

Pemerintah Tiongkok tidak memberikan alasan mengapa Australia tidak lagi mendapat status tujuan bagi rombongan wisata dari Tiongkok.

Namun, mereka yang berkecimpung di industri ini mengatakan masalah politik berperan besar, seiriang dengan hubungan yang belum pulih antarkedua negara di tengah sengketa dagang dan juga meningkatnya ketegangan antara Barat dan Tiongkok.

Lembaga pemasaran wisata, Tourism Australia, menolak memberikan komentar.

Badan pemasaran perdagangan, Austrade, mengatakan direktur pelaksana Tourism Australia mengunjungi Tiongkok bulan Maret lalu untuk bertemu dengan mitra penting seperti maskapai penerbangan, dan badan tersebut akan "terus bekerja sama dengan mitra distribusi utama demi merealisasikan kesempatan wisata antara Australia dan Tiongkok."

"Saya kira pasti ada hubungan dengan geopolitik, perdagangan, dan masalah lain di mana terjadi penurunan. Kita tidak bisa memisahkannya dari situasi saat ini," kata dosen University of Newcastle Paul Stolk.

Stolk yang terlibat dalam proyek bersama pemerintah dan universitas untuk memperluas jangkauan sektor pariwisata menambahkan bahwa pengunjung dari Tiongkok sering memilih tempat untuk didatangi di mana anggota keluarganya bersekolah.

Tiongkok merupakan sumber mahasiswa asing terbesar bagi Australia sampai tahun 2019, tapi sekarang mahasiswa dari negara lain lebih banyak sejak Australia membuka perbatasan di tahun 2021.Kurangnya pemandu wisata juga jadi masalah

Industri wisata Australia juga mengalami masalah kurangnya pemandu wisata yang bisa berbahasa asing, atau personel lain seperti misalnya pengemudi bus.

Menurut kalangan industri tersebut, pandemi COVID menyebabkan melesunya industri wisata yang membuat banyak pekerja yang sebelumnya berkecimpung di bidang ini sekarang banting stir.

"Kami kehilangan banyak staf berkualitas yang sebelumnya banyak tahu mengenai wisata," kata Peter Shelley, direktur pelaksana Australian Tourism Export Council.

"Kami mendengar bahwa banyak warga Tiongkok yang ingin bepergian dan Australia selalu menjadi salah satu tempat yang ingin dikunjungi namun kapasitas kita untuk melayani terbatas."

Beberapa turis independen asal Tiongkok di Australia mengatakan kepada Reuters bahwa mereka berkunjung karena memiliki sanak saudara yang bisa mengatur akomodasi dan tur, sehingga mereka bisa mengatasi masalah bahasa dan masalah lainnya.

Dan saat ini turis dari negara lain dari Asia menjadi pengganti turis asal Tiongkok.

Para pelancong dari India, misalnya, sekarang sudah mencapai angka 80 persen dibandingkan tahun 2019, dan sekarang merupakan kelompok keempat terbesar dari mereka yang berkunjung ke Australia.

Johnny Nee, Direktur Easy Going Travel Services di Perth, yang menghubungkan antara pengunjung Tiongkok dengan hotel dan kapal pesiar, mengatakan mitranya mengisi kekosongan turis asal Tiongkok dengan melayani pasar domestik.

"Ketika turis Tiongkok kembali dalam jumlah besar, saya khawatir bahwa layanan yang ada tidak akan mencukupi permintaan," katanya.

Tianni Ren mengatakan stafnya menikmati kunjungan mereka ke Selandia Baru namun merasa kecewa bahwa mereka tidak bisa mengunjungi destinasi impian utamanya.

"Saya benar-benar berharap bisa berkunjung ke Australia pada kesempatan berikutnya," katanya.

"Kami selalu membayangkan untuk bisa berkunjung ke danau berwarna pink tersebut."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bagaimana Pelecehan Seksual Rentan Terjadi di Lingkungan Pemberi Bantuan

Berita Terkait